Pengusaha Mohon MK Hapus Pajak Hiburan 75% untuk Diskotek hingga Spa

Jakarta, law-justice.co - Dewan Pengurus Pusat Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (DPP GIPI) mengajukan gugatan terhadap aturan soal Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) minimal 40% dan maksimal 75% dihapus. GIPI meminta tarif PBJT paling tinggi 10%.

Hal ini disampaikan dalam sidang Mahkamah Konstitusi (MK) yang digelar Kamis 14 Maret 2024. Gugatan GIPI itu terdaftar dengan nomor perkara 32/PUU-XXII/2024.

Baca juga : Diam-diam Tinggal Disahkan di Paripurna, Ini Daftar Perubahan RUU MK

Dalam petitumnya, pemohon meminta MK menyatakan pasal Pasal 58 ayat (2) UU 1/2022 yang berbunyi `Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40% (empat puluh persen) dan paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen)` bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Kuasa hukum Pemohon, Muhammad Joni, berharap PBJT 10% sebagaimana ketentuan Pasal 58 ayat (1) UU Hubungan Keuangan Antara Pusat dengan Daerah.

"Permohonan ini adalah mengharapkan Pasal 58 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 dihapuskan dan dengan demikian diberlakukan ketentuan Pasal 58 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022," ujar Muhammad Joni dalam sidang perbaikan permohonan sebagaimana dikutip dari situs MK, Jumat 15 Maret 2024.

Baca juga : Achsanul Akui Diminta Manipulasi Hasil Audit BPK oleh Eks Dirut Bakti

Pemohon dalam perkara ini ialah pengusaha yang mewakili enam badan hukum yang menjalankan usaha bidang pariwisata dan hiburan, yaitu Dewan Pengurus Pusat Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (DPP GIPI), PT Kawasan Pantai Indah, CV Puspita Nirwana, PT Serpong Abadi Sejahtera, PT Citra Kreasi Terbaik, dan PT Serpong Kompleks Berkarya. Para Pemohon mengaku mengalami kerugian konstitusional akibat pajak hiburan diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa paling rendah 40% dan paling tinggi 75%.

"Adanya perlakuan yang berbeda secara khusus dan karena itu bersifat diskriminatif terhadap lima jenis pajak hiburan tertentu dan karena itu merugikan secara materiil dan merugikan secara kepentingan konstitusional dari Para Pemohon," jelas Muhammad Joni dilansir dari Detik.

Baca juga : Korupsi Impor Gula PT SMIP, Kejagung Periksa Pegawai Bea Cukai

Pemohon menyebut norma pasal yang diuji bersifat diskriminatif dalam pengenaan tarif pajak hiburan tertentu. Sementara, kata Para Pemohon, diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa adalah nama jenis usaha bersifat umum yang tidak identik diklaim bersifat mewah.

Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mengatakan permohonan ini akan disampaikan dan dibahas dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). Dia mengatakan pemohon dapat menunggu nasib permohonan ini.***