Desmon J Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Wafatnya 6 Laskar FPI, Permainan Siapa Ini?

Senin, 14/12/2020 06:52 WIB
Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Desmond J Mahesa (Ist)

Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Desmond J Mahesa (Ist)

Jakarta, law-justice.co - Hingga saat ini pemberitaan soal tewasnya 6 orang laskar FPI pengawal Habib Riziek Shihab (HRS) masih menghiasi pemberitaan media meskipun mulai tergeser oleh pemberitaan soal HRS yang  ditahan di Polda DKI Jakarta.

Kasus ini bukan hanya ramai diberitakan oleh media lokal saja tapi juga media media dari mancanegara. Beberapa media Internasional diantaranya seperti Al Jazeera, The New York Times, Voice of America (VOA) dan juga  Channel News Asia Media yang berbasis di Singapura.

Dengan diberitakannya kasus ini di media Internasional, maka kasus terbunuhnya 6 laskar FPI itu sudah menjadi perhatian dunia menyangkut pelaksanaan HAM (Hak Azasi Manusia) di Indonesia dibawah pemerintahan yang sekarang berkuasa. Jatuhnya korban jiwa itu menambah deretan panjang warga negara Indonesia yang meninggal akibat kekerasan oleh aparat negaranya.

Kasus terbunuhnya 6 orang laskar FPI itu bermula ketika  HRS bersama keluarga (anak dan cucu-cucu)nya ingin melaksanakan agenda keluarga. Mereka ingin melaksanakan  ritual shalat Subuh berjamaah dan pengajian di sekitar Karawang, sekitar 73 km dari Jakarta. Perjalanan keluarga inti HRS ini dikawal oleh anggota laskar FPI sekitar 10 orang jumlahnya.

Rombongan tersebut rupanya dikuntit oleh aparat kepolisian yang berpakaian sipil yang tidak diketahui berapa jumlahnya . Mereka  terlibat keributan di Jalan Tol Cikampek, Km. 50 sampai kemudian terjadi penembakan yang menewaskan 6 orang anak bangsa. Kabarnya yang empat orang FPI berhasil meloloskan diri hingga selamat nyawanya.

Menurut versi kepolisian, sebagaimana disampaikan Kapolda Metro Jaya, anggota Laskar FPI melakukan perlawanan dengan senjata tajam dan dua pucuk pistol sehingga mengancam petugas yang sedang menjalankan kewajibannya. Karena  serangan itu, petugas kepolisian kemudian  mengambil tindakan tegas dan terukur  dengan menembaknya hingga 6 orang meninggal dunia. 

Jatuhnya kembali korban jiwa ini telah membuat kita semua berduka karena untuk yang kesekian kalinya harus jatuh jorban jiwa anak anak bangsa.Pada hal tujuan didirikannya negara ini salah satunya adalah untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.

Dalam berbagai kesempatan Kapolri juga sering menyatakan bahwa keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi yang harus dijadikan sebagai pedoman dalam penegakan hukum di Indonesia.Oleh karena itu jatuhnya korban jiwa anak anak bangsa patut disesalkan ditengah kondisi peringatan hari Hak Azasi Manusia. 

Pada sisi lain banyak juga yang menyesalkan bahwa peristiwa ini tidak akan terjadi sekiranya HRS kooperatif memenuhi panggilan Polda Metro Jaya sehingga polisi tidak harus membuntuti kepergiannya karena adanya rasa curiga HRS mau mengerahkan massanya.

Seiring perjalanan waktu, Kabareskrim Polri Komjen Polisi Listyo Sigit Prabowo membeberkan hasil penyelidikan sementara yang dilakukan tim penyidik Bareskrim Polri terkait kasus penembakan di ruas Jalan Tol Jakarta-Cikampek KM 50 yang menyebabkan 6 orang meninggal dunia.Listyo mengatakan berdasarkan hasil penyelidikan sementara yang dilakukan tim penyidik, ditemukan fakta penggunaan senjata tajam dan senjata api oleh keenam Laskar FPI di tempat kejadian perkara.

Selain itu, kata Listyo seperti dikutip media,  tim penyidik juga menemukan adanya sejumlah lubang peluru di mobil yang dipakai oleh anggota Intel Polda Metro Jaya."Iya, telah ditemukan penggunaan senjata api dan senjata tajam dengan didapatnya di tangan pelaku. Ada juga kerusakan mobil petugas," tutur Listyo, Kamis (10/12/2020).

Listyo memastikan bahwa tim penyidik Bareskrim Polri akan menangani perkara penembakan itu secara profesional dan transparan dengan cara melibatkan Divisi Profesi dan Pengamanan Kepolisian Republik Indonesia. "Penyidikan akan dilakukan secara scientific crime investigation dengan cara melibatkan pengawas internal dari Propam Mabes Polri," begitu katanya.

Sementara pihak FPI membantah keterangan tersebut dan menyatakan bahwa laskar FPI sedang tidak bersenjata waktu terjadinya peristiwa. Juga tidak mengakui adanya peristiwa tembak menembak disana karena diduga mobil salah satu pengawal FPI di giring kesuatu tempat dimana kemudian 6 orang FPI itu dihabisi nyawanya. Begitulah keterangan Munarman juru bicara FPI dalam pernyataan persnya.

Sampai sekarang dua versi penembakan atau tembak menemak itu masih berkembang dimasyarakat dan belum ada kepastian  versi siapa yang harus dipercaya kebenarannya. Seiring dengan itu muncul penilaian publik terkait adanya kejanggalan kejangggalan yang mengiringi terjadinya peristiwa. Pertanyaan yang muncul diantaranya mengapa polisi membuntuti iring-iringan FPI hanya karena mendengar kabar akan ada pengerahan massa untuk unjuk rasa ?.

Mengapa alasan penembakan terbilang umum, karena ada penyerangan dari anggota FPI, tidak adakah alasan yang lebih spesifik untuk menjelaskan detail peritiwanya ?. Jika memang ada senjata api dari pihak FPI, mengapa polisi tidak melumpuhkannya saja ? . Jika memang betul pihak FPI memiliki senjata api tidak berizin tentunya perlu diusut pula kepemilikannya, apakah ini sudah dilakukan pengusutannya ?

Anehnya ketika terjadi peristiwa tembak menembak itu,  CCTV di lokasi kejadian dikabarkan sedang mati alias tidak berfungsi sebagaimana mestinya, apakah ini suatu kebetulan belaka ?.  Mengapa tidak ada olah TKP atau tanda police line disana sebagaimana layaknya pengamanan tempat kejadian perkara?. 

Mengapa polisi begitu agresif dan sigap membuntuti setiap aktivitas HRS beserta keluarganya? Apakah agresifitas polisi ini inisiatif dari perintah pemimpin kepolisian di tingkat daerah ataupun pusat, yang ingin menunjukkan keberanian dalam bertindak, sebagaimana isyarat dari kriteria pemimpin Polri yang dikehendaki presiden, yaitu berani, tegas dan tidak takut kehilangan jabatannya?. Sikap aparat keamanan yang begitu  agresif seperti ini sebenarnya untuk kepentingan siapa ?

Pertanyaan pertanyaan tersebut  sebenarnya tidak cuma berhenti sampai disitu saja. Ada pertanyaan lain yang sifatnya lebih mendasar dari sekadar persoalan teknis di seputar peristiwa yang mengiringinya. Bahwa dari semua fenomena tersebut pada akhirnya akan bermuara pada pertanyaan mendasar yaitu : kejadian meninggalnya 6 orang FPI itu sebenarnya menjadi permainan siapa ?.

Karena secara logika HRS itu bukan competitor Jokowi di 2024 sebab Jokowi sudah tidak bisa nyalon lagi untuk periode berikutnya. Lagi pula HRS itu bukan pelaku pelanggar hukum berat seperti koruptor, gembong narkoba atau yang lainnya sehingga layak di uber uber keberadaannya. Tetapi mengapa perhatian terhadap HRS begitu istimewa sampai sampai segenap sumberdaya yang dimiliki dikerahkan untuk memonitor sepak terjangnya, kira kira ini pesanan / kepentingann siapa ?.

Jangan jangan peristiwa seperti ini sengaja didesain alias dimainkan oleh orang disekitar istana (bisa pemodal atau politisi)  yang bertujuan untuk melakukan pembusukan dari dalam terhadap presiden Indonesia. Sebab pada kenyataannya peristiwa ini telah mencoreng nama Indonesia bukan hanya dalam negeri tetapi juga mancanegara. Negara lain menjadi tidak percaya lagi atas komitmen pemerintah Indonesia dalam menegakkan hukum terkait dengan pelaksanaan hak azasi manusia. Selain itu kepercayaan sebagian rakyat kepada aparat juga hancur karena aparat negara dinilai tidak lagi bisa dipercaya dalam menjalankan tugasnya.

Ada dugaan bahwa peristiwa penembakan terhadap 6 orang FPI itu diluar kontrol presiden yang sekarang berkuasa. Terbukti sampai sekarang presiden belum mengeluarkan suaranya termasuk mengucapkan bela sungkawa atas jatuhnya korban jiwa anak anak bangsa.  Dalam hal ini negara / pemerintah seperti absen tidak mau tau atas rangkaian peristiwa kekerasan yang sebenarnya sangat berkaitan dengan fungsi daripada keberadaan sebuah negara.  Pada hal bukankah salah satu tujuan kita berbangsa dan  bernegara selain mensejahterakan rakyatnya adalah untuk  melindungi kehidupan rakyatnya ?.

Yang jelas hal  terpenting yang harus diungkap adalah siapa yang perlu dinyatakan bersalah, sesuai kebenaran fakta peristiwa yang ada. Jika tidak diungkap kebenarannya, maka peristiwa seperti ini akan menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di negeri kita dimana nyawa manusia begitu murah harganya. 

Tanpa adanya upaya penyelesaian secara transparan dan adil atas terjadinya kasus  ini dikhawatirkan peristiwa serupa akan terulang lagi untuk yang kesekian kalinya. Dimana ada anak anak bangsa yang meninggal dunia tanpa kejelasan siapa yang harus mempertanggungjawabkannya. Dengan alasan inikah kiranya sehingga diperlukan adanya Tim Penyelidik Independent untuk membuat terang kasusnya ?. 

Atau inikah alasan untuk pentingnya kasus ini dibawa ke pengadilan HAM agar bisa diadili secara adil dan terbuka ?. Atau kasus ini dibiarkan berlalu begitu saja seiring dengan berjalannya waktu sambil menunggu masyarakat melupakannya ? Jika saat ini HRS ditahan karena peristiwa kerumunan bagaimana dengan kasus Ustad Uci di Tengerang, Habib Luthfi di Pekalongan, Gibran Rakabuming di Solo dan tempat tempat lainnya yang mengumpulkan massa ditengah pandemi virus corona ?

Menyikapi peristiwa seperti ini kiranya para pemimpin bangsa perlu belajar sejarah  para pendahulunya. Dimana negara bisa bubar atau kekuasaan suatu pemerintah menjadi jatuh karena kehilangan kepercayaan dari masyarakat yang dipimpinnya.

Menutup tulisan singkat kali ini kiranya menarik untuk mengutip cuitan dari Menko Polhukam Mahfud MD pada minggu, 1 November 2020 yang lalu sebagaimana banyak dikutip oleh media. Menko Polhukam Mahfud MD membuat cuitan tentang ketidakadilan yang bisa menjadi penyebab hancurnya suatu negara.

"Ketika diminta tidak menghukum orang yang bersalah, Nabi Muhammad SAW mengatakan kepada keluarga Bani Mahzum, `Ketahuilah, hancurnya bangsa dan negara terdahulu disebabkan `jika ada orang besar bersalah dibiarkan tapi kalau ada orang kecil bersalah langsung dihukumkan hadd` kepadanya`," cuit Mahfud MD (@mohmahfudmd). Apakah ketidakadilan di Indonesia saat ini memang sudah begitu merajalela sehingga mengancam eksistensi bangsa Indonesia ?

 

(Editor\Warta Wartawati)

Share:




Berita Terkait

Komentar