Waspada, Rekam Jejak Digital Negatif Bisa Diancam Pidana

Jakarta, law-justice.co - Masyarakat yang aktif di media sosial terus diingatkan atas bahaya yang muncul dari rekam jejak digital. Di mana ada potensi terjadi kejahatan dari rekam jejak digital ini. Baik menjadi korban atau sebagai pelaku.

Demikian pandangan ahli Hukum Pidana Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Bandung, Mas Putra Zenno Januarsyah, dalam diskusi daring "Literasi Digital untuk Masyarakat: Hati-hati Rekam Jejak Digital", Selasa (30/4).

Baca juga : Kades di Cirebon Sebar Ciri-ciri 3 DPO Pembunuh dan Pemerkosa Vina

"Di mana ada masyarakat, di situ ada kejahatan. Kejahatan itu menandakan masyarakat yang dinamis," ujar Putra Zenno.

"Jadi berkaitan dengan rekam jejak digital yang muncul dari suatu kedinamisan dalam masyarakat, maka di situ juga sudah barang tentu ada kejahatan. Apakah kita menjadi pelaku dari kejahatan yang berkaitan dengan rekam jejak digital, atau kita menjadi korban," sambungnya.

Baca juga : Kejagung Sita Rumah Mewah di Serpong Milik Tersangka Korupsi Timah

Putra memaparkan, ada beberapa aliran yang menjelaskan mengapa manusia melakukan kejahatan. Yaitu kriminologi klasik, pengaruh positivisme ilmu, dan kombinasi (klasik dan positivisme ilmu).

Aliran kombinasi ini menjelaskan bahwa kejahatan terletak pada faktor-faktor bio-sosiologis atau bakat (B) dan lingkungan (L), yang secara bersama-sama memberi pengaruh terhadap pribadi dan kondisi seseorang yang pada saatnya dapat berbuat jahat.

Baca juga : KPK Geledah Rumah Saudara SYL di Makassar, Ini yang Dicari

"Jika dikaitkan dengan rekam jejak digital, seseorang menjadi pelaku kejahatan itu karena faktor lingkungan yang memberi kesempatan, memanfaatkan rekam jejak digital sehingga dia berbuat jahat, atau dia tak sadar telah melakukan kejahatan," jelasnya dikutip dari RMOL.

Kedua, lanjut Putra, lingkungan yang memberi contoh. Hal ini banyak terjadi di masyarakat. Contoh, saat Tim U-23 Indonesia kalah dari Uzbekistan Senin malam kemarin, cara warganet meratapi kekalahan adalah dengan menghina atau berkomentar buruk kepada wasit karena dianggap sebagai penyebab kekalahan.

Putra pun mengingatkan bahwa masyarakat harus lebih berhati-hati saat menyampaikan komentar dalam platform digital. Karena ada mekanisme kalau kita ingin menyampaikan keluh kesah terkait performa wasit, misalnya ke AFC atau FIFA sebagai otoritas sepak bola dunia.

"Karena lingkungan seperti itu yang muncul, yang lain pun ikut mengomentari hal serupa, yang negatif. Padahal ancaman hukum pidana melekat di situ. Apakah ada nama baik yang dicemarkan, ada ujaran kebencian, itu ada ancaman pidananya," tutur pria yang menyelesaikan program doktoral Ilmu Hukum di Unpad ini.

"Menurut Willem Bonger, lompatan peradaban dapat menyebabkan atau menjadi faktor terjadinya kejahatan. Ketika kita tidak siap menghadapi lompatan peradaban maka ada hal-hal yang menyimpang, tak mempedulikan komentar di media sosial yang ujungnya menimbulkan kejahatan," sambungnya.

Namun demikian, jejak digital tetap punya sisi positif. Di antaranya bisa mengetahui sifat asli seseorang. Meskipun kadang kurang akurat, namun banyak orang yang diketahui sifat aslinya berdasarkan interaksi di media sosial.

Kemudian mempermudah pengembangan bisnis. Adanya jejak digital, terkhusus jejak digital pasif sangat bermanfaat untuk pengembangan bisnis. terutama tim pemasaran dalam melakukan personalized marketing.

"Lalu jadi pertimbangan sebelum merekrut karyawan baru atau penerimaan beasiswa, juga saat mengevaluasi kinerja karyawan," imbuh Putra.

Lebih jauh lagi, Putra menyebut jejak digital dapat memicu doxing yang berujung menjadi korban kejahatan.

Secara terminologi, doxing berasal dari bahasa Inggris, dox, singkatan dari document. Sehingga doxing adalah suatu tindakan berbasis internet untuk meneliti, mencari tahu, dan menyebarkan informasi pribadi secara publik pada individu atau organisasi.

Perilaku doxing juga kerap berkaitan dengan stalking atau penguntitan. Bahkan informasi yang disebarkan dari perilaku doxing sering kali dirilis dalam konteks yang dapat menyebabkan orang ketakutan.

"Ketika masyarakat tidak bisa meninggalkan rekam jejak digital yang kurang baik, tidak harus menunggu waktu kapan rekam jejak digital kita bisa diaplikasikan dalam hal-hal berkaitan hukum, kapanpun dapat mengintai yang namanya ancaman pidana, terutama dalam UU ITE," jelasnya.

Seperti yang berkaitan dengan kesusilaan, menyebar ujaran kebencian, berita bohong, menyerang kehormatan atau nama baik orang lain, hingga pemerasan dan pengancaman.

"Jadi hati-hati, ancaman pidana mengintai (dalam rekam jejak digital kita). Ancaman pidana ini bisa pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, dan pidana-pidana tambahan lainnya," tegas Putra.

Nah, agar rekam jejak digital kita bisa terjaga dengan baik, maka bijaklah dalam menggunakan internet. Lalu aplikasikan pengaturan privasi browser, hapus konten atau unggahan yang merugikan diri sendiri, dan batasi pelacakan aplikasi

"Dan pikirkan baik-baik sebelum mengunggah konten," pungkasnya.

Sementara itu praktisi literasi digital, Profesor Widodo Muktiyo,  mengingatkan masyarakat soal screen time management. Sebab, berdasarkan hasil riset, masyarakat sudah mengalami kegelisahan ketika 8 menit tak memegang telepon seluler.

"Bahkan generasi milenial, baru satu menit bangun tidur, satu menit membuka mata, sudah langsung pegang handphone. Kita benar-benar sudah ketagihan," ucap Widodo, mengingatkan.

Hal yang tak kalah penting, menurut Prof Widodo adalah digital footprint. Di mana kita harus betul-betul memahami bahwa jejak digital bisa membawa berkah, tapi juga bisa memberi kerugian.

"Berkah itu seperti membagikan kata-kata bijak, ide-ide inovatif yang memberi kebaikan bagi banyak orang, yang akan jadi pahala bagi kita. Mari kita betul-betul menjadi generasi muda yang punya kepedulian positif. Digital ini menjadi tools, alat yang menjadi kelebihan kita," demikian Prof Widodo.