PBB Desak Indonesia Tegakkan HAM di Tanah Papua

Selasa, 01/12/2020 17:28 WIB
Juru bicara Kantor Dewan HAM PBB Ravina Shamdasani (UN News)

Juru bicara Kantor Dewan HAM PBB Ravina Shamdasani (UN News)

Papua , law-justice.co - Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia (OHCRH) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan terganggu dengan meningkatnya kekerasan beberapa minggu belakangan ini di Papua dan Papua Barat.

“Kami terganggu dengan meningkatnya kekerasan selama beberapa minggu dan bulan terakhir ini di provinsi Papua dan Papua Barat, serta meningkatnya risiko ketegangan dan kekerasan baru,” kata Ravina Shamdasani, juru bicara Kantor Dewan HAM PBB dalam pernyataannya yang disampaikan Senin (30/11/2020)

Dalam satu insiden pada 22 November, katanya, seorang remaja berusia 17 tahun ditembak mati dan seorang remaja berusia 17 tahun lainnya terluka dalam baku tembak oleh polisi. Mayat ditemukan di gunung Limbaga, distrik Gome di Papua Barat.

Sebelumnya, pada September dan Oktober 2020, ada rangkaian pembunuhan yang meresahkan setidaknya 6 individu, termasuk aktivis dan pekerja gereja, serta warga non-pribumi. Sedikitnya dua anggota pasukan keamanan juga tewas dalam bentrokan itu.

Menurut Ravina, investigasi yang dilakukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menemukan seorang pekerja gereja atas nama pendeta Yerimia Zanambani, dari Gereja Injili Protestan. Mungkin telah dibunuh oleh anggota pasukan keamanan, dan bahwa pembunuhannya hanyalah salah satu “dari serangkaian kekerasan yang terjadi di seluruh daerah itu sepanjang tahun ini,” jelasnya.

“Kami juga telah menerima banyak laporan tentang penangkapan. Setidaknya 84 orang, termasuk Wensislaus Fatuban, seorang pembela hak asasi manusia terkenal dan penasihat hak asasi manusia untuk Majelis Rakyat Papua (MRP) dan tujuh anggota staf MRP ditangkap dan ditahan pada 17 November pihak keamanan di Kabupaten Merauke, Papua.”

Penangkapan mereka terjadi menjelang konsultasi publik yang diselenggarakan MRP tentang implementasi Undang-Undang Otonomi Khusus di provinsi Papua dan Papua Barat. Fatuban dan yang lainnya dibebaskan pada tanggal 18 November.

Pakar hak asasi manusia PBB juga telah berulang kali menyatakan keprihatinan yang serius mengenai intimidasi, pelecehan, pengawasan dan kriminalisasi terhadap pembela hak asasi manusia untuk menjalankan kebebasan fundamental mereka.

“Kekerasan dan penangkapan baru-baru ini adalah bagian dari tren yang kami amati sejak Desember 2018, menyusul terbunuhnya 19 orang yang bekerja di jalan Trans-Papua di Kabupaten Nduga oleh oknum bersenjata Papua.”

Ada peningkatan lebih lanjut pada Agustus 2019, ketika protes anti-rasisme dan kekerasan yang meluas meletus di Papua dan di tempat lain setelah penahanan dan perlakuan diskriminatif terhadap mahasiswa Papua di Jawa.

Pasukan militer dan keamanan telah diperkuat di wilayah tersebut dan telah ada laporan berulang tentang pembunuhan di luar hukum, penggunaan kekuatan yang berlebihan, penangkapan, dan pelecehan dan intimidasi terus menerus terhadap pengunjuk rasa dan pembela hak asasi manusia.

“Kami prihatin dengan laporan bahwa aparat bersenjata dan milisi nasionalis terlibat aktif dalam kekerasan.”

“Kami mendesak Pemerintah Indonesia untuk menegakkan hak masyarakat atas kebebasan berekspresi, berkumpul secara damai, dan berserikat sejalan dengan kewajiban internasionalnya, terutama menjelang 1 Desember, ketika sering terjadi protes, ketegangan, dan penangkapan.”

“Kami juga meminta pihak berwenang untuk melakukan penyelidikan menyeluruh, independen, dan tidak memihak atas semua tindakan kekerasan, khususnya pembunuhan, dan untuk semua pelaku – terlepas dari afiliasi mereka – untuk dimintai pertanggungjawaban.”

Pada saat pembahasan yang sedang berlangsung terkait UU Otsus, “kami mendesak semua pihak untuk bekerja sama mencegah kekerasan lebih lanjut. Ada kebutuhan mendesak akan sebuah platform untuk dialog yang bermakna dan inklusif dengan masyarakat Papua dan Papua Barat, untuk menangani keluhan ekonomi, sosial dan politik yang berkepanjangan.”

“Ada juga kebutuhan yang jelas untuk memastikan akuntabilitas atas pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu dan yang terbaru ini.”

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar