Secara kelembagaan, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) akan mengajukan judicial review, terkait presidential threshold ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Pembatasan itu justru membentuk situasi monopolistik dalam pilpres, melanggar hak dipilih kandidat berkualitas, dan menciptakan arena yang sempurna bagi persekongkolan para oligarki. Kondisi itu dapat berujung kepada terpilihnya kandidat substandar.
Mantan Panglima TNI, Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo menyatakan bahwa presidential threshold (PT) atau ambang batas pencalonan presiden sebagai bentuk kudeta terselubung terhadap negara demokrasi.
"Kalau partai-partai tersebut sudah diumumkan sebagai peserta pemilu, maka partai itulah yang berhak mencalonkan calon presiden dan wakil presiden, baik sendiri maupun gabungan partai. Tidak ada bicara threshold,"
Di dalam demokrasi, setiap orang berhak dipilih dan memilih. Penjelasannya sederhana: bila rakyat berdaulat maka rakyat berhak terlibat dalam mengelola negara. Keterlibatan itu dituangkan dalam hak memilih dan dipilih.
Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Enny Nurbaningsih mempertanyakan kerugian yang dinilai dialami oleh Mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo dalam sistem pemilihan presiden melalui ketentuan ambang batas pencalonan atau presidential threshold.
Hasto menuturkan, pihaknya terus berkomunikasi dengan partai politik koalisi pemerintahan Jokowi-Maruf Amin. Kala Pilpres 2019 kemarin ketidakpuasan masyarakat pada pemilu sangat tinggi, menurutnya hal tersebut tidak boleh terjadi kembali.
Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat menilai apabila ambang batas pencalonan presiden atau Presidential Threshold (PT) 20 persen tetap dipaksakan maka itu merupakan kehendak oligarki.
"Justru MK dibuat untuk menguji apakah UU bertentangan dengan UUD. Semua yang bertentangan dengan UUD yang tidak konstitutional! Gitu aja ribet, sono kuliah lagi," ujarnya di twitter sambil mentautkan akun resmi MK, Minggu petang (2/1).
DPR membuat Undang-Undang Pemilihan Umum (Pemilu) yang berimplikasi Indonesia ‘for Sale’, dengan cara memanipulasi proses pemilihan presiden dan menetapkan Presidential Threshold 20 persen. Artinya, Presiden dan Wakil Presiden hanya dapat dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik dengan jumlah suara minimal 20 persen dari jumlah kursi di DPR.