Prof. dr. R.M Padmosantjojo dan Masa Depan Kedokteran di Indonesia

Sabtu, 28/11/2020 08:54 WIB
Salah satu koleksi lukisan dr. Padmo saat menerima ijazah dokter dari Dekan FKUI, Prof Margono Soekarjo pada 14 September 1963.

Salah satu koleksi lukisan dr. Padmo saat menerima ijazah dokter dari Dekan FKUI, Prof Margono Soekarjo pada 14 September 1963.

Jakarta , law-justice.co - “Tokoh apa, aku ini bukan tokoh. Uang gak dapet, mobil enggak dapet. Kalau tokoh kan hidupku enak. Lha Ini, terima uang pensiunan kurang dari empat juta, mau bikin apa? Barangkali cocok tokoh hidup orang melarat.” Meski getir, kalimat ini ditutup tawa renyah dari pemilik suara yang sukses dihantarkan Base Transceiver Station menjadi gelombang suara di handphone milikku.

Obrolan selanjutnya mengalir begitu adanya. Kadang di tengah perbincangan, sepersekian detik, terdengar dia menghela napas, mengingat perjalanan hidup dari satu meja operasi ke meja meja operasi lain. Entah berapa banyak nyawa yang telah diselamatkan usai menamatkan pendidikan Keahlian Bedah Saraf di Universitas Groningen, Belanda, 1969 silam.

Namanya Prof. dr. R.M Padmosantjojo. Memasuki usianya yang ke-84 pada Februari 2021 mendatang, Padmo pun masih mengikuti beberapa berita yang menyita perhatian di tanah air. Baik wabah Covid-19 hingga dugaan korupsi yang menjerat Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP), Edhy Prabowo, beberapa waktu lalu.

“(Korupsi)Malu-maluin,” singkat Padmo kepada Lawjustice. Ahli saraf ‘nyentrik’ yang pernah menjabat sebagai dokter kepresidenan sejak masa Presiden Soeharto (Almarhum) hingga Susilo Bambang Yudhoyono ini lahir di Kediri pada 26 Februari 1938. Pada 1963, dia menamatkan sekolah di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, sampai akhirnya lanjut di sekolah Kedokteran di Belanda.

Puncak karirnya di dunia kedokteran terjadi saat berhasil melakukan operasi pemisahan bayi kembar siam dempet kepala vertikal (Kraniopagus), Pristian Yuliana-Pristian Yuliani pada 21 Oktober 1987 silam.

Bersama puluhan kolega dokter, pisau bedah Padmo menyayat dengan teliti kulit kepala, memisahkan tulang tengkorak hingga selaput otak (duramater) dan membelah pembuluh darah vena (sinus sagitalis) di otak menjadi dua. Satu untuk Ana dan satu untuk Ani.

Batas tipis hidup dan mati di ruang bedah Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, 33 tahun silam itu ‘dibayar tuntas’ dengan gairah kehidupan dari kedua bayi ini. Ana sukses menjadi doktor ilmu nutrisi dan teknologi di Institut Pertanian Bogor (IPB) sedangkan Ani adalah dokter jebolan Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat.

Kehidupan sebagai dokter ahli bedah saraf diakui sulit oleh Padmo. Selain jumlahnya  yang masih minim, keadaan ekonomi Indonesia saat itu memprihatinkan. Bayangkan saja, jumlah dokter sejak kepulangannya dari negeri Belanda akhir tahun 1969 hanya tiga orang yakni Profesor S.K Handoyo, Profesor Soewadji dan Profesor Basoeki. Dua nama pertama adalah guru Padmo yang kala itu mendesaknya segera pulang karena pensiun.

Praktis, jumlah dokter ahli bedah saraf hanya berjumlah dua orang yakni Profesor Basoeki dan Padmo sendiri. Lingkup kerjanya pun lebih luas dari cakupan jaringan telephone, karena harus berpindah-pidah dari satu wilayah ke wilayah lain. Saat itu Padmo harus berjibaku menyehatkan para prajurit TNI di tiga matra; darat, laut, udara hingga sipil.

“Sudah gitu mana pernah di rumah. Sehingga anakku tidak mau menjadi ahli bedah saraf karena tiga hari lebih tidak lihat bapaknya. Hayo, itu hidup apa? Waduh, dulu itu setengah mati. Kadang saya harus operasi di Padang, habis operasi di Makassar, di Manado, ke mana-mana,” ujar Padmo.

Latar belakang ini pula yang menjadikan spesialis bedah saraf miskin peminat mahasiswa kedokteran. Belum lagi peralatan untuk membedah pasien yang masih terbatas. Awal mendaftar, untuk mengambil jurusan bedah saja, diakui Padmo, ditentang oleh dua seniornya. 

“Kalau kamu adalah pilar keluarga lebih baik tidak boleh masuk, belajar bedah saraf karena tidak punya uang. Jadi dokter umum saja, ngapain jadi dokter bedah saraf,” kenang Padmo saat dinasehati kedua seniornya di FKUI.

Ditentang sana sani sebagai ahli saraf hingga resiko ‘miskin,’ tidak membuat Padmo mundur dari pilihannya. Sumpah pada profesi menjadi landasan kesetiannya dalam menolong pasien, tanpa mengenal waktu, tanpa mengenal keadaan. Turun di lokasi konflik juga pernah dilalui Padmo saat Timor Leste menuntut referendum dari Indonesia pada 1999 silam.

“Sumpahnya itu adalah untuk menolong orang sakit mengutamakan kepentingan orang sakit dari semua kepentingan, golongan, suku, bangsa maupun agama. Sumpahku itu aku harus pergi. Jadi, tidak ada tulisan disitu (Sumpah) dokter harus mencari materi, enggak ada! Yang adalah menolong,”

“Honor saya juga cuma 2M. Kayak enggak itu? Kalau sekarang itu pasti kaya. Tapi saya cuma, matur suwun mas,” seloroh Padmo.

Peran Negara Jamin Kesejahteraan Dokter

Zaman tentu berubah, begitu juga jumlah dokter spesialis bedah saraf di Indonesia. Per Februari 2018 saja, jumlahnya menjadi kurang lebih 2.000 orang. Secara keseluruhan,  berdasarkan data Ikatan Dokter Indonesia (IDI), jumlah dokter mencapai 160.000 per akhir tahun 2019. Bertambahnya jumlah dokter ahli atau dokter umum, diikuti pula dengan kondisi perbaikan ekonomi masyarakat hingga jaminan kesehatan yang memadahi. 

Sayangnya, penambahan kuantitas dokter ini tidak merata dan belum dinikmati sepenuhnya oleh masyarakat di wilayah terpencil. Untuk dokter ahli bedah saraf saja, lebih berpusat di Jakarta dan Surabaya.

Belum lagi soal gaji. Survei yang dikeluarkan Junior Doctor Network (JDN) Indonesia pada 2018 lalu menyebutkan, 83,85% dokter mendapat gaji tidak sesuai dengan rekomendasi IDI sebesar Rp12,5 juta (2018). Nah, 22,34% dokter mendapat gaji di bawah Rp4,5 juta per bulan, sedangkan  24,78% mendapat gaji di atas Rp10,5 juta.

Standarisasi gaji untuk dokter juga belum ada kecuali dokter Pegawai Negeri Sipil (PNS). Di puncak masa kerja dokter pertama (32 tahun) dengan golongan III/c adalah Rp4,6 juta lebih, berbeda sejuta dengan golongan III/d sebesar Rp4,7 juta. Sedangkan untuk masa kerja 0-1 tahun  dikisaran Rp2,8 juta.

Sedangkan untuk jenjang paling tinggi (Dokter utama) untuk masa kerja 32 tahun dengan golongan IV/d adalah Rp5,6 juta. Sedangkan golongan IV/e,  Rp5,9 juta lebih. Dengan kondisi ini, stigma tentang dokter yang mencari ‘gawean’ lewat praktik sebanyak-banyaknya atau lebih memilih daerah dengan tingkat pendapatan masyarakat lebih tinggi pun bermunculan.

Menurut Padmo, hal ini tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Meskipun dalam Undang-Undang Dasar (UUD) disebutkan, semua masyarakat memiliki hak untuk memperoleh dan mendapatkan layanan kesehatan yang memadahi. Bagaimana mungkin, seorang dokter bisa fokus dalam menyembuhkan pasien, bila kesejahteraan keluarga atau dirinya tidak terjamin?

“Itu sebabnya, jaminan sosial atau hidupnya dokter harus dijamin negara. Jadi kalau dijamin negara, kita semua bisa mengerjakan pekerjaan tanpa menyeleweng. Kalau tidak dijamin, istri nangis karena tidak kecukupan, gimana?” terang Padmo.

Selain kesejahteraan, pemerataan layanan kesehatan di semua wilayah Indonesia juga harus melalui perencanaan matang. Misalnya, bangunan rumah sakit atau puskesmas layak, peralatan medis hingga obat-obatan yang mencukupi. Dengan perencanan matang, Padmo yakin, banyak dokter bisa mengabdikan hidupnya di daerah terpencil, termasuk dokter-dokter muda.

“Sekarang tinggal tanya yang mengatur pelayanan kesehatan itu bagaimana, jangan hanya bicara saja. Kalau you digaji Rp4 juta terus disuruh kerja di tempat terpencil apa mau? Darimana duitnya, suruh makan sagu terus sampai mati, jadi jangan gitu,”

“Jadi saya gak salahkan dokter muda tidak mau (Ke tempat terpencil). Kalau tidak ada yang mau berkorban ya jangan disalahkan, situasinya memang begitu.”

Padmo juga menyasar berbagai tunjangan yang diterima dokter PNS selama masa kerja meraka. Menurutnya, hal itu tidak efektif karena setelah pensiun nanti, tunjangan tersebut tidak diperoleh. Harusnya, semua tunjangan include dalam gaji sehingga saat pensiun nanti, jumlahnya lebih dari cukup untuk hidup.

“Jadi enggak perlu itu uang-uang itu. PNS naik golongan enggak sampai Rp2 juta. Jadinya dikarang aneh-aneh, uang jabatan, uang jalan, uang makanlah. Kalau orang itu pensiun, uang-uang itukan habis. Menurut saya gak perlu uang tunjangan itu. Masa kalah sama negara lain,” sindir Padmo.

Dengan upah layak hingga jaminan hari tua yang terjamin semua dokter akan bekerja tanpa beban, fokus dalam kesembuhan pasien dan mampu bahagiakan keluarga. Tak kalah penting adalah menghindari tindak pidana korupsi atau perbuatan melawan hukum lainnya.

“Kalau mau nyapu ruangan, sapunya harus bagus kan. Kalau sapunya jebol, apa bisa ruangannya bersih?  Yasudah, itu kiasan saya. Mau ngatur negara yang bagus tapi pegawainya enggak benar, gimana,” kata Padmo.

Di zaman penjajahan Belanda kualitas hidup dokter begitu diperhatikan, baik dari segi ekonomi dan tempat tinggal. Bila ditempatan di daerah terpencil pemerintah kolonial terlebih dahulu menyiapkan fasilitas kesehatan yang memadahi. Salah satunya, di Tobelo, Halmahera Utara sekitar tahun 1916.

Dengan situasi yang jauh lebih baik saat ini, Indonesia, terang Padmo, harusnya melampaui apa yang dicapai pemerintah kolonial. Memang, ‘perhatian’ kepada wilayah tertentu diikuti juga dengan motif lain, seperti sumber daya alam. Tapi dari segi perencanaan hingga kesejahteraan dokter, Padmo berani bilang kalau pemerintah kolonial sedikit lebih baik.

“Coba lihat di lembar negara, tentunya di zaman Londo ya. Kalau NKRI jangan pilih-pilih kasih dong, peralatan kesehatan harus rata. Kalau tidak ada uangnya kita pakai sistem prioritas tapi sudah ada perencanannya. Jangan perencanaan gak ada, yang dimasukin ke kantong sendiri, ya jadi repot,” ucap Padmo.

Pagebluk SARS-CoV-2

Munculnya SARS-CoV-2 yang memporak porandakan tatanan kehidupan dunia tak luput dari perhatian dokter berusia 83 tahun ini. Tiap harinya, jumlah pasien terus bertambah dengan tingkat kematian yang tinggi. Di Indonesia, per Jumat (27/11), jumlah kasusnya mencapai 522.581 dengan tingkat kematian 16.521.

Ratusan dokter yang bertugas di garis depan melawan SARS-CoV-2 juga menjadi korban. Catatan Pengurus Besar IDI, per 31 Oktober 2020,  jumlah dokter yang wafat mencapai 152 orang. Angka ini meningkat bila dibandingkan data 25 Oktober lalu, dengan 141 dokter wafat.

“Kalau mereka itu mati karena mereka punya dedikasi,  cuma mau menolong orang sakit. Jadi mesti orang lain, atau yang mempekerjakan dokter itu yang mengerti, menghargai dedikasinya. Gak usah ngomomg, kerjakan, lindungi orang yang berdedikasi,” kata Padmo.

Tidak ada satupun manusia yang ingin meninggal dalam usia muda, termasuk para dokter. Karena sumpah setia dalam menolong orang maka resiko tertular virus berbahaya asal Kota Wuhan, China tersebut harus diambil. Padmo berpendapat, untuk mencegah bertambahnya jumlah dokter yang gugur, pemerintah harus memperbaiki sistem.

Salah satunya lewat perbaikan alat kesehatan yang digunakan dokter dalam merawat pasien SARS-CoV-2. “Ya kalau punya alat untuk kerja harus di rawat. Mobil saja harus dirawat tidak bisa dipaksa terus untuk jalan, pasti jebol lah. Kalau mau berantas COVID dan memerlukan dokter, ya alatnya harus dirawat, jangan hanya diperintah-perintah,”

“Kalau merawat mesti tahu dong caranya. Merawat orang sakit juga tahu. Jadi harus ngerti cara merawatnya,” terang Padmo.

Dia berharap pagebluk ini segera berakhir dan kondisi kembali normal. Rencananya, Padmo hendak membuat pameran dan memajang puluhan koleksi lukisan miliknya. Selama ini untuk mengisi masa pensiun setelah 48 tahun mengabdi sebagai dokter PNS, Padmo memang menghabiskan waktunya untuk melukis.

“Ada banyak sekali, lebih dari 40 lukisan. Karena aku orang yang enggak terikat, jadi semau saya. Mau gambar orang ya gambar orang, mau gambar binatang ya gambar binatang, mau pemandangan, bunga. Haduhh, apa juga ada,” ucap Padmo.

(Antonius Wilhelmus Fernandez\Ade Irmansyah)

Share:




Berita Terkait

Komentar