Muchtar Pakpahan

Kebijakan yang Zalim akan Menimbulkan Perlawanan Rakyat

Sabtu, 26/12/2020 12:21 WIB
Prof. Dr. Muchtar Pakpahan (Foto: SBSI)

Prof. Dr. Muchtar Pakpahan (Foto: SBSI)

law-justice.co - Muchtar Pakpahan bukanlah nama yang asing di dunia perburuhan. Dia adalah salah satu dari sedikit orang yang masih konsisten di gerakan buruh sejak Orde Baru hingga saat ini. Memasuki usia 67 tahun, Muchtar masih bergelut di DPP Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI). Mimpinya belum berubah, membayangkan Indonesia benar-benar menjadi Welfare State.

Pada 21 Desember 2020 menjadi hari yang membahagiakan bagi Muchtar karena pertambahan usia menjadi 67 tahun disertai dengan kabar bahagia bahwa kondisi kesehatannya mulai membaik. Siapa sangka, Muchtar mampu berjuang melawan kanker Nasofaring yang dia derita sejak 2018. Juli tahun lalu, Muchtar dinyatakan bersih dari kanker. Beberapa penyakit lainnya pun berangsur pulih.

“Kondisi kesehatan saya saat ini belum begitu pulih, tapi tidak sakit. Masih bisa beraktivitas sebagai guru besar di Universitas 17 Agustus, Ketum DPP SBSI, dan sebagai lawyer,” kata Muchtar saat dihubungi Law-Justice, Selasa (22/12/2020).

Usia yang ke-67 tentunya bukan waktu yang singkat untuk merefleksikan sebuah perjalanan hidup. Sudah banyak hal yang dilalui seorang Muchtar hingga menjadi seperti sekarang ini. Pria kelahiran Bah Jambi 2 Tanah Jawa, Simalungun Sumut, 21 Desember 1953 itu, adalah salah satu penggagas cikal bakal organisasi buruh independen pada masa Orde Baru, yakni SBSI.  

Pada usia 18 tahun, Muchtar sudah menjadi yatim-piatu karena ditinggal oleh kedua orang tuanya, Sutan Johan Pakpahan dan Victoria Silalahi. Muchtar menghabiskan masa kecilnya di daerah Tanah Jawa, Sumatera Utara. Memasuki usia Sekolah Menengah Atas, dia hijrah ke Medan. Suami Rosintan Marpaung ini memperoleh gelar Sarjana Hukumnya di Universitas Sumatera Utara (USU).

Bapak dari 3 (tiga) orang anak yang masing-masing bernama Binsar Jonathan Pakpahan, Johanes Dharta Pakpahan dan Ruth Damai Hati Pakpahan, ini memulai kariernya sebagai seorang pengacara pada tahun 1978 dan mulai menjadi seorang advokat pada tahun 1986. Sudah sejak dulu, Munchtar dikenal sebagai orang yang sering membela hak-hak rakyat kecil.

Sejak saat itu banyak buruh dan petani yang datang ke kantornya untuk meminta bantuan hukum. Karena kegigihannya dalam memperjuangkan hak-hak para buruh dan petani pada zaman Orde Baru, sering kali Muchtar dianiaya dan diancam dibunuh. Dia juga dituduh menghidupkan kembali Partai Komunis Indonesia (PKI).

Dari perjalanannya membela buruh, pada tahun 1992 lahirlah Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) yang diketuainya hingga saat ini. Muchtar merintis SBSI bersama Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Sabam Sirait, dan Dr. Sukowaluyo.

Muchtar pernah dipenjara 3 kali pada masa Orde Baru karena kegiatannya di SBSI yang kencang mengkritik pemerintah. Januari 1994 ditahan di Semarang, Agustus 1994 dipenjarakan di Medan. Pada 1996 dipenjarakan lagi di LP Cipinang karena rangkaian disertasi ia menulis buku Potret Negara Indonesia yang isinya diperlukan reformasi sebagai alternatif Revolusi. Ancamannya saat pidana mati karena dianggap melakukan tindakan subersiv.

Perjuangannya membuahkan hasil karena turut melengserkan kekuasaan Orde Baru. Kini, sudah lebih dari dua dekade usia reformasi, Muchtar melihat Indonesia berjalan mundur. Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia masih jauh panggang dari api. Sistem hukum cenderung tajam ke bawah tumpul ke atas. Para elit politik cenderung mencari kekuasaan ketimbang konsisten di jalan perjuangan. Berikut petikan wawancara reporter Law-Justice dengan Prof. Dr. Muchtar Pakpahan.

Tahun 2020 kita melewati berbagai macam cobaan yang diperparah dengan Pandemi COVID-19. Bagaimana Anda merefleksikan Indonesia tahun 2020?
Hampir setahun kita melewati masa pandemi dan korban-korban bertambah dengan cepat. Hal itu bisa terjadi karena lemahnya penerapan hukum penerapan sanksi para pelanggar protokol kesehatan. Awal-awal pandemi, pemerintah hanya mengimbau tanpa menginstruksikan dengan jelas agar masyarakat ketat dalam menjalankan protokol kesehatan.

Jadinya ya seperti sekarang ini, di Jakarta banyak orang yang tidak jaga jarak dan tidak memakai masker. Itu sangat riskan terhadap kami-kami yang sudah Lansia ini.

Apakah pemerintah seharusnya menerapkan UU Karantina Kesehatan?
Iya. Saya sudah menuliskan surat kepada presiden sebelum PSBB, bahwa kita harus karantina wilayah dengan ketat. Seperti yang dulu pernah dilakukan oleh Tegal. Belajar dari vietnam yang ketat dalam karantina wilayah.

Dulu, awal-awal kontroversi penerapan PSBB katanya masalah ekonomi. Tapi sekarang ekonomi kita juga anjlok to. Kesehatan banyak korban, ekonomi tidak tercapai. Berapa ratus triliun dana yang sudah dipakai untuk penanganan korban COVID-19.

Selain itu, leading sector pengambil kebijakan bukan mereka yang kompeten di bidang kesehatan. Ada Menko Perekonomian dan Menko Maritim. Nyaris tidak ada kebijakan penting dari Menkes.  

Komitmen pemerintah untuk menjaga kesehatan warga negara itu tidak kuat. Lebih kuat komitmen politik dan ekonomi, walaupun ekonomi kita juga hancur pada akhirnya.

Ada banyak kejadian tahun ini di sektor perburuhan, pandemi membawa PHK besar-besaran. Muncul UU Cipta Kerja yang kontroversial. Bagaimana Anda melihat kondisi perburuhan kita saat ini?
Lima poin substansi dalam UU Cipta Kerja itu sudah pasti merugikan buruh. Kalau tidak membuat lebih buruk, pasti akan tetap membuat buruk kehidupan buruh.

Ini akan seperti Orde Baru, banyak pemberontakan di mana-mana.

UU Cipta Kerja dibuat untuk memudahkan investor. Dikiranya itu kebahagiaan untuk dunia usaha kita, padahal itu adalah jalan untuk menuju penderitaan.

Sama dengan saat Presiden mengeluarkan PP 78 TAHUN 205 tentang Pengupahan, itu kan dianggap kebahagiaan bagi pengusaha. Tapi  sejak itu, minimal dua kali setahun malah jadi langganan demonstrasi buruh.

Apakah dengan banyaknya demonstrasi buruh itu berarti kenikmatan dunia usaha? Saya kita enggak. Sekali demo berapa rugi? Sekali mogok berapa rugi, rugi pengusaha, rugi negara. Saya kita selama ini pemerintah salah menempatkan kebijakan yang lebih pro terhadap pengusaha yang cenderung memperkaya diri.

Salah perspesi jika memberi kesempatan seluas-luasnya bagi pengusaha untuk memperkaya diri, tapi dengan kebijakan itu membuat susah rakyak, yang pada akhirnya akan menimbulkan perlawanan.  

Kenapa buruh tidak mampu menjegal UU Cipta Kerja?
Karena serikat buruh lemah, tidak ada serikat buruh yang kuaT. Dan kita tidak bersatu.

Berbeda-beda ideologi, kepentingan, dan ambisi para pemimpinnya.

Harapan terakhir ada di Mahkamah Konstitusi (MK). Setelah itu, satu-satu pasal UU Cipta Kerja akan berlaku. Akan ada aksi-aksi sporadis di mana-mana.

Anda masih percaya dengan gerakan perlawanan rakyat berbasis buruh?
Dulu, kami berjuang sejak tahun 1992. Mencapai puncaknya, dan bisa dibilang kami menyerah, saat Soeharto terpilih lagi menjadi presiden RI.

Tapi Tuhan memberikan satu kejadian penebakan mahasiswa. Itu pemicu demonstrasi besar-besaran. Rakyat marah di mana-mana.

Yang jelas, keadaan sekarang tidak adil. Menyengsaraan rakyat lebih banyak. Mayoritas masyarakat akan sengsara dengan UU Cipta Kerja itu.

Apa yang bermasalah dengan sistem hukum dan politik kita saat ini?
Permasalahan sistem hukum kita, secara mendasar itu menjalankan pasal 1 ayat 3 UUD 1945, bahwa Indonesia adalah negara hukum. Di sektor penegakannya, berlaku bahwa pisau itu tumpul ke atas, tajam ke bawah.

Selama bertahun-tahun ada banyak pelanggaran dan tindak pidana di sektor perburuhan. Pasal 28 juncto Pasal 43 UU No. 21 tahun 2000 tentang Ketenagakerjaan, dilarang menghalang-halangi kegiatan berserikat dalam bentuk PHK pengurus serikat pekerja, intimidasi, mutasi, serta menurunkan upah dan pangkat.

Pelanggaran itu banyak sekali dilakukan oleh pengusaha kita. Tidak ada satupun yang dipidana.

Ada 200 lebih perusaah kami laporkan ke 18 Polda, enggak enggak ada satupu yang lanjut kasusnya. Pembuktiannya tidak sulit karena ada surat PHK pengurus yang tidak ada hubungannya dengan kesalahan kerja. Padahal buruh Cuma menuntut penyertaan BPJS, Pemberlakuan UMP, tapi mereka di PHK.

Penerapan hukum perburuhan kita itu bermasalah. Banyak perusahaan yang menahan upah tapi enggak juga ditindak.

Sementara sistem politik kita saat ini berlomba pragmatis dan berlomba mendekatkan diri pada pusat kekuasaan. Menunggu dengan harap-harap ditawarkan posisi strategis. Rata-rata begitu saat ini.

Tidak ada satupun parta politik kita yang punya cita-cita kemerndekaan dalam alinea ke-4 Pembukaan uud 1945 yaitu mewujudkan welfare state. Sistem politik kita itu terlalu membutuhkan banyak uang. Budaya politik yang buruk sudah dimulai sejak itu.

(Januardi Husin\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar