Prof. DR. Connie Rahakundini Bakrie, Pakar Geopolitik dan Pertahanan

Perlu Kesadaran dan Perlawanan untuk Pulihkan Demokrasi di Indonesia

law-justice.co - Selama prosesi pemilihan presiden, ada satu sosok yang kerap tampil di media mengkritik tajam pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka. Sedikit berbeda dari kritikus yang lain, selain tampilannya yang menarik, konten yang dibawakannya pun bernas dan tajam. Sosok tersebut Prof. DR. Connie Rahakundini Bakrie, seorang pengamat geopolitik dan pertahanan. Seorang akademisi perempuan yang kerap tampil mempesona dan tegas, menjabarkan sejumlah kritik terhadap sosok pasangan PS-GRR. Terutama, terhadap pencalonan Gibran sebagai Calon Wakil Presiden.

Kepada law-justice, Connie menegaskan sikapnya tak berubah. “Sikap saya tentang hal itu sejak titik awal tidak pernah berubah. Silahkan di cek. Dari IG (instagram) saya juga terbaca. Prabowo no problem, but Gibran big no. Sesederhana itu,” ujar Connie dalam keterangan tertulis, Senin (6/5/2024). 

Baca juga : Mengembalikan Kejayaan Maritim

Menurutnya, pencalonan Gibran telah merusak tatanan hukum dan demokrasi. “Coba saja diperhatikan dampak dan gegara seorang GRR, tiba-tiba jurisprudensi di balik hukum dan proses legislatif kita banyak diperdebatkan,” ujarnya. Akademisi berbeda pendapat mengenai apa dan siapa yang membesarkan hukum dan berhak membuat serta memutuskan UU. Perbedaan ini menyebabkan terbentuknya aliran keilmuan yang juga berbeda. Aliran yang berbeda mempunyai ideologi yang berbeda.

“Maka sikap saya akan terus di titik ini dan terus mempertanyakan ini karena itu kewajiban saya sebagai warga negara yang punya kemampuan berfikir dan bertanya berlandaskan tata pikir akademik saya,” ujar Doktor alumni Universitas Indonesia ini.

Baca juga : Connie Minta Maaf & Akui Keliru Sebut `Polres Milik Akses ke Sirekap`

Sempat dilaporkan ke polisi atas tudingan pencemaran nama baik oleh TKN Prabowo-Gibran, Connie tetiba hilang dari peredaran media nasional. Spekulasi pun berhembus, kalau dia menghindari proses hukum. Namun, rupanya kini Connie tengah berdiam sementara di Rusia. Bukan kabur, tetapi  sehubungan dengan kehormatan yang diterima dengan proses diangkatnya menjadi Profesor di St Petersburg University, Russia. Universitas yang didirikan pada tahun 1724 berdasarkan keputusan Peter Agung, dan sejak awal diresmikannya 300 tahun lalu memiliki fokus penelitian di bidang sains, teknik, dan humaniora.

Kampus ini dikelola oleh pemerintah Federasi Rusia dan memiliki 24 fakultas dan institut yang dibagi menjadi beberapa departemen. Alumni kampus dengan nomor urut 35 terhebat di dunia ini adalah Vladimir Putin, presiden petahana dan mantan perdana menteri Rusia Dimitry Medvedev, mantan presiden Rusia (2008–2012). Selain juga pendiri Uni Soviet, Vladimir Lenin.

Baca juga : Connie Bakrie: Tetapi Tidak Ada Kenaikan Pangkat untuk Purnawirawan!

Connie ternyata sangat mengagumi sosok Presiden RI I  Ir. Sukarno dan puterinya Presiden RI V Megawati Sukarno Puteri.  “Ada beberapa alasan saya semakin mengagumi keduanya karena adanya kekhawatiran pada saya, pada kami, akademisi, guru besar dan kampus utamanya akan mengapa Pilpres 2024 menjadi ancaman bagi demokrasi Indonesia,” tuturnya. Menurutnya terbukti semakin kuat adanya politik identitas, penyalahgunaan kekuasaan, politik uang, politisasi hukum dan dibangunnya politik media sosial oleh negara terhadap rakyatnya dan berlaku satu arah.  Selain produk legislasi di Indonesia mengalami de-demokratisasi akibat sentralnya kekuasaan politik oligarki. 

 “Soekarno merupakan sosok yang berwibawa, karismatik, cendekiawan, dan bahkan sosok yang sempurna sebagai pemimpin bangsa di mata rakyatnya dan juga dunia,” ujar penulis buku Defending Indonesia.

Dia juga menilai, Sukarno merupakan seorang pemimpin yang lentur terhadap gaya, tetap tegas dalam standar, serta teristimewa mampu mengatasi dengan bijak kemajemukan rakyat Indonesia. Sikap yang bisa diteladani dari Bung Karno yaitu tekad, integritas dan kegigihannya dalam mewujudkan mimpinya melahirkan kemerdekaan Indonesia. Meskipun harus mengalami pengasingan berkali-kali, dan mendapat hukuman dari Belanda, beliau tidak berhenti berjuang.

“Ibu Mega yang saya kenal, tidak berbeda jauh dari Ayahandanya. Mungkin karena latar belakang beliau sejak masa remajanya selalu mendampingi dan dilibatkan Bung Karno dalam beragam giat kenegaraan dan giat pikir seorang Soekarno,” kata Connie.

Menurut Connie, Megawati tumbuh menjadi wanita yang berkarakter alpha female sejati Indonesia. Alpha female, itu adalah wanita yang memiliki rasa kepercayaan diri yang sangat tinggi. Tidak bergantung pada orang lain terutama dalam olah pikirnya. Memiliki karakter yang kuat. Memiliki sisi menarik, sehingga orang-orang di sekitarnya cenderung mengikuti mereka. Memiliki ambisi kuat akan sesuatu. Memahami pentingnya keseimbangan diri. Intinya, perempuan yang memiliki jiwa alpha female adalah mereka yang mempunyai tujuan hidup yang jelas.

Sosok perempuan yang terarah serta tidak akan ragu dalam menentukan mimpi dan cara yang perlu dilakukan untuk mencapainya. Impian dan tujuan yang jelas juga membuatnya mampu mewujudkan hal-hal besar dalam hidupnya.

"Kemunduran demokrasi di Indonesia berdampak pada masyarakat, seperti makin suburnya perilaku korupsi, kesulitan mengakses pelayanan publik, dan menyempitnya ruang-ruang publik dan suara rakyat atas nama negara. Untuk memulihkan demokrasi di Indonesia, diperlukan kesadaran dan perlawanan," pungkasnya. Dalam pandangannya, Sukarno dan Megawati Sukarno Puteri, menurut Connie, adalah dua tokoh simbol perlawanan Indonesia masa kini dan kedepan.