Gantikan Ma`ruf Amin sebagai Ketua MUI, Begini Pesan Positif Miftachul

Sabtu, 28/11/2020 05:37 WIB
Miftachul Akhyar sampaikan piidato positif usai terpilih sebagai Ketua MUI masa bakti 2020-2025. (Radar Surabaya).

Miftachul Akhyar sampaikan piidato positif usai terpilih sebagai Ketua MUI masa bakti 2020-2025. (Radar Surabaya).

Jakarta, law-justice.co - Musyawarah Nasuional (Munas) ke-10 Majelis Ulama Indonesia (MUI) menetapkan Miftachul Akhyar sebagai Ketua Umum untuk periode 2020-2025. Dia menggantikan Ma`ruf Amin yang kini menjabat sebagai Wakil Presiden. Adapun wakil ketua umumnya dijabat oleh Anwar Abbas, Marsudi Syuhud, dan Basri Barmanda.

Usai resmi menjadi pemimpin MUI, dia pun langsung menyampaikan pesan-pesan positif kepada masyarakat. Dalam sambutannya, Miftachul mengingatkan tugas ulama adalah berdakwah, bukan mengejek. Miftachul juga dikenal sebagai sosok ulama yang kerap menyerukan persatuan.

"Tugas-tugas para ulama sebagaimana umumnya kita ketahui adalah berdakwah. Dakwah itu mengajak bukan mengejek sebagaimana yang kita ketahui," kata Miftachul Akhyar dalam pidatonya pada penutupan Munas MUI ke-10 yang disiarkan YouTube Wakil Presiden RI, Jumat (27/11/2020).

Miftachul Akhyar mengatakan tugas ulama dalam dakwah sangat ditunggu oleh umat. Oleh sebab itu, dia berpesan pada jajaran MUI untuk melaksanakan peran tersebut.

"Merangkul, bukan memukul, menyayangi bukan menyaingi, mendidik bukan membidik, membina bukan menghina, mencari solusi bukan mencari simpati, membela bukan mencela. Tugas-tugas ini saya harapkan dalam periode perkhidmatan kita, ini akan mewarnai dalam kehidupan kita semuanya. Umat sedang menunggu apa langkah kita," katanya.

Dalam menyampaikan dakwah, Miftachul Akhyar mengatakan ulama harus mengedepankan kasih sayang. Dia meminta agar para ulama tidak gampang melakukan vonis tanpa klarifikasi.

"Imam Safii pernah memberikan kriteria tentang ulama, seorang alim adalah semua urusannya, perilakunya, sepak terjaganya selalu berkesinambungan dengan agamanya, semua ada dasar hukumnya, semua bukan karena ikut-ikutan, semua bukan karena situasi dan kondisi tetapi semua itu ada bayyinah. Ini harapan Islam pada kita-kita, terutama para penanggungjawab keulamaan untuk memberikan pencerahan kepada umat. Mereka yang melihat umat dengan mata kasih sayang, mana kala menjadi sesuatu mari cari penyebabnya, bukan hanya kita memvonis tanpa ada klarifikasi," jelas dia.

Miftachul Akhyar juga meminta kepada seluruh ulama untuk menyelesaikan masalah umat dengan cara yang damai. Dia meminta agar menyelesaikan masalah tanpa menimbulkan masalah baru.

"Kami mohon pada semuanya para pimpinan majelis ulama bersama-sama untuk memikirkan bagaimana menyelesaikan masalah ini dengan cantik. Dengan tertangkap ikannya tanpa membuat airnya menjadi keruh. Jangan melakukan sesuatu dengan dasar kita melakukan kebaikan, melakukan amal ma`ruf nahi mungkar tapi meninggalkan mungkar-mungkar yang lain. Justru perilaku yang demikian menjadi mungkar itu sendiri, kita mau menghilangkan mungkar tapi mendatangkan mungkar yang lain," katanya

Menjabat sebagai Ketum MUI adalah amanah yang besar bagi Miftachul Akhyar. Terlebih saat ini, Miftachul menyebut dunia ada pada zaman ketidakpastian.

"Sebagaimana kita maklumi saya mendapat kepercayaan amanah yang besar, amanah yang berat ini bukan berarti saya ini lebih baik dari pada yang lain, justru saya ini yang lebih terbebani dari pada yang lain. Karena saat ini bukan hanya anak bangsa, tapi dunia sedang menanti kiprah dan apa yang akan kita suguhkan kepada mereka di dalam menghadapi era teknologi, disebut dengan zaman vuca, zaman ketidakjelasan ini," katanya.

Miftachul Akhyar kemudian menceritakan hadis Nabi Muhammad SAW tentang akhir zaman. Sebelum akhir zaman sebut Miftahcul Ahkyar, manusia mudah terpengaruh dengan situasi dan kondisi.

"Rasulullah SAW pernah mengatakan hari itu sudah diramalkan dengan ramalan suci Rasulullah SAW bahwa kiamat belum akan diselenggarakan sebagai penutup di dunia ini sehingga akan datang suatu masa di mana seseorang tidak tahu apa motivasinya dalam kehidupannya. Apa penggerak, apa penyebabnya, mereka hanya ikut dan terpengaruh dengan situasi dan kondisi. Sehingga disebutkan seorang membunuh tapi dia tidak tahu apa motivasi dia membunuh, yang terbunuh pun tidak tahu apa penyebabnya dia sampai dibunuh," jelasnya.

Pada zaman ketidakpastian itu, Miftachul menyebut manusia saling merasa paling benar. Sehingga terjadinya gonjang-ganjing.

"Sehingga sahabat bertanya, kenapa itu bisa terjadi, apa penyebabnya. Rasulullah menjawab suatu ketidakpastian, suatu zaman yang gonjang-ganjing, zaman menipisnya antara yang hak dan batil, sehingga terjadi pergolakan yang dia tidak tahu motivasinya, hanya yang ada masing-masing menyatakan kebenaran. Lalu Rasul mengatakan keduanya masuk neraka," jelasnya

Menurut Miftachul Akhyar, terjadinya kegaduhan itu lantaran tidak adanya pihak yang ingin mencari kebenaran. Dia juga menyinggung pemimpin yang percaya dengan berita bohong atau hoax.

"Kenapa sampai demikian? Karena saat itu tidak ada upaya untuk mencari kebenaran yang hakiki. Untuk mencari sebuah penjelasan karena yang menjelaskan sudah hampir punah, hampir tidak ada. Di masa-masa kita kehilangan. Di mana kita kehilangan seorang pemimpin bahkan pemimpinnya pun banyak yang ikutan dalam situasi-situasi semacam itu. Berita-berita hoax sudah menjadi acuan mereka," tutur dia.

Selain itu, di zaman ketidakpastian itu fitnah sering terjadi. Bahkan fitnah sudah melekat pada diri manusia ibaratkan pakaian.

"Bahkan sahabat (Nabi) Abdullah Bin Abbas mengatakan, bagaimana kala fitnah ini sudah seperti pakaian yang kau kenakan, melekat di mana-mana. Seorang tua hidup sampai mencapai ketuanya dalam fitnah itu, anak kecil tumbuh dalam fitnah sehingga fitnah dianggap fitnah," tutur dia.

Tanda-tanda zaman ketidakpastian itu kata Miftachul sudah mulai muncul saat ini. Sehingga ulama mengemban tugas berat dalam membimbing umat.

"Manakala ada seorang alim yang mengupayakan memberikan pencerahan tentang fitnah, `tinggalkan fitnah itu`, malah dia dituduh melakukan sebuah bid`ah. Saat-saat ini, tanda-tanda semacam ini sudah ada di tengah... Betapa beratnya tugas para alim ulama," kata dia.

Miftachul mengatakan ulama adalah pewaris nabi yang bertugas untuk membimbing umat untuk menjalankan tugas secara benar. Jati diri ulama itu harus dikembalikan.

"Ulama adalah pewarisnya para Nabi, sungguh mulia luar biasa antar pewaris dan yang mewarisi. Nilai-nilai ulama yang seperti inilah yang saat ini kita angkat kembali. Bagaimana jati diri dari pada ulama. Yang mendapatkan sebuah amanah untuk menggerek bendera Islam secara benar. Dan nantinya kita-kita ini diharapkan menjadi saksi alam," tutupnya.

(Nikolaus Tolen\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar