Nawaitu Redaksi

Saat Elit Partai Ogah Beroposisi, Sibuk Koalisi Cari Apa?

Jakarta, law-justice.co - Pilpres 2024 memang sudah usai. Siapa yang menjadi pemenang dalam kontestasi ini sudah diumumkan oleh KPU untuk di tetapkan sebagai presiden RI dan Wakil Presiden RI. Saat ini Presiden yang terpilih sudah nampak sibuk menerima para tamu yang kebanyakan adalah para pemimpin partai.

Elite-elite partai itu  terlihat kasak kusuk membicarakan posisi di pemerintahan yang akan terbentuk nanti. Mereka begitu bersemangat untuk ikut menjadi bagian dari pemerintahan baru menjadi bagian dari koalisi.

Baca juga : Petani Masih Miskin, SYL Malah Korupsi Biaya Skincare Cucu

Partai partai yang merapat ingin berkoalisi bukan hanya parta pendukung yang sejak awal ikut berkontribusi pada pemenangan pilpres yang baru saja usai tetapi juga partai partai yang sebelumnya menjadi rival kontestasi.  

Sebagai contoh Partai NasDem dan PKB yang mengusung pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (Cak Imin) pada pilpres lalu, kini mereka secara terang-terangan menyatakan merapat mendukung presiden terpilih Prabowo Subianto yang berpasangan dengan Gibran Rakabuming Raka, anak Jokowi.

Baca juga : Catatan untuk PKB dan Pilgub Jakarta

Bukan hanya parta Nasdem dan PKB, Sekretaris Jenderal Partai Keadilan Sejahtera (Sekjen PKS), Aboe Bakar Al Habsyi menyatakan bahwa partainya berharap didatangi Presiden terpilih, Prabowo Subianto untuk diajak bergabung ke koalisi.

"Permasalahannya adalah kita ingin kebersamaan setelah NasDem dan PKB didatangi, mungkin juga PKS pasti akan didatangi, kita berharap gitu toh," kata Aboe saat ditemui wartawan di kantor DPP PKS, Jakarta Selatan, Sabtu, (27/4/24).

Baca juga : Lowongan Kerja di PT KAI, Simak Syarat dan Posisinya

Elite partai partai yang jagoannya kalah itu seperti tidak ada malu lagi untuk merapat ke rivalnya yang sebelumnya menjadi lawan dalam kontetasi pilpres yang baru saja usai. Mereka ingin masuk barisan koalisi dan enggan untuk menempatkan diri sebagai partai opisisi. Padahal di sebuah negara demokrasi, posisi sebagai oposisi sangat dibutuhkan untuk sehatnya demokrasi.

Apa pentingnya oposisi  disebuah negara demokrasi ?. Tetapi mengapa partai partai di Indonesia itu enggan menjadi oposisi ?. Bagaimana langkah langkah membangun oposisi untuk menjaga kehidupan demokrasi di negeri ini  ?

Pengtingnya Peran Oposisi

Ramainya elite partai yang merapat ke kubu pemenang pilpres maupun kesigapan pemenang pilpres untuk merangkul lawan lawan politiknya, rupanya telah membuat mantan wakil Presiden Jusuf Kalla atau JK angkat bicara. JK mengingatkan Prabowo Subianto terkait pentingnya keberadaan oposisi sebagai pengawal pemerintahan yang akan dibentuknya.

JK mengatakan, keberadaan oposisi bisa menjadi pengingat pemerintah yang semena-mena menjalankan tugasnya. Oleh sebab itu, akan bahaya apabila tak ada oposisi di pemerintahan yang sedang berkuasa. "Bagaimana pun juga perlu ada oposisi, supaya ada yang mengoreksi," kata JK usai berikan kuliah umum di FISIP UI, Depok, Kamis (25/4/2024) seperti dikutip media.

Apa yang telah disampaikan oleh JK merupakan sebuah bentuk keresahan dirinya kalau semua partai pada akhirnya merapat ke penguasa. Sehingga tidak ada lagi pihak yang akan mengontrol jalannya pemerintah nantinya. Pada hal Pemerintah yang tidak terkontrol akan cenderung bertindak sewenang wenang atau menyalahgunakan kekuasaannya.

Perlu dipahami bahwa pasca era kenabian (agama Samawi manapun) yang sakral atau tradisi theokratik tidak ada lagi manusia atau suatu golongan  suci dan ma`shum tanpa dosa. Setiap orang bisa salah, termasuk para pemimpin yang dipilih dan diberi amanah oleh mayoritas rakyatnya

Dalam konteks ini, oposisi hadir untuk mengingatkan kemungkinan salah pikir, keliru sikap, dan sesat kebijakan dari para pemimpinnya. Dalam ungkapan yang lazim digunakan kalangan peminat diskursus kepolitikan kaum oposisi dikatakan sebagai watchdogs, "anjing penjaga". Fungsinya adalah menyalak sebagai peringatan, dan menjaga agar operasi kekuasaan dan jalannya pemerintahan tidak melenceng dari track yang seharusnya dilalui, track yang disepakati bersama.

Selain berperan sebagai pengongtrol jalannya pemerintahan, keberadaan oposisi penting untuk menjaga demokrasi di suatu negara, diantaranya :

Pertama, Mencegah Monopoli Kekuasaan. Disini oposisi memiliki peran strategis dalam mencegah terjadinya monopoli kekuasaan di tangan pemerintah yang sedang berkuasa. Dengan adanya oposisi, kecenderungan politik yang menyerap semua kekuatan politik dalam pemerintahan dapat dicegah, menjaga agar demokrasi tetap berfungsi dengan seimbang yaitu ada yang berkuasa dan ada pula yang mengawasinya.

Merujuk pada doktrin trias politika Montesquieu, demokrasi membutuhkan mekanisme check and balances antar cabang kekuasaan negara (utamanya antara legislatif dan eksekutif). Dalam konteks ini oposisi di parlemen (maupun di luar parlemen) berperan untuk memastikan bahwa pemerintah yang juga didukung oleh sebagian (tentu mayoritas) koalisinya di parlemen tidak semena-mena saat merancang dan memproduk kebijakan-kebijakan politiknya.

Kedua, Membangun Sistem Kontrol Masyarakat. Adanya oposisi membantu membangun sistem kontrol masyarakat terhadap kebijakan pemerintah yang sedang berkuasa. Dengan memberikan suara dan representasi kepada pandangan alternatif, oposisi memastikan bahwa masyarakat memiliki peran dalam proses pembuatan keputusan dan kebijakan yang mempengaruhi jalannya suatu negara

Karen demokrasi sesungguhnya digagas sebagai jalan untuk mewujudkan kebaikan bersama dari waktu ke waktu secara berkesinambungan diantara pihak pihak yang terkait didalamnya. Dalam perspektif dialektika dan politik diskursif, kebaikan bersama adalah tahap yang takkan pernah selesai untuk terus diikhtiarkan bersama.

Peran oposisi dalam kerangka ini adalah membawa dan menghadirkan antitesis-antitesis pemikiran, gagasan, aspirasi dan kehendak konstituen minoritas secara terus-menerus dalam setiap rancangan kebijakan pemerintah yang akan berpengaruh pada warna kehidupannya.

Dengan cara dialektik dan politik diskursif ini terbuka peluang setiap rancangan kebijakan pemerintah menjadi lebih baik karena ia dikawal dengan kritis alias tidak dibiarkan berjalan sekehenak penguasa. Jadi, tidak seperti yang dibayangkan banyak orang bahwa kiprah kaum oposisi hanyalah untuk mendegradasi kebaikan-kebaikan pemerintah lalu menjatuhkannya. Melainkan justru (secara tidak langsung) dapat memperkuatnya melalui produk-produk kebijakan politik yang dianggap baik untuk kepentingan bersama.

Ketiga, Mencegah Demokrasi Mayoritas Tirani . Dalam hal ini Oposisi berfungsi sebagai penyeimbang terhadap demokrasi mayoritas yang berpotensi menjadi tirani di suatu negara. Mereka menghindarkan terjadinya dominasi total oleh satu kelompok politik, memastikan bahwa pendapat dan kritik dari berbagai pihak tetap diakui dan diperhatikan sebagaimana mestinya.

Keempat, Membentuk Pemerintahan Demokratis yang Terbuka. Dengan adanya pihak  oposisi diharapkan akan berkontribusi dalam membentuk pemerintahan demokratis yang terbuka terhadap kritik untuk kepentingan bersama.  Mereka membantu mencegah terjadinya pemerintahan yang anti-kritik, memastikan bahwa kritik dan saran konstruktif memiliki tempat yang setara dengan dukungan terhadap pemerintahan yang berkuasa.

Berdasarkan uraian diatas, keberadaan kelompok oposisi baik di parlemen maupun non-parlemen (masyarakat sipil, para akademisi, tokoh masyarakat dll) sesungguhnya adalah terhomat dan mulia. Karena peran-peran fungsional mereka adalah menjaga, mengingatkan dan membentengi agar para penguasa tidak terjerumus kedalam sesat pikir, sesat arah dan sesat jalan dalam mengoperasikan kekuasaan negara.

Selain itu, melalui tradisi dialektik dan politik diskursif yang cerdas dan ikhlas (semata-mata untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan negara) kelompok oposisi juga dapat memberi kontribusi positif pada setiap rancangan kebijakan dan program-program pemerintah berupa gagasan dan pemikiran-pemikiran visioner mereka.

Mengapa Enggan Beroposisi ?

Satu persatu partai pengusung pasangan 01 mulai merapat ke pemenang Pilpres 2024. Selain Nasdem dan PKB, PKS dan PPP  nampaknya juga ingin sekali di dekati oleh pemenang pemilu pasangan Prabowo-Gibran Rakabuming Raka.

Elit Nasdem Surya Paloh menyatakan dukungan secara langsung kepada Prabowo-Gibran saat bertemu dengan Ketua Umum Partai Gerindra ini di Jalan Kertanegara Nomor 4, Jakarta Selatan, Kamis (25/4/2024). Ia menjelaskan, Nasdem memutuskan mendukung Prabowo-Gibran atas dasar kepentingan bangsa yang lebih besar. "Kami semua berkesimpulan, spirit semangat jiwa besar ini modal utama yang kita butuhkan. Berangkat dari sini Nasdem kembali menegaskan mendukung pemerintahan baru, Prabowo-Gibran," ujar dia dikutip pers di Jakarta, Kamis (25/4/2024).

Ketika ditanya wartawan usai pertemuan yang digelar di kediaman Prabowo di Kertanegara, Jakarta Selatan, Paloh menyampaikan alasannya enggan memilih menjadi oposisi pemerintah yang terbetuk nantinya.

“Beroposisi bisa setiap saat, tapi bekerja membantu pemerintahan itu dibutuhkan juga suatu semangat, suatu spirit, dan keikhlasan hati yang mengedepankan objektivitas yang tetap menjaga nalar dan daya kritis,” kata Paloh di Kertanegara, Kamis 25 April 2024.

Paloh meminta di usia senjanya diberi kesempatan untuk bersama pemerintah membangun bangsa agar lebih maju kedepannya.“Setelah kami memasuki usia yang sama, di hari-hari senja kami, beri kesempatan, kepercayaan kami berdua, kami kepingin bangsa ini maju,” pungkasnya.

Kebanyakan elite politik yang kalah dalam kontestasi lalu ingin bergabung dengan pemenang pemilu menyebut alasannya karena alasan kebersamaan serta ingin mengabdi untuk kepentingan bangsa dan negara. Sebuah alasan klasik yang kadang membuat orang ketawa. Karena seyogyanya mereka yang kalah dalam kontestasi pemilu itu mestinya tahu diri menempatkan dirinya. Tidak mengemis ngemis ke pemenang pemilu yang telah mengalahkannya.

Dengan merapat ke pemenang pemilu, kesannya mereka itu sudah putus urat malunya. Seolah olah tidak mau menerima nasib sebagai pihak yang kalah dengan segala konsekuensinya. Apalagi kalau kemudian membuat alasannya demi kebersamaan atau untuk mengabdi demi bangsa dan negara maka diluar pemerintahan alias menjadi oposisi sebenarnya akan jauh lebih terhormat dan mulia.

Alasan yang sering dikemukakan bahwa dengan masuk pemerintahan tidak akan mengurangi daya kritis, kiranya hanya omong kosong belaka. Karena kalau sudah ada dipemerintahan biasanya akan seia sekata, sendiko dawuh pada titah penguasa.  Tidak ada perlawanan atau upaya untuk mengingatkan pemerintah yang berkuasa meskipun telah menyelewenangkan kekuasaannya.

Pelanggaran pelanggaran Undang Undang maupun konstitusi dibiarkan begitu saja tanpa adanya partai politik yang bersedia untuk mengingatkan atau mencegahnya. Pengalaman selama dua periode pemerintahan Jokowi telah membuktikannya. Partai partai yang menjadi pendukung pemerintahannya tidak bisa bersikap kritis kepada kebijakan penguasa bahkan melegalisasinya. Makanya kebijakan pemerintah yang aneh aneh seperti pindah ibukota (IKN), atau pembangunan kereta cepat Bangung -Jakarta yang kontroversial mulus mulus saja.

Demikian pula halnya lahirnya Undang Undang yang bermasalah seperti UU Corona, UU Minerba, Revisi UU KPK, UU Omnibulaw Cipta Kerja dan yang lain lainnya semua berjalan mulus tanpa ada koreksi dari partai partai yang katanya berjuang demi kepentingan rakyat, bangsa dan negara melalui keinginannya bergabung dengan pemerintah yang sedang berkuasa.

Mengutip pendapat dari Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI Jusuf Kalla (JK) menilai banyak partai politik di Indonesia yang pragmatis alias bersikap praktis demi mencapai tujuan jangka pendeknya.  "Apakah partai-partai akan berubah? Banyak partai yang pragmatis, termasuk partai saya Golkar," kata JK dalam pidatonya di Election Talk FISIP UI, Depok, Jawa Barat, Kamis (7/3/24).

Menurut JK,memang  tak ada parpol yang mau jadi oposisi pemerintah yang sedang berkuasa. Ia berpendapat parpol didirikan untuk mencapai tujuannya dengan cara jadi bagian dari penguasa."Oposisi bagi partai adalah kecelakaan. Jadi karena itu banyak yang pragmatis," kata dia seperti dikutip media.

Alhasil dari sekian lama menyimak perjalanan partai politik di Indonesia sejak jaman orde lama,masa orba maupun era reformasi  nampaknya memang ada keengganan untuk menjadi barisan partai oposisi di Indonesia.  Kalaupun nanti selintas ada ide berhembus untuk bertentangan yaitu menjadi bagian dari kelompok opisisi kiranya itu semua hanyalah bagian dari drama belaka.

Karena politik hanyalah cara mencari keuntungan bagi pihak yang menginginkannya. Dan pihak mana yang mau rugi untuk kepentingan rakyat, bangsa dan negara ? . Apalagi berposisi menentang kekuasaan dengan kekuatan terbatasnya ?.  Rasanya mereka akan berpikir ulang untuk menjadi bagian dari oposisi karena bakal tidak menguntungkannya

Karena hampir semua orang pada dasarnya ingin jadi pemenang dan sama-sama berpesta atas nama demokrasi meskipun sebenarnya telah kalah melalui kontestasi yang baru saja diikutinya. Tetapi ketika urat malu sudah putus, mereka tetap saja ingin merapat ke pemenang pemilu yang semula menjadi rivalnya demi kepentingan sesaat (baik berupa jabatan, finanansial) atau kepentingan pragmatis lainnya.

Menyaksikan sepak terjang partai politik akhir akhir ini, memang sungguh mengherankan tentunya. Bahwa  begitu mudah partai politik berpindah haluan semudah membalik telapak tangan saja. Garis politik berubah drastis dengan alasan klasik yang terkesan mengada ada: demi kebersamaan, demi bangsa dan negara, begitu katanya.

Rasanya tidak keliru bila rakyat memperoleh kesan bahwa perubahan itu lebih didasari oleh kepentingan jangka pendek, seperti ingin kebagian kursi menteri dalam kabinet maupun, yang semakin terlihat lebih terang, kepentingan bisnis segelintir elitenya. Kepada rakyat tidak diperlihatkan fatsoen berpolitik bahwa menjaga sikap politik itu merupakan kehormatan dan bahwa menjadi oposisi itu merupakan bagian penting dalam menegakkan demokrasi di Indonesia.

Pada hal bila tak ada partai politik yang mau berdiri sebagai opisisi, lalu siapa yang akan mengawasi sepak terjang pemerintah nantinya ? Siapa yang akan mengoreksi bila terjadi penyimpangan oleh pemerintah yang berkuasa? Siapa pula yang akan memberi alternatif terhadap pilihan-pilihan kebijakan pemerintah Prabowo-Gibran Rakabuming Raka ? Bahkan, bila berpikir lebih buruk lagi, lantas apa bedanya dengan masa Orde Baru ketika partai-partai mendukung apa saja kebijakan pemerintahnya?

Kekaburan sikap politik dan arah perjuangan politik partai-partai membuat rakyat dihadapkan pada pilihan-pilihan serupa yang pragmatis sifatnya.  Sementara bagi para elite ini, jadi menteri atau pejabat pemerintahan lainnya terlihat lebih menarik ketimbang menjadi penyedia alternatif bagi kebijakan pemerintahan yang berkuasa. Sungguh sangat menggenaskan sekali ya.

Membangun Barisan Oposisi

Salah satu “cerita sukses” Orde Baru dan Orde Lama adalah mampu mempersepsikan bahwa menjadi oposisi adalah sebuah kesalahan dan tidak seharusnya ada. Oposisi dianggap pula sebagai mereka yang telah terpengaruh oleh pandangan politik liberal yang pro-individualisme, bahkan antek kekuasaan asing yang ingin memusuhi Indonesia

Oposisi juga disamakan dengan mereka yang telah tercerabut dari akar dan jati diri bangsa. Citra oposisi sebagai sesuatu yang buruk ditumbuhkembangkan secara sistematis pada masa Orde Lama dan Orde Baru (Orba).

Pandangan salah kaprah di atas sayangnya telah telanjur tertanam cukup lama di masyarakat Indonesia. Pada akhirnya membuat pemikiran yang mengaitkan oposisi dengan hal hal negatif tersebut dapat dengan mudah diterima oleh masyarakat kita.

Selain masalah persepsi negatif, penghargaan terhadap oposisi dan berkomitmen atasnya terhalangi atau mendapat tantangan dengan kuatnya sikap pragmatisme dalam dunia perpopitikan kita. Pragmatisme ini menyebabkan komitmen beroposisi dapat dengan mudah mencair atau terbeli ketika harus berhadapan dengan tawaran-tawaran politik yang menggiurkan misalnya berupa tawaran kursi atau finansial dari penguasa.

Komitmen beroposisi menjadi sulit terbangun juga karena partai politik pada umumnya belum cukup mampu mempertahankan kemandiriannya.Ketidakmandirian secara finansial telah membuat mereka tidak memiliki pilihan selain berdamai dengan penguasa atau setidaknya mengurangi sikap kritisnya.

Semangat beroposisi juga terkendala oleh adanya ketergantungan pada patron atau political broker di sebagian besar partai politik kita. Dalam nuansa politik yang masih mengandalkan patronase politik, yang sayangnya kerap dikuasai oleh para elite birokrasi (birokrat) atau pemilik modal (saudagar), benih-benih beroposisi dikacaukan oleh berubah-ubahnya sikap dan orientasi patron terhadap penguasa.

Dalam kaitan tersebut parpol sebagai institusi yang terkait langsung dengan pembentukan oposisi dalam pemerintahan perlu penguatan sedemikian rupa yaitu dengan cara : (1) pemantapan ideologi, (2) pelaksanaan kaderisasi, dan (3) kemandirian partainya

Berkaitan dengan persoalan pertama, dapat dilihat bahwa hal yang memungkinkan oposisi tumbuh kuat, selain tingginya kesadaran berdemokrasi, adalah adanya keyakinan atas ideologi partainya. Pada kasus negara-negara demokratis yang sudah solid, terlihat warna ideologis antara mereka yang memerintah dan yang mengambil peran oposisi tampak jelas berbeda.

Perbedaan itu berlanjut hingga waktu yang lama tanpa kemudian terlihat keinginan melebur menjadi satu kelompok dengan dalih kebersamaan, demi banga dan negara blab la bla. Peleburan atau koalisi cenderung terjadi pada partai-partai yang memiliki kedekatan ideo logi dengan membentuk sebuah kaukus untuk menguatkan bargaining position terhadap pihak lawan yang menjadi lawan politiknya.

Ideologi tidak semata bersifat simbolis, tetapi juga mampu menjadi sumber inspirasi yang menggerakkan para kader dan menjadi landasan partai dalam mengambil kebijakan ataupun menentukan pilihan-pilihan politiknya.

Sayangnya, pemantapan ideologi saat ini masih menjadi persoalan pada sebagian besar partai di Indonesia. Sejauh ini, kebanyakan partai masih digerakkan oleh kepentingan oligarkis dan elite tertentu dengan target jangka pendeknya. Di tangan para elite itulah landasan kebijakan dan keberpihakan politik partai ditentukan yaitu mau diarahkan kemana.

Sayangnya pula, elite partai tidak selamanya digerak kan oleh idealisme atau komitmen ideologi, tetapi oleh kepentingan eksklusif untuk selalu berada dalam lingkaran kekuasaan, baik pada level nasional maupun lokal.

Dalam nuansa seperti ini, transaksi politik yang bersifat pragmatis kerap menjadi pilihannya. Akibatnya, komitmen beroposisi demikian cair atau kerap berantakan di tengah jalan karena silau dengan pragmatism mereka. Di sisi lain, bagi partai-partai yang tengah memerintah, lemahnya keyakinan ideologi menyebabkan mereka tidak cukup percaya diri untuk dapat menjalankan pemerintahan berdasarkan pada ideologinya. Akibatnya, alih-alih tetap mencoba konsisten dengan keyakinan politiknya, pemerintah justru sibuk untuk mematikan potensi oposisi, terutama di masa-masa awal pemerintahannya.

Pada masa mendatang, partai-partai politik di Indonesia seharusnya lebih bersungguh-sungguh membangun ideologinya. Penegakan komitmen ideologis semacam ini dapat dimulai pada kesadaran untuk menemukan dan memantapkan kembali arah ideologi partai dan menyosialisasinya secara sistematis kepada seluruh kader melalui kepengurusan, jaringan partainya.Melalui kaderisasi yang sistematis, para kader akan memahami jati diri partainya, termasuk tujuan partainya.

Secara umum, kaderisasi berkaitan dengan pemantapan kesadaran bahwa hakikat keberadaan kader adalah sebagai fungsionaris atau “alat partai” yang dituntut untuk terus memberikan kebaikan kepada partai dan masyarakat yang diperjuangkanya.

Melalui kaderisasi ini pula kader akan ditempa kesadaran kolektifnya, yakni sebagai bagian dari sebuah komunitas yang berkhidmat pada sebuah nilai-nilai (values) dan tujuan atau idealisme bersama. Dengan kuatnya pemahaman ini, kader diharapkan tidak mudah digerakkan oleh kepentingan pragmatis yang bersifat sesaat saja.

Kaitan kaderisasi dengan oposisi adalah jelas bahwa, manakala pemerintahan yang terbentuk tidak mewakili kepentingan atau aspirasi ideologis partai, dengan sendirinya partai akan mengambil posisi di luar pemerintahan bukan mengemis ngemis ingin mendapatkan kekuasaan demi tujuan pragmatisnya

Partai tidak akan mudah tergoda untuk bergabung ke dalam pemerintahan hanya demi kepentingan yang bersifat material atau pragmatis semata. Menempatkan diri sebagai bagian dari oposisi akan bersifat otomatis saja dan dilandasi oleh kesadaran penuh yang setara antara elite dan kader biasa.

