Geletar Sukma Sang Ibu Melawan HIV

Jum'at, 18/12/2020 10:36 WIB
Hages Budiman saat menjadi pembicara dalam sosialisasi HIV/AIDS. (Foto: Dok. Hages Budiman).

Hages Budiman saat menjadi pembicara dalam sosialisasi HIV/AIDS. (Foto: Dok. Hages Budiman).

law-justice.co - MENGENAKAN kemeja tunik hitam, Radiaz Hages Trianda tergopoh-gopoh dari balik pintu rumah menyambut kedatangan Law-justice pada Rabu 16 Desember 2020. Sore hari bakda Ashar, perempuan 38 tahun itu pulang kerja lebih cepat dari biasanya. Barisan papan plang bertuliskan "Kuldesak" tampak meriasi rumah berkelir putih yang terletak di pojok gang Bacang, di bilangan Pondok Cina, Depok, Jawa Barat.

Hages Budiman, sapaan akrabnya, memang sudah hampir satu dasawarsa mengelola lembaga swadaya masyarakat Kuldesak semenjak Human Imunodeficeiency Virus atau HIV bersarang dalam tubuhnya pada 2006 silam. Hages dinyatakan positif HIV dari almarhum suaminya yang kala itu baru diketahui positif terjangkit HIV setahun pasca pernikahan mereka. "40 hari setelah aku melahirkan itu, tiba-tiba dia nge-drop. Dalam waktu dua Minggu saja, dia mengalami perubahan fisik yang sangat signifikan," kata Hages menceritakan.

Satu per satu penyakit berdatangan sejak suaminya kehilangan 10 persen berat badan dari kondisi normalnya. Tak lama setelah itu, jamur di area kawah mulutnya menyusul datang menandai munculnya virus HIV dalam tubuhnya. Hages bercerita, separuh tubuh suaminya itu sempat terkulai sebelum akhirnya mereka memutuskan pergi ke dokter.

Namun, keheranan semakin menjadi-jadi sesaat setelah dilakukan pemeriksaan. Suami Hages terdeteksi positif mengalami komplikasi mulai dari demam berdarah, tifus, hingga hepatitis. "Saya agak sedikit bingung, ini tuh penyakit apa kok semuanya diborong," ujarnya.

Semua terjawab ketika dokter melakukan asesmen lebih dalam. Suami Hages yang beberapa tahun sebelum menikah itu diketahui pernah menggunakan napza suntik dan swinging tanpa mengenakan alat kontrasepsi, sehingga dokter pun mendiagnosis bahwa suami Hages mengidap HIV. "Dokter menyarankan dia untuk tes HIV, terus dengan pedenya dia bilang `yaudah cek aja`, ternyata pas begitu dicek hasilnya positif," kata Hages. Ketika itu juga, dokter menyarankan agar Hages melakukan tes serupa. "Terus begitu dicek, hasilnya saya positif dan anak saya negatif."

Peristiwa itu membuat Hages dan keluarganya terpukul. Belum lama menikah dan dikaruniai seorang anak, mereka harus menanggung beban penyakit yang di mata masyarakat masih sangat tabu. Belum lagi, mereka awam tentang penyakit HIV. Di tengah kesulitan suami yang menderita HIV, Hages bersama bayinya mulai merasakan titik terendah dalam hidup.

Asa dari Sang Anak

Hages berharap musibah yang menimpa keluarganya dapat menemukan angin segar saat ia menceritakan ihwal keadaan mereka kepada orang tuanya. Namun, gayung tak bersambut, keluarga Hages terkejut bukan kepalang menerima kabar dirinya terjangkit HIV. Musababnya tak jauh dari anggapan bagaimana orang awam mengenal penyakit ini.

Hages menuturkan, orang tuanya akhirnya memisahkan dia dari suaminya karena khawatir virus HIV akan berdampak lebih jauh. Bahkan, ayahnya sempat berprasangka bahwa putrinya sudah dibohongi. Menikah dengan Hages namun rupanya membawa penyakit yang akhirnya mengubah status dirinya hingga saat ini.

"Setelah dipisahkan, almarhum semakin stres dan depresi. Dia memutuskan untuk tidak minum ARV, sehingga lima bulan kemudian dia meninggal," ucap Hages.

