Sikap Pemerintah Amerika Serikat (AS) yang menolak kehadiran Presiden Rusia Vladimir Putin di KTT G20 dinilai tak adil oleh Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Prof Hikmahanto Juwana. Pasalnya, Putin sudah mengonfirmasi soal kehadirannya ke Presiden Joko Widodo (Jokowi).
"AS seolah menjadi hakim dunia yang menentukan kebijakan suatu negara salah atau benar. Padahal basis untuk melakukan sangat meragukan," kata Prof Hikmahanto.
"Pernyataan Kemlu bisa memicu hacker Rusia untuk mengacaukan Indonesia. Pada poin 2 digunakan istilah `military attack on Ukraine is unacceptable` (serangan militer terhadap Ukraina tidak bisa diterima)," ujar Hikmahanto.
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana mengkritisi pernyataan resmi Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) RI terkait invasi Rusia terhadap Ukraina.
Menurutnya, Presiden Jokowi dapat mengutus Menlu Retno Marsudi untuk melakukan shuttle diplomacy dengan melakukan pembicaraan ke berbagai pihak, termasuk Presiden MU dan Sekjen PBB, Menlu Rusia, Menlu Ukraina, Menlu negara-negara Eropa Barat dan AS.
Pro kontra penandatanganan perjanjian penataan ruang udara atau Flight Information Region (FIR) antara Indonesia dengan Singapura mengemuka. Pro kontra muncul usai Guru besar hukum internasional Universitas Indonesia (UI) Prof Hikmahanto Juwana menyebut pemerintah RI dikecoh.
Lebih lanjut, Hikmahanto mengatakan bahwa tindakan para pejabat tersebut sangat membahayakan kedudukan Presiden Joko Widodo. Ini mengingat presiden saat akan memulai jabatan berdasarkan Pasal 9 ayat (1) UUD 1945 bersumpah untuk menjalankan segala UU dan peraturannya dengan selurus-lurusnya.
Guru besar hukum internasional Universitas Indonesia (UI) Prof Hikmahanto Juwana menilai Singapura cerdik sehingga bisa mengecoh Indonesia terkait perjanjian ruang udara atau Flight Information Region (FIR) yang diteken Pemerintah RI-Singapura.
"Ternyata Singapura sangat cerdik dalam menegosiasikan Perjanjian FIR, sehingga para negosiator Indonesia terkecoh," kata Hikmahanto.
Pemerintah Indonesia telah menandatangani perjanjian ekstradisi dengan Singapura beberapa waktu lalu. Namun, menurut Guru besar bidang studi hukum internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana, perjanjian tersebut sudah dilakukan sejak zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dia meminta glorifikasi Indonesia memenangkan pertarungan disetop.