Saat Nyawa Manusia Di Indonesia Tak Berharga?

Rabu, 09/12/2020 11:42 WIB
Analis Sosial Politik UNJ, Ubedilah Badrun (HarianAceh)

Analis Sosial Politik UNJ, Ubedilah Badrun (HarianAceh)

Jakarta, law-justice.co - Perspektif Sosiologi Kewarganegaraan mencermati kematian enam anggota Laskar FPI


Saya cukup lama merenung atas peristiwa yang menimpa enam anggota Laskar Front Pembela Islam(FPI) yang sedang mengawal Habieb Riziq Shihab (HRS) menuju pengajian subuh keluarga inti. Mereka para korban enam orang itu relatif masih muda. Yang pasti mereka adalah warga negara Indonesia.

Perenungan itu dimulai dengan pertanyaan mengapa itu terjadi? Bagaimana peristiwanya? Dapatkah peristiwa itu dibenarkan atau disalahkan secara hukum? Apa argumenya? Apa buktinya? Jika itu tugas pengintaian polisi apakah ada bukti rekaman videonya?

Sebagai akademisi sosiologi politik, saya mesti hati-hati menganalisis dan mengomentari peristiwa ini. Sebab ini soal nyawa manusia. Apalagi peristiwa yang kematianya melalui peristiwa penembakan. Bukan kematian yang biasa-biasa saja.

Beberapa peristiwa kematian warga negara di republik ini dalam beberapa tahun terakhir sering terjadi. Sebut saja misalnya kematian Patmi petani Kendeng yang protesnya tidak didengar pemerintah. Patmi protes terhadap pembangunan pabrik Semen di pegunungan Kendeng pada tahun 2017. Patmi protes di depan Istana dengan menyemen kakinya.

Kematian warga yang ditembak saat menolak pengukuran tanah di pesisir Pantai Marosi, Desa Patijala Bawa, Kecamatan Lamboya, Kabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur. Seorang warga negara yang tertembak di bagian dada. Ini peristiwa terjadi pada April 2018.

Kemudian kematian hampir 989 petugas KPPS pada pemilu 2019 lalu. Kematian sejumlah warga pada peristiwa demontrasi di depan kantor Bawaslu RI Mei 2019. Begitu juga dengan kematian dua mahasiswa di Kendari saat demonstrasi #reformasidikorupsi# menolak pelemahan KPK pada September 2019. Adalah sederet kematian yang masih misteri sampai saat ini.

Sejumlah aktivis Hak Azasi Manusia (HAM) menyebut itu pelanggaran HAM baru. Pelanggaran HAM yang lama saja belum ada yang dituntaskan, kini sudah ada pelanggaran HAM baru. Kasus-kasus lama pelanggaran HAM dari tahun 1960-an, 1970-an, 1980-an, 1990-an, hingga 2000-an seperti kasus Munir sampai saat ini belum terungkap. Kini sudah ada pelanggaran-pelanggaran HAM baru lagi.

Sejauh ini sejumlah kematian warga negara episode pemerintahan Jokowi itu tak terungkap. Bahkan publik sampai saat ini masih bertanya-tanya tentang itu semua. Kini publik kembali dipertontonkan dengan kematian akibat penembakan terhadap enam anggota Laskar FPI.

Menggunakan perspektif sosiologi politik kewarganegaraan (sosiologi kewargnegaraan), akan membuka mata hati kita untuk menempatkan manusia sebagai subyek. Siapapun dia, dan dengan latar belakang apapun dia, bukan untuk ditempatkan semata sebagai obyek. Warga negara adalah subyek yang terpenting dari yang penting-penting dalam entitas negara.

Dalam terminologi sosiologi kewarganegaraan, manusia memiliki dua hak azasi, yaitu hak pasif dan hak aktif. Hak pasif merupakan hak yang diperoleh karena ia adalah manusia. Artinya semua manusia memiliki hak pasif tersebut, diantaranya hak untuk hidup.

Sementara hak aktif adalah hak-hak seseorang yang merupakan anggota dari kelompok dalam entitas negara. Tidak semua orang mampu untuk mengekspresikan hak ini. Misalnya, hak untuk berpendapat dan hak berserikat. Juga hak untuk berorganisaai.

Dengan demikian, setiap manusia sesungguhnya memiliki jaminan atas semua hak itu sebagai hak asasi warga negara. Tentu itu berlaku untuk siapapun, termasuk didalamnya adalah anggota dan Lakasr FPI. Mereka memiliki hak hidup sekaligus hak berserikat berorganisasi.

Saya khawatir penembakan terhadap enam anggota Laskar FPI itu tidak menempatkan mereka sebagai subyek warga negara. Tetapi menempatkan mereka sebagai obyek konflik politik yang menyusup dalam cara berfikir operasi pengintaian yang dilakukan oleh negara.

Giorgio Agamben dalam bukunya “Homo Sacer Sovereign Power and Bare Life” (Stanford University Press,1998) mengingatkan betapa pentingnya negara menempatkan warga negara sebagai subyek dengan seluruh hak azasinya. Bukan sekedar obyek administrasi, dimana negara boleh melakukan apapun terhadap warga negara.

Ketika negara menempatkan warga negara semata-mata sebagai obyek, maka apa yang disebut Giorgio Agamben (1998) sebagai proses homo sacer bisa terjadi. Merasa menjadi manusia asing di negerinya sendiri bisa terjadi pada setiap warga negara. Saya mencermati, jika ini semua terjadi pada banyak kasus maka pelan tapi pasti ke-Indonesiaan kita terancam bubar.

Cara kekuasaan negara merespon kritik, merespon oposisi dan menata keragaman dari masyarakat sipil (civil society) menjadi sangat menentukan keberadaan negara dimasa depan. Cara-cara yang represif dalam menempatkan warga negara sebagai obyek, harus segera diakhiri.

Pertanyaannya, mengapa itu semua terjadi? Bisa saja dimungkinkan karena cara berfikir rezim dalam melihat warga negara hanya sebagai obyek bukan sebagai subyek. Secara sosiologi kewarganegaraan, posisi warga negara itu mestinya tidak hanya ditempatkan dalam ranah kewarganegaraan politik. Tetapi juga dalam ranah kewarganegaraan sosial dan kewarganegaraan sipil.

Soal bagaimana peristiwa itu terjadi? Ada dua versi. Menurut versi Polda Metro Jaya penembakan itu dilakukan dalam situasi baku tembak sebagai bentuk perlindungan karena aparat terancam. Sementara menurut versi FPI itu dilakukan oleh aparat secara sepihak. Tanpa da baku tembak, karena anggota Laskar FPI tidak memiliki senjata api maupun senjata tajam lainnya.

Penjelasan dari dua pihak yang berbeda memungkinkan adanya celah yang keliru. Pembentukan Tim Pencari Fakta Independen (TPFI) adalah solusi terbaik. Inisiator dan motor utama TPFI mesti dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) sebagai institusi independen. TPFI biasanya akan mampu mengungkap secara detail kronologisnya. Besa kemungkinan akan ditemukan celah pelanggaranya dari sisi hukum dan hak azasi manusia.

Pada titik ini kita semua berharap agar peristiwa tersebut terungkap secara terang benderang. Supaya kita semua tau bagaimana aparat penegak hukum polisi, Komnas HAM, Pengadilan HAM dan rezim pemerintah menempatkan hak azasi warga negara. Apakah menempatkan warga negara sebagai obyek kekuasaan semata, atau menempatkan warga negara sebagai subyek?

Jika kasus ini tak terungkap sebagaimana kasus-kasus hak azasi manusia sebelumnya, maka kesimpulan bahwa nyawa manusia di Indonesia tidak berharga itu ada benarnya. Jika ini yang terjadi, ini adalah episode biadab hak azasi manusia di Indonesia. Episode gelap kemanusiaan negara republik.

 

by. Ubedilah Badrun


Penulis adalah Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ).

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar