Ramalan Tahun 2021 Harga Komoditas Tambang Bakal Terbang

law-justice.co -  

Tahun ini  2021 diyakini sebagai tahunnya komoditas. Berbagai komoditas terutama komoditas pertambangan dinilai akan memasuki periode bullish jangka panjang yang dikenal dengan sebutan `super cycle`. Faktor yang memicu kenaikan harga komoditas adalah suku bunga acuan yang rendah, dolar AS yang lemah hingga pertumbuhan ekonomi serta booming pembangunan infrastruktur di berbagai negara terutama untuk emerging market.

Baca juga : Ikut Sidang Sengketa Pileg, Arsul Sani Dinilai Tidak Langgar Aturan

Para ekonom, mulai dari bank investasi global seperti Goldman Sachs, akademisi di John Hopkins University hingga lembaga pengelola dana seperti Janus Handerson mulai melihat adanya tren kenaikan harga komoditas di tahun 2021 setelah resesi hebat pada 2020 akibat pandemi Covid-19. 

Untuk tahun 2021, China akan memiliki peran sentral dalam fase siklus super komoditas. Keberhasilan China dalam menjinakkan wabah Covid-19 membuatnya menjadi satu-satunya negara G20 yang mencatatkan kinerja ekonomi yang paling moncer. 

Baca juga : Aji Santoso : Timnas Indonesia Disebut Bisa Bungkam Uzbekistan

Dalam dua kuartal terakhir secara beruntun China berhasil tumbuh 3,2% (yoy) dan 4,9% (yoy). Padahal di saat yang sama nilai median pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) negara-negara G20 berada di minus 11,1% (yoy) kuartal II dan negatif 4,15% (yoy) kuartal III.

Di tahun 2020, bijih besi dan baja menjadi komoditas yang mengalami kenaikan sangat tinggi karena dipicu oleh booming permintaan di sektor konstruksi dan manufaktur China. Untuk tahun 202 komoditas base metal seperti tembaga, aluminium, seng, nikel, timbal dan timah akan mendapat sentimen yang positif. 

Baca juga : Meski Gencatan Senjata, G20 : Tak Ada Konsensus Solusi 2 Negara

Tembaga diproyeksikan bakal menjadi komoditas paling ciamik pada 2021 mengingat penggunaannya di sektor yang sangat beragam mulai dari konstruksi, perkakas hingga untuk jaringan listrik.

Pada 18 Desember lalu, bahkan harga tembaga menyentuh level US$ 8.000/ton untuk pertama kalinya dalam tujuh tahun terakhir. Kenaikan harga tembaga dipicu oleh ketatnya pasokan di tengah tingginya permintaan. 

Namun Citigroup mewanti-wanti karena reli harga tembaga yang sudah tinggi bisa saja berbalik arah apabila tidak didukung dengan peningkatan di pasar fisiknya

 

Harga komoditas tambang lain yaitu batu bara pun diramal masih cerah. Namun, harga kontraknya yang sudah terlampau tinggi di atas US$ 80 per ton rawan terkoreksi. Setelah mengalami koreksi sehat, reli harga batu bara berpotensi lanjut di tahun 2021 

Menurut laporan baru dari Badan Energi Internasional, kemungkinan pulihnya kembali ekonomi global pada 2021 diperkirakan akan mendorong rebound jangka pendek dalam permintaan batu bara menyusul penurunan besar tahun ini yang dipicu oleh krisis Covid-19.

Berdasarkan asumsi pemulihan ekonomi dunia, laporan IEA memperkirakan permintaan batu bara global akan meningkat kembali sekitar 2,6% pada tahun 2021, didorong oleh permintaan listrik dan output industri yang lebih tinggi di kawasan Asia, terutama China, India, dan Kawasan Asia Tenggara.

Ekonomi China, India, dan Asia Tenggara bertanggung jawab atas sebagian besar pertumbuhan, meskipun Amerika Serikat dan Eropa mungkin juga mengalami kenaikan konsumsi batu bara pertama mereka dalam hampir satu dekade.

Namun, permintaan batu bara global pada 2021 diperkirakan masih akan berada di bawah level 2019 dan bahkan bisa lebih rendah jika asumsi laporan untuk pemulihan ekonomi, permintaan listrik, atau harga gas alam tidak terpenuhi.

Beralih ke komoditas lainnya yaitu minyak, jajak pendapat yang dilakukan oleh Reuters kepada 39 ekonom dan analis menunjukkan bahwa harga minyak khusus untuk Brent diperkirakan masih akan berada di kisaran US$ 50,7 per barel.

Sedangkan untuk harga minyak mentah West Intermediate (WTI) diprediksi bergerak di kisaran US$ 47,45 per barel pada 2021.Harga minyak belum kembali pulih ke level pra-pandemi mengingat pembatasan sosial masih terjadi di mana-mana. Permintaan minyak juga masih rendah. Di saat yang sama  varian baru virus Corona (B.1.1.7) yang diklaim 70% lebih menular menjadi ancaman lain yang berpotensi menyulut maraknya lockdown.

Setelah memangkas output secara besar-besaran pada 2020, para kartel minyak yang terdiri dari Arab Saudi, Rusia dan koleganya (OPEC ) sepakat untuk menaikkan produksi 500 ribu barel per hari (bph) mulai Januari nanti.

Bahkan jika harga minyak tetap di kisaran US$ 45-55 per barel, Rusia berencana untuk mengusulkan produksi digenjot lagi sebesar 500 ribu bph mulai Februari.Kemudian untuk CPO, harga minyak nabati yang sudah sangat tinggi juga rawan mengalami koreksi. Namun outlook sampai ke kuartal pertama tahun 2021 masih positif dengan adanya pola iklim La Nina. Setelahnya harga CPO berpotensi terkoreksi.