Jakarta, law-justice.co - Haikal Hassan diperiksa oleh penyidik Polda Metro Jaya terkait mimpinya yang bertemu dengan Nabi Muhammad SAW. Hal itu pun langsung dikritisi oleh
Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Bukhori Yusuf.
Menurut Bukhori, tidak tepat jika mimpi Haikal Hassan dijerat kasus hukum. Sebab mimpi bertemu Nabi Muhammad SAW bagi seorang muslim merupakan sebuah anugerah.
Bukhori juga mengutip sebuah hadits Nabi Muhammad yang berbunyi "Barangsiapa yang melihatku (di dalam mimpi) maka apa yang ia lihat adalah benar karena syaitan tidak dapat menyerupai diriku," (H.R. Bukhari).
"Apa yang salah dengan mimpi bertemu Rasulullah? Itu adalah anugerah bagi muslim yang memperolehnya dan Nabi Muhammad pun telah menubuatkan hal tersebut," kata Bukhori kepada wartawan, Senin (28/12/2020).
Anggota Komisi VIII DPR RI ini, justru menilai pelaporan terhadap Haikal Hassan sangat bermuatan politis karena posisinya yang sejauh ini sangat kritis terhadap pemerintah Jokowi. Ia juga menganggap tindakan pelaporan tersebut sebagai upaya kriminalisasi tokoh agama.
"Laporan tersebut sangat janggal, bahkan terkesan mengada-ada. Rezim ini mencoba menggunakan segala daya dan upaya untuk membungkam suara-suara kritis. Peraturan seperti UU ITE dieksploitasi sebagai alat untuk menjebloskan pikiran yang tidak sejalan dengan kepentingan rezim sehingga tidak ada lagi orang yang berani menegur dan memberi nasihat pada kekuasaan," jelasnya.
Membawa mimpi Haikal yang mengaku bertemu Muhammad Saw ke ranah hukum, menurutnya juga tidak tepat. Karena bukan sebuah kejahatan yang harus diganjar dengan penjara.
"Penjara adalah tempat untuk pelaku kejahatan, bukan untuk yang berbeda pikiran," ujarnya.
Anggota yang pernah duduk di Komisi III ini meminta supaya Polda Metro Jaya bersikap profesional dan adil, dalam mengusut kasus ini. Ia mendorong supaya polisi bisa lebih selektif dan proporsional dalam menerima laporan dari masyarakat, khususnya menyangkut aduan yang sebenarnya bisa diselesaikan tanpa harus melalui mekanisme hukum.
"Bangsa kita tidak boleh menjadi bangsa yang cengeng di mana setiap perbedaan pikiran diselesaikan dengan aduan dan laporan ke polisi. Jika trend ini dibiarkan, kita akan kehilangan kehangatan bercakap sebagai warga negara. Sebab, dibalik silang argumen yang kita rawat selalu terbuka ruang jerat pidana yang bisa dimanfaatkan oleh mereka yang lemah mental dan pikiran," ujarnya.
Kasus ini, kata Bukhori, jelas telah menghina akal sehat publik bahkan institusi negara (Polri). Banyak masyarakat yang memandang ini sebagai sebuah lelucon akhir tahun yang menggelikan.
"Ke depan, saya berharap bangsa kita bisa beranjak pada taraf percakapan intelektual yang lebih beradab. Segala bentuk perbedaan argumen harus dilawan dengan argumen, bukan dengan sentimen. Sebab, negara demokrasi memberikan fasilitas diskusi untuk mewujudkan toleransi, bukan laporan ke polisi," tutupnya.