Profesionalitas KPK Diragukan dalam Kasus Bansos COVID, Ini Alasannya

Jakarta, law-justice.co - Hingga saat ini, Penyidik KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) belum memanggil mantan Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Ihsan Yunus terkait kasus dugaan korupsi pengadaan Bansos COVID-19. Padahal, nama Politikus PDIP itu sudah santer dikaitkan dengan kasus yang telah menjerat eks Mensos Juliari Batubara tersebut.

Terkait hal itu, profesionalitas KPK pun mulai dipertanyakan dalam menangani kasus tersebut. Pernyataan ini disampaikan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) yang mengajukan gugatan praperadilan terhadap KPK terkait tidak sahnya penghentian penyidikan (SP3) soal kasus bansos Corona.

Baca juga : Adian Pastikan Pertemuan Megawati dan Jusuf Kalla Akan Terlaksana

MAKI menyebut penyidik KPK telah melakukan serangkaian kegiatan terkait Ihsan Yunus sebagaimana tersebut di atas. Meski demikian, hingga saat ini belum pernah diberitakan kegiatan pemanggilan dan pemeriksaan Ihsan Yunus sebagai saksi. MAKI menduga KPK tidak profesional karena tidak memanggil Ihsan Yunus.

"Patut diduga termohon tidak profesional dikarenakan tidak melakukan pemanggilan dan pemeriksaan Ihsan Yunus sebagai saksi atau setidak-tidaknya termohon diduga tidak memerintahkan penyidiknya untuk melakukan pemanggilan kepada Ihsan Yunus," kata Koordinator MAKI Boyamin Saiman dalam keterangannya, Jumat (19/2/2021).

Baca juga : Politikus PDIP Dengar Kabar Megawati Bakal Bertemu JK

Boyamin menambahkan, termohon KPK melalui Plt Jubir Ali Fikri memberikan rilis berita yang berisi KPK telah memanggil Ihsan Yunus. Namun kenyataannya adalah tidak ada bukti apapun telah terjadi pemanggilan kepada Ihsan Yunus.

"Sehingga nampak termohon tidak serius dan main-main menangani perkara korupsi penyaluran sembako Bansos Kemensos. Pemberian rilis oleh Plt Jubir KPK yang bahannya tidak sesuai kenyataan," ujarnya.

Baca juga : Masinton PDIP Cuitkan Tagar #AMINAjaDulu dan #GanjarMahfud2024

Gugatan praperadilan itu diajukan pada Jumat (19/2) siang ini ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Selain karena KPK belum memeriksa politikus PDIP Ihsan Yunus, gugatan itu diajukan karena MAKI menduga KPK menelantarkan izin penggeledahan dari Dewas KPK.

"MAKI (pemohon) telah melakukan pendaftaran gugatan Praperadilan melawan KPK (termohon) atas telantarnya penanganan perkara korupsi bansos sembako Kemensos dikarenakan tidak melakukan seluruh izin penggeledahan dari Dewas KPK (sekitar 20 izin) dan tidak melakukan pemanggilan terhadap Ihsan Yunus," kata Boyamin.

Boyamin dalam dalilnya menuturkan KPK dalam kasus korupsi dana bantuan sosial Kementerian Sosial dalam rangka penanganan pandemi COVID-19 telah menetapkan lima tersangka, sebagai penerima Juliari Peter Batubara, Matheus Joko Santoso, Adi Wahyono, dan sebagai pemberi Ardian Iskandar Maddanatja dan Harry Sidabuke.

Namun, tuduhan MAKI itu dibantah oleh KPK. KPK menegaskan tidak menelantarkan penangan kasus tersebut.

"Kami tegaskan sama sekali tidak ada penghentian penyidikan untuk penanganan perkara dimaksud," kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri kepada wartawan, Jumat (19/2/2021).

Ali menjelaskan bahwa proses penyidikan perkara korupsi bansos masih terus dilakukan. Di antaranya, KPK masih terus melakukan pemanggilan saksi dan penggeledahan untuk melengkapi pembuktian unsur pasal dalam berkas perkara.

"Penggeledahan maupun pemanggilan seseorang sebagai saksi adalah kebutuhan penyidikan bukan karena ada permintaan maupun desakan pihak lain," ucap Ali.

Ali menyebut penggeledahan merupakan bagian dari strategi penyidikan dalam upaya pencarian kelengkapan alat bukti. Sehingga, kata dia, mengenai tempat dan waktu kegiatan termasuk informasi yang dikecualikan menurut Undang-Undang.

Dalam kasus ini, Juliari P Batubara ditetapkan KPK sebagai tersangka dalam kasus korupsi bansos Corona. Dia dijerat bersama empat orang lainnya, yaitu Matheus Joko Santoso, Adi Wahyono, Ardian IM, dan Harry Sidabuke.

Dua nama awal merupakan pejabat pembuat komitmen atau PPK di Kemensos. Sedangkan dua nama selanjutnya adalah pihak swasta sebagai vendor pengadaan bansos.

KPK menduga Juliari menerima jatah Rp 10 ribu dari setiap paket sembako senilai Rp 300 ribu per paket. Total setidaknya KPK menduga Juliari Batubara sudah menerima Rp 8,2 miliar dan Rp 8,8 miliar.