Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) bersama sejumlah organisasi masyarakat sipil membuat surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait polemik penyegelan masjid Ahmadiyah Sintang, Kalimantan Barat.
Ketua Bidang Advokasi YLBHI Muhammad Isnur merespon Pengacara Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko, Otto Hasibuan yang menanyakan soal mandat Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam mengawasi pemerintahan.
Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari 109 organisasi dan badan mahasiswa menilai somasi yang dilayangkan Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko ke Indonesia Corruption Watch (ICW) merupakan bentuk pemberangusan demokrasi.
Menanggapi hal tersebut, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai diubahnya PP Statuta UI tersebut untuk melindungi Ari Kuncoro. Apalagi, dia merupakan aktor penting untuk memuluskan Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja.
"Kalau sanksi kenapa menggunakan UU Kekarantinaan Kesehatan. Tapi ketika penerapan kekarantinaan, kenapa bukan pakai UU (yang sama)," kata Asfin dalam konferensi persnya pada Minggu (18/7/2021).
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati, menilai pernyataan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Muhadjir Effendy soal situasi darurat militer dalam menangani pandemi Covid-19 dan penjelasan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menunjukkan rendahnya tingkat pengetahuan pejabat terhadap undang-undang.
“Perlu berhenti melakukan komunikasi yang mencitrakan bahwa kita sedang baik-baik saja yang justru mengakibatkan rendahnya kewaspadaan masyarakat terhadap masifnya penularan Covid-19,” tuturnya dalam seri diskusi bertajuk “Gagalnya Indonesia Menyelamatkan Rakyat” yang digelar virtual.
"TWK itu adalah litsus model baru pemerintahan saat ini, Litsus itu adalah sebuah instrumen untuk mengendalikan masyarakat yang digunakan pemerintah orde baru yang waktu itu menyasar soal PKI, tapi narasi besarnya adalah ekstrem kanan dan kiri," kata Asfinawati.
"Ini menunjukkan DPR dan Pemerintah antikritik dan tidak sesuai dengan UUD 1945. DPR adalah lembaga negara, maka artinya suara publik adalah kritik. Lembaga publik kalau ga boleh dikritik artinya bukan demokrasi lagi," ujarnya.