AIS Kominfo Batasi Kebebasan Bersuara, Akademisi: Jangan Over Acting!

Jum'at, 04/12/2020 17:04 WIB
Akademisi Fakultas Hukum Universitas Nasional Adi Purnomo Santoso (Istimewa)

Akademisi Fakultas Hukum Universitas Nasional Adi Purnomo Santoso (Istimewa)

Jakarta, law-justice.co - AIS atau mesin crawling, pengais, untuk mencari konten-konten negatif belakangan ditengarai sebagai penyebab redamnya kebebasan bersuara dari kalangan masyarakat yang kritis terhadap pemerintah Joko Widodo, alih-alih memblokir situs Judi dan Pornografi.

Akademisi Fakultas Hukum Universitas Nasional Adi Purnomo Santoso menuturkan langkah pemerintah memang konstitusional. "Upaya Kominfo melakukan pemblokiran situs porno, judi dan radikalisme patut diacungi jempol, hal tersebut adalah upaya nyata pemerintah sesuai dengan amanat Undang-undang No. 11 Tahun 2008 Tentang ITE dan Peraturan Menteri No. 19 Tahun 2014 Tentang Penanganan Situs Bermuatan Negatif, tentunya dalam rangka menangkal informasi negatif yg merusak moral dan etika masyarakat Indonesia terutama generasi muda," Jelasnya Jumat (4/12/2020)

Akan tetapi, pemerintah dinilai berlebihan jika AIS Kominfo digunanakan untuk membatasi kebabasan berbicara. "Menjadi sangat berlebihan jika sebuah kebijakan yang kontitusional di selipi upaya tersirat untuk membatasi kebebasan berpendapat atau bersuara," sambung Dosen Hukum Pidana ini.

Terkait pemblokiran konten Rizieq Syihab saat di Mekah, Adi melihat pemerintah terkesan over acting." Terkait pemblokiran konten Habib Rizieq Shihab di Makah, tindakan Kominfo terlalu berlebihan dan over acting, sehingga terkesan Pemerintah anti kritik, padahal kritik sangat lumrah dalam negara Demokrasi," katanya.

Kebebasan berpendapat dilindungi oleh kontitusi nasional. "Konstitusi kita menjamin kebebasan berpendapat, pemerintah seharus cukup mengimbangi dengan informasi yang positif dengan kerja nyata, biarkan informasi berimbang, tentunya masyarakat Indonesia sudah cerdas untuk menilai." tukas Adi

Adi yakin, Pemerintahan Joko Widodo tak sama dengan era Soeharto dimana kebebasan berbicara menjadi hal yang terlarang." Jaman Orde Baru, Pemerintah hanya menerima pendapat-pendapat yang mendukung pemerintahan dan pemerintah tidak segan untuk menempatkan ke penjara jika ada seseorang berpendapat yang bertolak belakang maupun mengancam pemerintahan, jika Era ini tak sama dengan orde baru maka, pemerintah harus menyediakan ruang kebebasan berpendapat, dengan menyiapkan komunikasi politik yang efektif," usulnya.

 

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar