Analisis Hukum Bancakan Investasi Uang Buruh di BPJS Ketenagakerjaan

Jakarta, law-justice.co - Triliunan uang buruh diperkirakan menguap dalam bisnis investasi yang dijalankan BPJS Ketenagakerjaan dan petinggi lembaga itu pun dibidik sebagai tersangka raibnya uang pekerja tersebut. Karena investasi yang mereka tanamkan alih-alih mendatangkan keuntungan yang terjadi justru uang pekerja itu tergerus selain karena penurunan unrealized loss investasi BPJS juga diduga digerogoti untuk kepentingan petinggi dan kroni dari berbagai pihak tersebut. 

Seperti diketahui, dana ratusan triliun yang ada di BPJS Ketenagakerjaan setiap tahunnya diinvestasikan dalam berbagai bentuk seperti saham dan reksadana. Uang tersebut disebar ke banyak manajer investasi di perusahaan pemerintah maupun swasta. 

Baca juga : Pemilik Sriwijaya Air Kini Terseret Korupsi Timah

Setidaknya ada dua pola korupsi yang mungkin terjadi di tubuh BPJS Ketenagakerjaan. Pertama, investasi ditempatkan di saham-saham bodong atau yang berprestasi buruk, sebagaimana kasus Jiwasraya dan Asabri. Kedua, tidak menutup kemungkinan ada dugaan suap berupa ‘komisi’ terhadap setiap keputusan investasi yang diambil oleh manajemen.

Hasil pemeriksaan atas dokumen transaksi penempatan investasi pada instrumen saham selama Tahun 2016 dan 2017 diketahui bahwa terdapat 12 saham yang dimiliki BPJS Ketenagakerjaan di bursa efek yang mengalami penurunan nilai perolehan melebihi 10% selama Tahun 2016 dan 2017 namun kebijakan cut loss belum diberlakukan untuk saham-saham tersebut. 

Baca juga : Mobil Jeep Rubicon Milik Mario Dandy Tidak Laku Dilelang, Ini Sebabnya

Saham-saham yang dimiliki BPJS Ketenagakerjaan di bursa efek yang mengalami penurunan nilai perolehan lebih dari 10%, yaitu berkisar antara 4,01% sampai dengan 67,44% selama Tahun 2016 dan 2017, terdiri dari saham:

1) PT Aneka Tambang

Baca juga : Kejagung Beberkan Peran Lima Tersangka Baru Kasus Korupsi Timah

2) PT Krakatau Steel

3) PT Perusahaan Gas Negara

4) PT Tambang Batubara Bukit Asam

5) PT Timah

6) PT Wijaya Karya

7) PT Astra Agro Lestari

8) PT PP London Sumatra Indonesia

9) PT Salim Ivomas Pratama

10) PT Garuda Indonesia

11) PT Wijaya Karya Beton

12) PT Summarecon Agung

Laporan Keuangan BPJS Ketenagakerjaan konsolidasian Tahun 2016 dan 2017 menyajikan kerugian yang belum terealisasi (Unrealized Loss) masing-masing sebesar Rp 801.229.138.937,00 dan Rp 1.331.026.330.561,00 atas penempatan investasi pada 12 saham di bursa efek. Kerugian yang belum terealisasi tersebut merupakan penurunan nilai perolehan rata-rata atas 12 saham pada posisi per 29 Desember.

Dugaan kasus korupsi dana investasi di BPJS Ketenagakerjaan atau BP Jamsostek dinilai serupa dengan kasus korupsi PT PT Asuransi Jiwasraya. Kepentingan pribadi bisa jadi bermain dalam arah dana investasi seperti ini. 

Atas adanya dugaan penyelewengan tersebut BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) telah memberikan catatannya.Dalam laporannya, BPK menemukan 14 temuan yang memuat 19 permasalahan. Permasalahan tersebut meliputi 9 kelemahan sistem pengendalian internal, 8 ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan senilai Rp 1,34 miliar, dan permasalahan ekonomis, efisiensi, dan efektivitas (3E) senilai Rp 23,98 juta.

Laporan itu menyebut adanya kelemahan sistem pengendalian internal diantaranya mencakup tingkat pengembalian investasi atas aset dana jaminan sosial (DJS) dan aset BP Jamsostek masih di bawah tolok ukur kinerja portofolio investasi yang ditentukan dalam peraturan direksi tentang Pedoman Pengelolaan Investasi.BPK mengungkapkan belasan perusahaan tempat investasi BPJS Ketenagakerjaan mengalami penurunan nilai selama 3 tahun terakhir.

Sementara itu Kejaksaan Agung telah melakukan penyelidikan dan penyidikan terkait adanya dugaan penyelewengan uang jerih payah buruh  tersebut. Dalam hal ini Jaksa Penyidik Jampidsus Kejaksaan Agung juga telah memeriksa Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan berinisial AS sebagai saksi terkait kasus dugaan korupsi pengelolaan keuangan dan dana investasi oleh BPJS Ketenagakerjaan. Total ada 9 orang yang diperiksa sebelumnya. 

Selain  itu, delapan saksi lainnya yang juga diperiksa hari ini yakni HRD selaku Presiden Direktur PT FWD Asset Management, RP selaku Direktur Bahana TCW Investment Management dan AN selaku Direktur Pengembangan Investasi BPJS TK.

Analisa Hukum

Kejaksaan Agung (Kejagung) saat ini  tengah menyidik dugaan korupsi `bancakan` dana investasi milik BPJS Ketenagakerjaan atau BP Jamsostek. Munculnya kasus dugaan korupsi itu bermula dari temuan unrealized loss investasi BPJS Ketenagakerjaan yang nilainya mencapai Rp43 triliun (angka per September 2020). 

Meskipun Kejaksaan Agung telah bergerak untuk mengusut dugaan korupsi bancakan dana milik pekerja di BPJS tersebut namun sampai sekarang masih belum jelas juga siapa yang akan dijadikan sebagai tersangkanya.

Kegamangan Kejagung menetapkan siapa yang akan menjadi tersangka barangkali berkaitan dengan jenis tindak pidana apa yang akan dikenakan kepada pelakunya. Mengingat dalam kasus ini pokok soalnya terletak pada adanya dugaan kerugian sebesar Rp.43 triliun disebabkan oleh karena penurunan nilai  saham (unrealized loss investasi BPJS ).

Sebagian pengamat menyatakan bahwa unrealized loss investasi BP Jamsostek bukanlah suatu tindak pidana. Alasannya, saat ini investasi dalam bentuk portofolio saham maupun reksadana sedang turun, karena pengaruh dari pandemi Covid-19. 

Selain itu masih menjadi pertanyaan apakah unrealized loss investasi masuk dalam cakupan kerugian negara seperti yang dimaksud dalam Undang-Undang (UU) No.31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi alias Tipikor atau hanya semata-mata risiko investasi.

 Dalam kasus Jiwasraya, misalnya, pihak terdakwa Heru Hidayat sempat mempersoalkan kaitan antara unrealized loss dengan tindak pidana korupsi. Alasan Heru Hidayat, unrealized loss bukanlah suatu tindak pidana, karena "kerugian negara" seharusnya dimaknai sebagai kerugian yang benar-benar sudah teralisasi. Sedangkan dalam unrealized loss investasi, bentuk kerugian tersebut belum terjadi.  

Apalagi putusan Mahkamah Konstitusi No.25/PUU/2016, terutama bagian pertimbangan mengenai kerugian negara, menyatakan bahwa kerugian negara harus benar-benar sudah terjadi alias nyata. Lalu bagaimana dengan unrealized loss, apakah hal itu bisa dikategorikan sebagai kerugian negara? 

Namun sebagian pengamat menganggap unrealized loss investasi BPJS  bisa menjadi tindak pidana korupsi . Adanya argumentasi yang menyatakan bahwa unrealized loss itu dipengaruhi kondisi pasar yang fluktuatif (misalnya karena pengaruh pandemi virus corona) ,  tidak sepenuhnya tepat.

Pasalnya, sejak beberapa tahun lalu kasus itu pernah terjadi dan menjadi perhatian di internal BPJS Ketenagakerjaan sehingga ada pandemi virus corona atau tidak terjadi pandemi sesungguhnya unrealized loss investasi tetap terjadi.

Selain itu ditemukan kejanggalan dimana nilai unrealized loss saham BPJS ketenaga kerjaan bisa anjlok hingga puluhan triliun. Sehingga patut dicurigai adanya oknum yang sengaja melakukan tindakan penyelewengan yang menyebabkan uang pekerja menguap begitu besarnya

Bahwa unrealized loss investasi BPJS masuk kategori tindak pidana korupsi karena mengacu pada dua perkara tindak pidana sejenis yakni korupsi Jiwasraya dan Asabri, yang sama-sama bermula dari kasus kerugian akibat unrealized loss investasi. 

Dalam hal ini Unrealized loss investasi termasuk tindak korupsi dikuatkan oleh Keputusan Hakim pengadilan tindak pidana korupsi, yang tetap berpandangan bahwa tindakan yang dilakukan Benny Tjokrosaputro, Heru Hidayat, beserta direksi Jiwasraya sebagai tindak pidana korupsi. 

Mereka telah divonis seumur hidup, berdasarkan dakwaan pertama dari Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Selain itu mereka juga terbukti melakukan pencucian uang sebagaimana diatur pada pasal 3 UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. 

Putusan tersebut mau tak mau telah menjadi yurisprudensi dan sudah sewajarnya kalau nanti menjadi acuan bagi para hakim di lembaga peradilan untuk memutuskan kasus-kasus sejenisnya. Termasuk dalam hal perkara dugaan korupsi dana investasi BP Jamsostek, seandainya kasus ini nanti sampai ke penuntutan. 

Pada akhirnya akan menjadi janggal nantinya kalau misalnya kasus bancakan investasi uang pekerja di BPJS itu tidak ditindaklanjuti perkaranya hingga penuntutan. Karena sudah ada kasus sebelumnya yang mirip yang terjadi di Jiwasraya dimana pelakunya telah di hukum berat karena tindak pidana korupsi yang telah dilakukannya.

Selain dijerat dengan pasal tindak pidana korupsi dan pencucian uang, dalam kasus bancakan uang pekerja di BPJS ini para pelaku sesungguhnya bisa dijerat pula dengan pasal tentang penyuapan karena kemungkinan ada dugaan suap berupa ‘komisi’ terhadap setiap keputusan investasi yang diambil oleh manajemen BPJS ketenagakerjaan.

Dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU 20/2001”) diatur sebagai berikut: “Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:

  1. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau
  2. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya
  3. Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Selain itu, tindak pidana suap juga diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap (“UU 11/1980”) yang berbunyi: “Barangsiapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang dengan maksud untuk membujuk supaya orang itu berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum, dipidana karena memberi suap dengan pidana penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun dan denda sebanyak-banyaknya Rp.15.000.000,- (lima belas juta rupiah).”

Pasal 3 UU 11/1980 kemudian menerangkan sanksi pidana bagi pihak penerima suap tersebut: “Barangsiapa menerima sesuatu atau janji, sedangkan ia mengetahui atau patut dapat menduga bahwa pemberian sesuatu atau janji itu dimaksudkan supaya ia berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum, dipidana karena menerima suap dengan pidana penjara selama-lamanya 3 (tiga) tahun atau denda sebanyak banyaknya Rp.15.000.000.- (lima belas juta rupiah) “

Berkaitan dengan kasus bancakan uang pekerja di BPJS ketenagakerjaan yang diduga mengandung suap didalamnya dalam bentuk komisi maka perlu di telusuri kebenarannya oleh pihak yang berwenang. Jika terbukti maka pasal pasal  terkait dengan penyuapan ini tentunya bisa diterapkan.

Adanya audit BPK yang menemukan unsur kerugian negara dan perbuatan melawan hukum, itu jelas sudah memenuhi delik tindak pidana korupsi. Seharusnya sudah cukup bagi Kejaksaan Agung untuk menetapkan tersangkanya dan membawa kasusnya ke meja hijau.

Saat ini Kejagung diberitakan sedang menyelidiki para pejabat dilingkungan BPJS Ketenagakerjaan karena diduga mereka menerima suap dalam bentuk komisi. Penyelidikan ini seyogyanya mesti tuntas sampai ketahap penuntutan  untuk menentukan siapa yang menjadi tersangkanya. Jangan sampai kasus ini berhenti begitu saja karena menyangkut nasib jutaan pekerja.

Dana triliunan rupiah  yang notabene hasil keringat dan kerja keras para kerja tidak boleh lenyap begitu saja tanpa kejelasan siapa yang harus mempertanggungjawabkannya

Kasus ini mirip yang terjadi di Jiwasraya dimana pelakunya sudah divonis bersalah oleh hakim yang mengadilinya. Kalau kasus yang nyaris sama ini tidak diadili sampai ditemukan tersangkanya seperti kasus Jiwasraya maka menjadi tanda tanya tentunya karena yurisprudensi sudah ada.

Di sisi lain sudah sangat mendesak adanya UU yang mengatur jaminan pengelolaan investasi uang negara yang bersifat prudent, transparan dan bisa diaudit publik. Sebab selama ini terbukti walaupun sudah ada OJK, namun kasus-kasus investasi bermasalah terus terjadi dan korbannya adalah kerugian uang negara yang habis dimainkan oleh para manajer investasi yang berkolusi dengan lembaga badan usaha milik negara.