Di sisi lain, partai akan ditinggalkan apabila logika nonideologis ternyata menjadi alasan utama yang diambil dalam menentukan posisi politiknya. Untuk mendorong dan turut menguatkan pembangunan kaderisasi maka UU Partai Politik di masa datang harus pula didesain untuk dapat memastikan bahwa kaderisasi yang sistematis dan berkala dapat berjalan sebagaimana mestinya.

UU Partai Politik harus dapat memaksa partai agar bersungguh-sungguh melaksanakan kaderisasi secara kontinum dan menjadikan kaderisasi sebagai mekanisme yang menentukan jenjang karier mereka. Bagi partai partai yang terbukti tidak mampu melakukannya, pemerintah berhak membatalkan keikutsertaannya dalam pemilu atau bentuk sanksi yang lainnya.

Hal lain  yang juga harus dilakukan adalah membangun kemandirian partai-partai karena komitmen untuk berada di luar pemerintahan dan menjadi oposisi yang paripurna atau total membutuhkan kemandirian yang total juga. Apabila partai masih terikat pada pemerintah, baik karena kepentingan patron maupun kebutuhan yang memaksanya terikat, peran oposisi akan tidak banyak bermakna.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah negara memberikan dana yang memadai untuk dikelola oleh partai dengan prinsip dilakukan melalui transparansi yang tinggi dan pertanggungjawaban atau kontrol yang untuk pemanfaatanya. Pelanggaran atau penyalahgunaan dana itu dapat dikenai sanksi yang amat berat, termasuk pembatalan keikutsertaan dalam pemilu atau sanksi berat lainnya.

Rasionalitasnya adalah membiarkan partai mengumpulkan dana tanpa bantuan pemerintah akan menyebabkan partai, cepat atau lambat, dikuasai oleh pemberi sumbangan terbesar yang dapat menjadikan partai sebagai kendaraan politik dan pada akhirnya menguatkan oligarki internal yang membiayainya.

Manakala sang penyumbang menginginkan jabatan di pemerintahan, bisa saja akhirnya partai merapat ke pemerintah meski jati diri dan ideologinya tidak sejalan dengan pemerintah yang berkuasa. Di sisi lain, apabila partai tidak memiliki donor yang besar, upaya-upaya partai untuk mendapatkan uang akan mengundang terjadinya pemanfaatan posisi jabatan negara atau publik yang kerap berujung pada korupsi demi kepentingan partainya. Adapun mereka yang murni berada di luar pemerintahan berpotensi mengalami kebangkrutan total karena tidak memiliki sumber pendanaan bagi partainya.

Studi Perludem (Supriyanto & Wulandari, 2012) memperlihatkan bahwa dengan hanya mengandalkan iuran anggota dan usaha-usaha lain yang legal dan tidak mengikat cenderung tidak banyak membantu partai dalam membiayai kebutuhan sehari-hari ataupun pelaksanaan berbagai agenda dan program partai, termasuk pelaksanaan kaderisasi secara berkala.

Akibatnya, partai dihadapkan pada dua pilihan yang tidak mengenakkan: mati suri demi menjaga idealismenya atau menyerah pada kenyataan dan bergabung dengan pemerintah yang sedang berkuasa. Dengan demikian, aspek strategis dukungan keuangan partai oleh pemerintah, yang harus dilakukan secara transparan dan terkontrol, tidak hanya akan membantu partai dalam menjalankan fungsi-fungsi dan segenap kebutuhannya, tetapi lebih dari itu adalah membantu parpol dapat lebih mandiri dalam menjalankan idealismenya, termasuk ketika memutuskan  oposisi sebagai pilihan politiknya.

Dengan adanya partai politik yang mantab ideologinya, lancar kaderisasinya serta mandiri pendanaannya maka diharapkan adanya fenomena elite politik parpol yang alergi beroposisi bisa di minimalkan eksistensinya.

Karena sebagai warga bangsa kita kadang kadang ikut malu juga menyaksikan elite politik yang kalah dalam kontestasi tetapi dengan tebal muka sowan ke pemenang pemilu dengan dalih demi kebersamaan, demi bangsa dan negara. Pada hal yang di incar sebenarnya adalah kursi Menteri atau keuntungan lain yang sifatnya pragmatis semata. Apakah memang begitu faktualnya ?