Negara dengan 1000 Pagoda dan Pagoda Emas Terbesar

Luar Biasa Gurita Bisnis Militer Terselubung Myanmar

law-justice.co - Kudeta militer memicu gelombang protes jalanan terbesar dalam lebih dari satu dekade di Myanmar. Aksi ini telah dikecam oleh negara-negara Barat, dengan Amerika Serikat mengumumkan beberapa sanksi terhadap para jenderal yang berkuasa dan negara-negara lain juga mempertimbangkan tindakan-tindakan tersebut.   Militer Myanmar atau Tatmadaw tak kenal lelah menumpuk harta lewat jaringan bisnisnya. Dainataranya melalui Pertambangan, perbankan, energi, pertanian atau bahkan pariwisata.

Tapi kini, kekayaan itu menjadi sasaran embargo ekonomi AS, menyusul kudeta terhadap pemerintahan sipil Myanmar, 1 Februari lalu. Kamis (11/2/2021), Presiden Joe Biden membekukan aset Tatmadaw senilai 1 miliar dollar AS di Amerika Serikat. Sementara Kementerian Keuangan memblokir setiap aset AS atau transaksi dengan 10 petinggi militer yang dinilai mendalangi kudeta.

Baca juga : Hamas Siapkan Jebakan Jika Israel Menyerang Rafah

 Namun begitu, junta militer Myanmar diyakini masih bisa mengakses cadangan kekayaannya lewat jaringan konglomerat di dalam dan luar negeri, lapor kelompok anti-korupsi, Justice for Myanmar (JFM). Melalui dua grup usaha, Myanmar Economic Holdings Limited (MEHL) dan Myanmar Economic Corporation (MEC), para jenderal mengontrol atau mengawasi setidaknya 133 perusahaan, menurut catatan JFM. Kedua grup membawahi ragam unit usaha, mulai dari produsen bir, perkebunan tembakau, transportasi dan logistik, pabrik tekstil, hotel atau bank. Militer juga diyakini ikut berkecimpung dalam bisnis gelap perdagangan batu mulia. Dua komoditas yang paling disorot adalah batu giok dan rubi. Myanmar merupakan produsen giok terbesar di dunia. Perdagangan kedua batu berharga itu ditaksir bernilai miliaran dollar AS setiap tahunnya. Namun hanya sebagian kecil transaksi yang tercatat resmi. Sisanya diyakini diselundupkan ke China.

Baca juga: Demonstran Wanita Ditembak di Kepala Saat Demo Myanmar, Ini Fakta yang Terhimpun
Korupsi lewat korporasi Lihat Foto China, Eropa dan Thailand merupakan negara tujuan ekspor paling besar bagi Myanmar.  Menurut LSM Global Witness, sejak 2001 industri giok Myanmar berada “di bawah kontrol jejaring elit militer, bandar narkoba dan kroni-kroninya.” Saat ini perusahaan yang mengantongi izin penambangan giok paling besar adalah Myanmar Imperial Jade Co Ltd yang menginduk kepada MEHL. Kamis (11 Februari 2021) perusahaan itu masuk dalam daftar sanksi ekonomi AS. MEHL menjalin relasi bisnis dengan perusahaan China, Jepang, Korea Selatan dan Singapura. Menurut catatan pemerintah, dewan direksi dan pemegang saham MEHL kebanyakan adalah pensiunan jendral atau perwira aktif. Antara 1990 dan 2011, MEHL tercatat mengucurkan dividen senilai 18 miliar dollar AS kepada pemegang saham, menurut laporan Amnesty International, September 2020 lalu. Pada 2011 saja, kepala junta, Jenderal Min Aung Hlaing, tercatat menerima setidaknya keuntungan senilai 250.000 dollar AS atau sekitar Rp 3,5 miliar. Selama hampir separuh abad berkuasa, “Petinggi-petinggi militer punya waktu banyak untuk memperkaya diri,” kata Francoise Nicolas, Direktur Asia Institute of International Relations, sebuah lembaga pemikir Perancis.

Baca juga : Amerika Umumkan Bantuan Militer Hampir Rp100 T untuk Ukraina

  

Adapun proses demokratisasi dan pemulihan kekuasaan sipil pada 2011 silam tidak banyak mengusik imperium bisnis Tatmadaw, lapor Amnesty. Namun kemenangan Aung San Suu Kyi yang mendulang lebih dari 80 persen suara pada pemilihan umum November silam menggoyang kekuasaan militer, tutur Francoise. “Kemenangan ini mengancam sebagian kekayaan mereka, dan mungkin melandasi keputusan untuk melancarkan kudeta.” Pasca kudeta, militer dilaporkan memperkuat kontrolnya terhadap perusahaan-perusahaan negara, termasuk sektor minyak dan gas yang dianggap lahan basah.

Baca juga : Selain Gaza, Netanyahu Sesumbar Siap Serang Negara Lain

Stop investasi asing

Hal ini menempatkan perusahaan-perusahaan asing dalam posisi pelik. Tapi sejauh ini hanya perusahaan bir Jepang, Kirin, dan perusahaan energi Singapura Puma, yang sudah menyatakan hengkang dari Myanmar pasca kudeta.
Sementara raksasa minyak Perancis, Total, yang memiliki 31,24 persen ladang gas Yadana di Myanmar, mengaku masih mempelajari dampak kudeta. Pada 2019 silam, Total membayar 257 juta dollar AS kepada pemerintah Myanmar. “Kami mengimbau perusahaan minyak dan gas agar mengakhiri hubungannya dengan perusahaan migas Myanmar dan keluar dari negeri kami,” kata Yadanar Maung, juru bicara Justice for Myanmar. Hal senada diungkapkan Debbie Stothard dari organisasi HAM, Federation for Human Rights.

Terutama Singapura sebagai investor terbesar Myanmar "memiliki nilai tawar yang tinggi” untuk menggandakan tekanan internasional terhadap junta militer. “Sejumlah petinggi Tatmadaw banyak berinvestasi di Singapura sejak pertengahan 2000-an. Tren ini menguat sejak beberapa tahun terakhir,” kata dia. Jika militer memang berniat melindungi kekayaannya lewat kudeta, maka penghentian hubungan bisnis dengan Myanmar terasa lebih mendesak, papar Yadanar Maungh. “Tanpa langkah yang tegas, militer akan terus melakukan tindak kekerasan terhadap rakyat dan demokrasi tidak akan punya harapan lagi."