Hubungan sosial masyarakat Indonesia saat ini sangat rentan dengan perpecahan. Hal itu disampaikan oleh Presiden keenam Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dia pun mengaku prihatin dan mengatakan kondisi itu bermula dari Pilkada DKI Jakarta Tahun 2017.
Politikus Demokrat Andi Arief menyentil Mahfud MD soal jenderal tua yang diduga melakukan pelanggaran HAM. Terhadap kicauan Andi Arief itu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) itu pun langsung meresponsnya.
Walau aturan konstitusional amat jelas, namun kehendak atau bahkan gerakan untuk menurunkan presiden yang memegang jabatan selalu hidup dalam dunia perpolitikan di Indonesia. Mengapa ada fenomena seperti ini?
Partai yang didirikkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Demokrat kembali mengkritik cara penanganan COVID-19 oleh pemerintahan Joko Widodo atau Jokowi. Hal itu terkait adanya kebijakan baru pemerintah yang memwajibkan penumpang melakukan rapid test antigen jika bepergian ke luar kota.
"Jangan sampai hukum jadi alat kekuasaan untuk membungkam para pengkritik. Ingat! Rakyat sangat berhak menilai presiden dan para penjabat negara karena digaji dari uang rakyat," kata Rizal Ramli.
Rizal mengatakan, cerita JK tidak benar. Dia mengaku di menit akhir terpental dari jabatan menteri karena dijegal JK.
"Namun kemunduran paling jelas terasa pada periode kedua Jokowi," sambungnya.
“Walau kerap didemo oleh generasi muda di era pemerintahannya, Bapak SBY tak mudah menyalahkan generasi muda dan malah mempertanyakan prestasi mereka,” tegasnya.
"Kalau memang menggerakan menunggangi membiayai dianggap negara kejahatan dan melanggar hukum, hukum harus ditegakkan lebih baik disebutkan. Kalau tidak negaranya membuat hoaks, tidak bagus karena kita harus percaya kepada pemerintah kita," terangnya.
“Jaman SBY siapapun bebas bicara apapun di socmed tanpa takut terjerat UU ITE. Jaman SBY lebih baik dari jokowi yg sekarang,” ujarnya.