Kehilangan seorang suami, menanggung beban sosial akibat terinfeksi HIV, hingga tanggung jawab menghidupi anak satu-satunya saat itu benar-benar membawa Hages dalam keterpurukan yang mendalam. Sejak dinyatakan positif pada 2006, Hages tak pernah mengonsumsi obat antiretroviral (ARV) sebagai perawatan infeksi virus dalam tubuhnya. Akibatnya pada 2010, kesehatan tubuhnya mulai menurun seiring dengan timbulnya diare akut. "Sehari itu bisa ke kamar mandi sampai 20 kali," katanya.

Februari 2010, Hages pun mulai rutin mengonsumsi ARV. Adapun obat dia bertahan hidup dari virus HIV selama ini adalah menjaga keseimbangan mental. Kekuatan itu ia dapat dari anak pertamanya yang kala itu sempat didiagnosis positif. Namun usai diperiksakan kembali pada usia 18 bulan, hasil tes HIV terhadap anaknya dinyatakan negatif. "Satu-satunya alasan saya mau bertahan hidup itu karena anak," kata Hages.

Hidup sebagai ibu sekaligus ayah, Hages merawat anaknya sendirian dan menjadi tulang punggung keluarga. Semangat hidupnya bangkit karena sang anak memberinya kekuatan untuk menempuh kehidupan lebih jauh ke depan. "Saya melihat anak saya, seperti merasakan apa yang saya rasakan. Dia menatap saya seperti dia masih membutuhkan saya."

Dalam kurun lima tahun terakhir, sorotan publik terhadap sosok wanita berdarah campuran Aceh-Jawa-Sunda ini terbilang sering. Hages bersama suaminya saat ini, Samsu Budiman, bahu-membahu memberikan pendampingan terhadap para penyintas HIV/AIDS atau biasa disebut Orang dengan HIV dan AIDS (ODHA). Hages menikah dengan Samsu Budiman lima tahun setelah suaminya yang pertama meninggal dunia.

Berstatus sama seperti Hages, Samsu juga seorang aktivis ODHA dalam beberapa komunitas, seperti: Persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI), Gaya Warna Lentera Indonesia (GWL-INA), Organisasi Perubahan Sosial Indonesia (OPSI), dan Indonesia Aids Coallition (IAC). Hages dan Budiman beberapa kali tampil di layar kaca mencoba menghapus stigma buruk soal mitos penyakit HIV dan AIDS.

Hages Budiman (kiri) dan suaminya Samsu Budiman (kanan) memberikan penjelasan tentang advokasi yang dilakukan Kuldesak untuk para ODHA. (Foto: Law-justice/Rio Alfin).

Mereka yang berstatus ODHA kerap mendapat diskriminasi dan stigma negatif karena dipandang berkepribadian buruk, meski anggapan ini tak sepenuhnya dapat dibenarkan. Hages menegaskan tidak semua orang berstatus ODHA adalah mereka yang memiliki pengalaman kelam. Seperti halnya dia yang selama ini justru berbanding terbalik dari anggapan umum. Hages adalah seorang wanita karir yang membantu menghidupi keluarganya sejak belia. Namun, meski tak memiliki catatan buruk semasa mudanya, statusnya sebagai ODHA masih lebih kuat membawa persepsi publik terhadap hal-hal yang beraroma negatif.

Sejak epidemi ini mencuat pertama kali di Indonesia pada 1987 dengan ditandainya kasus kematian seorang laki-laki gay asal Belanda di Bali ,informasi seputar HIV/AIDS seringkali simpang siur. Penetapan pemerintah yang memasukkan HIV/AIDS sebagai penyakit menular dalam Instruksi Menteri Kesehatan Nomor 72/Menkes/Inst/II tanggal 11 Februari 1988 itu dinilai bermuatan politis dan moralistis. Tak ayal, penyakit ini pun menjadi mitos di masyarakat karena beragam anggapan yang muncul ketika itu tak berpangku pada pernyataan yang akurat.

Publik bertopang tentang bahaya penyakit ini dengan mengaitkannya pada sisi norma dan agama. Buntutnya, pemahaman masyarakat tentang penularan virus HIV/AIDS tidak secara langsung bergantung pada kesimpulan medis. Mereka yang berstatus ODHA pun dianggap bisa menulari virusnya melalui sentuhan kulit, udara, maupun peralatan makan dan minum bekas yang digunakan ODHA.

Dari ODHA untuk ODHA

Hages dan Samsu, yang kini telah dikaruniai tiga orang anak, berupaya melawan arus persepsi yang kadung lama berkembang di masyarakat tersebut. Salah satu upaya itu mereka lakukan dengan mendirikan lembaga swadaya masyarakat (LSM) bernama Kumpulan dengan Aksi Segala Kemanusiaan (Kuldesak). Dengan dukungan sejumlah LSM Nasional, mereka aktif melakukan pendampingan dan kelompok belajar terhadap para penyandang ODHA di Depok. Aksi kemanusiaan dan diskusi publik juga rutin mereka selenggarakan.

Hal itu dilakukan karena masih banyak ODHA yang tidak memahami ihwal penyakit ini. Belum lagi stigma negatif di masyarakat pada gilirannya membuat mental mereka terpuruk. Samsu mengatakan, saat ini sudah lebih dari seribu ODHA yang mereka advokasi, salah satunya dengan memberi akses kemudahan berobat di rumah sakit. "Saat ada ODHA yang tidak diterima di rumah sakit, kami akan upayakan dia mendapat akses layanan, minimal harus di P3K-kan dulu sebelum dirujuk ke rumah sakit lain," tutur pria 43 tahun ini.

Foto-foto kegiatan Hages Budiman dalam beberapa acara sosialisasi HIV/AIDS (Foto: Dok. Hages Budiman).

Program sosialisasi dan kampanye AIDS sedunia adalah kegiatan rutin yang dilakukan Kuldesak setiap 1 Desember. Bersama para anggota komunitas populasi kunci, mereka menggalang dana untuk membantu pengobatan ODHA yang kurang mampu. Secara umum, advokasi yang diberikan Kuldesak ada dua macam, yakni litigasi dan non litigasi. Dari upaya non litigasi, pihaknya melakukan pendampingan bagi ODHA yang mengalami permalasahan akses pelayanan kesehatan serta memberikan edukasi terkait penyakit HIV/AIDS.

Sementara upaya litigasi, Samsu menuturkan hal ini dilakukan untuk ODHA yang membutuhkan bantuan penanganan hukum dan pelanggaran hak asasi manusia. Sering dicap sebagai pendosa biasanya membuat ODHA urung untuk meminta bantuan kepada pemerintah. Di sinilah peran Kuldesak membantu mereka. Namun untuk kasus hukum, Kuldesak biasanya akan berkolaborasi dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI) yang fokus pada isu HIV/AIDS. "Kita jadi terbantukan ketika ada kasus-kasus yang harus diadvokasi secara nasional," kata Samsu.

Hal yang perlu digaris bawahi mengenai ODHA adalah banyaknya penyintas HIV yang masih berada dalam usia muda. Berdasarkan data Sistem informasi HIV dan AIDS (SIHA) Kementerian Kesehatan, jumlah infeksi HIV tahun 2010 hingga 2019, dilaporkan kelompok usia terbanyak yang menderita HIV adalah mereka yang berusia 25-49 tahun. Data ini tentu mengkhawatirkan karena masyarakat Indonesia yang terkena penyakit tersebut adalah orang-orang yang berada dalam kelompok usia produktif. Data 2019, misalnya, persentase penderita HIV di usia tersebut mencapai 70,4 persen.

Hages menjelaskan ada tiga fase di mana orang yang berstatus ODHA harus mampu melawati masa-masanya dengan baik. Pertama adalah fase denial. Fase ini adalah saat ODHA tak kuasa menerima kenyataan yang harus dia alami. "Akhirnya mencuat anger atau kemarahan. Biasanya di sini banyak sekali yang merasakan depresi," kata Hages. Seturut dengan itu, dua stigma susulan akan muncul, yakni stigma eksternal dan internal. "Yang bahaya ini adalah self stigma (internal), kalau mereka sudah menstigma dirinya sendiri, dia akan merasa hidupnya useless (tak berguna)."

Fase kedua, menurut Hages, adalah mengedukasi diri dengan pengetahuan tentang HIV/AIDS. Terlebih kepada ODHA yang rentan mengalami stigma ganda –yakni orang-orang dalam populasi kunci: LGBT dan pengguna napza– semestinya tak mengabaikan pemahaman mengenai cara terjadinya penularan virus dan bagaimana melakukan penanggulangan HIV/AIDS.

"Kalau sudah mantap ilmunya, maka mereka akan masuk pada fase ketiga, yaitu berdamai dengan dirinya sendiri dan akhirnya move on. Kuncinya kita hidup dengan HIV itu ada dua: minum obat ARV dan semangat hidup."

(Muhammad Rio Alfin\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar