H. Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Mengawal RUU Pemilu Pasca Terbitnya Keputusan Mahkamah Konstitusi

Selasa, 17/11/2020 10:31 WIB
Wakil Ketua Komisi III DPR RI Desmond J Mahesa (Ist)

Wakil Ketua Komisi III DPR RI Desmond J Mahesa (Ist)

Jakarta, law-justice.co - Ajang "pesta demokrasi" lima tahunan Pemilu (Pemilihan Umum) memang baru saja kita laksanakan tahun 2019 lalu. Akan tetapi DPR saat ini sudah menggodok kembali "aturan main" untuk Pemilu tahun 2024 mendatang.

RUU Pemilu menjadi salah satu dari 50 Rancangan Undang-Undang Prioritas ke dalam Prolegnas tahun 2020. RUU Pemilu ini menjadi inisiatif DPR RI tepatnya usulan Komisi II DPR RI. Terkait itu Badan Keahlian DPR juga sudah merilis draf RUU Pemilu lengkap dengan naskah akademiknya. Draf revisi UU Pemilu sudah diserahkan ke Badan Legislasi (Baleg) DPR untuk diharmonisasi.

Secara umum, draf terbaru RUU Pemilu terdapat enam buku dan 741 pasal, ada 23 pasal yang ditambahkan dari draf lama 723 pasal. Sedangkan UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum hanya 573 pasal saja.

Mengapa RUU Pemilu perlu dilakukan perubahan ?, Sejauh mana Keputusan MK terkait dengan Pemilu diakomodasi dalam draft RUU Pemilu yang baru ?, Point point krusial apa saja yang di bahas dalam revisi RUU Pemilu kali ini ?

Mengapa Perlu Dirubah ?

Pemilu serentak tahun 2019 yang lalu menghadirkan lima pemilihan sekaligus mulai dari Presiden-Wakil Presiden, DPR RI, DPRD Provinsi dan Kabupaten/kota, dan DPD RI. Tapi pelaksanannya serentak itu diwarnai oleh sejumlah persoalan. Diantarnaya telah menyebabkan jatuhnya ratusan korban jiwa selama pelaksanannya.

Harus diakui, pelaksanaan pemilu serentak 2019 yang lalu telah menimbulkan berbagai permasalahan seputar sistem dan menajemen pelaksanaannya.Di sisi lain, persoalan itu juga disebabkan akibat desain pemilu yang buruk. Dimana sejumlah permasalahan itu tidak diantisipasi dan termaktub dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Sistem pemilu yang dipilih saat itu tak menyertakan bentuk manajemen pemilu secara konkret dan rinci yang memungkinkan buruknya tak diantisipasi. Kebijakan untuk penggabungan pelaksanaan pileg antara DPR, DPRD provinsi serta DPRD kabupaten/kota telah menyebabkan, terjadinya perpecahan konsentrasi kepentingan nasional dan daerah pada hal daerah pemilihan amat besar.

Selain itu masih dipertahankan sistem ambang batas pencalonan presiden berdasarkan kepemilikan kursi atau suara dari pemilu sebelumnya. Dampaknya, melahirkan polarisasi massa serta psikologis negatif melalui hoaks, fake news, bahkan kriminalisasi. Semua masalah ini telah menyebabkan pemilu 2019 yang lalu terkesan unmanageable secara sistemik.

Selain masalah manajemen yang diakibatkan dari sistem, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menemukan empat masalah dari sisi manajemen pemilu serentak pada 2019. Pertama, rekrutmen petugas TPS yang tak dioptimalkan KPU untuk melibatkan anak muda dengan bimbingan teknis yang cukup.

Kedua, simulasi pemungutan dan penghitungan suara di TPS yang lebih menekankan layanan kepada pemilih sehingga aspek kualitas dan stamina petugas TPS terabaikan.

Ketiga, paradigma manajemen pemilu yang bersifat sentral dalam penanganan sengketa pemilu dan pengadaan logistik tidak mempertimbangkan konsekuensi teknis. Alhasil, hal itu membuat beban petugas lapangan bertambah.

Keempat, terjadinya penurunan kualitas transparansi dan akuntabel dari penerapan teknologi yang bersifat manual seperti, penerapan sistem informasi partai politik (Sipol), dan sistem informasi penghitungan suara (Situng).

Selain itu persoalan-persoalan teknis Pemilu 2019 yang lalu seperti banyaknya kertas suara yang menjadikan pemilih kebingungan serta hasil coblosannya tidak presisi sehingga menjadi suara tidak sah dalam jumlah sangat besar.

Total jumlah suara tidak sah menurut data KPU pada pemilu 2019 mencapai 17.503.953. ini merupakan jumlah yang fantastis, bahkan jumlah suara tidak sah ini mengalahkan jumlah perolehan suara beberapa Partai yang lolos parliamentary threshold.

Ini baru dari sisi pemilih, sedangkan dari sisi penyelenggara pemilu ada 894 petugas pemilu yang meninggal dunia dan 5.175 orang petugas mengalami sakit karena kelelahan mengikuti proses penghitungan suara.

Efektifitas Undang-Undang Pemilu dengan berbagai macam kasus yang terjadi pada tahun 2019 itu sudah selayaknya menjadi bahan evaluasi kita bersama agar kedepan lahir sebuah undang-undang pemilu yang berkesinambungan serta bisa diterapkan dalam waktu yang lama sehingga tidak perlu setiap periode 5 tahunan diganti terus undang-undang pemilu.

Berangkat dari berbagai permasalahan pemilu yang muncul, khususnya pada pemilu 2019, maka penting kembali memikirkan penataan dan reformasi sistem kepemiluan di Indonesia dalam rangka menghadapi pemilu 2024.

Oleh karena itu dalam menata dan merevisi sistem kepemiluan di Indonesia harus didasari pada visi politik jauh ke depan, berintegritas, dan memiliki komitmen mewujudkan kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial.

Karena pemilu bukan hanya prosedur demokrasi, tetapi juga merupakan bagian integral dari sistem demokrasi elektoral yang menjadi bangunan dasar bagi sistem pemerintahan yang efektif. Dengan kata lain, sistem demokrasi elektoral yang efektif dan akuntabel menjadi kunci bagi terbangunnya sistem demokrasi substantif.

Untuk itu perlu adanya penyederanaan sistem pemilihan Anggota DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi, Kabupaten/Kota, dan Presiden dan Wakil Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota. Dengan menciptakan sistem perwakilan politik yang menempatkan partai politik peserta pemilu memiliki kursi disemua tingkatan yang representatif dan akuntabel kepada daerah pemilihan.

Hal tersebut dimaksudkan guna menciptakan pemerintahan presidensial dan pemerintahan daerah yang efektif, memperkuat sistem ketatanegaraan yang demokratis, mewujudkan Pemilu yang adil dan berintegritas, menjamin konsitensi pengaturan sistem Pemilu, memberikan kepastian hukum; mencegah duplikasi dalam pengaturan Pemilu, dan mewujudkan Pemilu yang efektif dan efisien.

Keputusan MK

Pasca pelaksanaan pemilu 2019 lalu yang menimbulkan banyak permasalahan, pada akhirnya memunculkan serangkaian gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang diajukan oleh beberapa elemen masyarakat terkait dengan penyelenggaraan pemilu.Untuk diketahui UU Pemilu adalah salah satu UU yang sering digugat ke MK setelah KUHAP dan UU Pemerintahan Daerah.

Sebagai tindaklanjut dari adanya gugatan tersebut, MK telah mengeluarkan 7 Putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan gugatan terhadap UU No. 7 Tahun 2017 (UU tentang Pemilu) yang menjadi landasan pelaksanaan pemilu serentak 2019 yang lalu. Selain itu MK juga telah mengeluarkan 6 Putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan UU No. 1 Tahun 2015, UU No. 8 Tahun 2015, UU No. 10 Tahun 2016 (UU tentang Pilkada).

Dengan adanya keputusan MK tersebut maka hal-hal penting dalam rencana perubahan UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum ( UU tentang Pemilu) diantaranya adalah menindaklanjuti Putusan MK terkait UU tentang Pemilu dan tentang UU Pilkada yang dikabulkan (13 Putusan MK), menggunaan Model Keserentakan Pemilu yang baru sesuai amanat keserentakan Pemilu dalam pertimbangan Putusan MK No. 55/PUU-XVII/2019 dan Normalisasi Penjadwalan Pilkada Menuju Model Keserentakan Pemilu yang Baru.

Dalam pertimbangan Putusan MK No. 55/PUU-XVII/2019 terdapat 6 alternatif model keserentakan Pemilu.Prinsip penting dalam Putusan MK No. 55/PUU-XVII/2019 yakni keserentakan untuk Pemilihan DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden wajib untuk dijaga.Dari 6 model keserentakan Pemilu tersebut, mayoritas alternatif keseretakan Pemilu yang baru menggabungkan penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada.

Dengan demikian menindaklanjuti Pertimbangan Putusan 55/PUU-XVII/2019, maka disusunlah RUU Pemilu dengan konsep Pemisahan adanya Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah. Konsep Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal yang diambil adalah sesuai Pertimbangan angka [3.16] Putusan MK No. 55/PUU-XVII/2019, alternatif ke - 4 yakni:“Pemilihan umum serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden dan anggota DPRD Provinsi, anggota DPRD Kabupaten/Kota, beberapa waktu setelahnya dilaksanakan Pemilihan umum serentak lokal untuk memilih pemilihan Gubernur, dan Bupati/Walikota”.

Secara konsep RUU ini menggunakan pola sesuai pertimbangan Putusan MK No. 55/PUU-XVII/2019 dengan pertimbangan masih: (a). menggunakan Penyelenggara sesuai UU Pemilu (UU No. 7 Tahun2017) yang kewenangannya di mix dengan kewenangan menurut UU Pilkada (UU No. 1 Tahun 2015 sebagaimana diubah beberapa kali terakhir dengan UU No. 10 Tahun 2016) (b). Penyelenggaraan Pemilu yang masih menggunakan dasar gabungan prinsip penyelenggaraan dalam UU Pemilu dan UU Pilkada yang dibahasakan dengan istilah baru yakni Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah.

Membaca RUU Pemilu ini mematahkan wacana pemilu 2024 dilaksanakan secara bersamaan dalam kurun waktu yang sudah ditetapkan. Pilkada serentak tidak seperti yang kita bayangkan selama ini bahwa Pilpres, Pileg dan Pilkada dilaksanakan secara bersamaan. RUU pemilu terbaru ini justru mengelompokkan pemilu kedalam dua kategori yaitu pemilu nasional dan pemilu lokal.

Titik tekan keserentakan pemilu disesuaikan dengan kategorinya. Pertama, Pemilu Nasional yang meliputi; Pilpres, Pemilu Legislatif DPR RI dan Pemilu DPD. Tiga jenis pemilu ini dikelompokkan sebagai pemilu nasional yang diadakan serentak 2 tahun setelah pemilu lokal. Kedua ,Pemilu Lokal yang meliputi; Pemilihan kepala daerah (Gubernur, Bupati dan Walikota) dan Pemilu Legislatif DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota.

Draf terbaru menjadwalkan keserentakan pemilu daerah pertama kali di tahun 2027, keserentakan pemilu nasional di tahun 2029, atau dua tahun sesudah terselenggarakannya pemilu daerah (Pasal 734). Pergesaran jadwal hingga tahun 2027 dipastikan lebih bijak dan adil bagi para anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota, lantaran tidak menghilangkan masa jabatan (bakti) mereka. Draf versi BKD berpotensi terpotongnya masa bakti DPRD provinsi dan kabupaten/kota selama 2 tahun (seandainya skema serentak lokal/daerah tetap dipertahankan di tahun 2022).

Dengan tidak terpotongnya masa bakti legislatif hasil pemilihan 2019, tentunya mereka memiliki kesempatan yang luas untuk terus mengawal isu pembangunan, serta melanjutkan perjuangan isu strategis pada daerah pemilihan (dapil) yang mereka wakili. Pemotongan masa bakti secara mendadak bukanlah solusi yang baik, bahkan “berdampak” trauma politik bagi pemenang hati rakyat pada Pileg 2019. Ditambah lagi capaian target kampanye mereka gagal diimplementasikan karena masa pengabdian terpotong di tengah periode.

Karena skema penjadwalan pemilu daerah telah berubah, hal yang tidak dapat dielakkan pemilu 2024 tetap pemilu dengan 5 kotak suara. Persis sama seperti tahun 2019, hanya saja untuk masa bakti jabatan DPR provinsi dan kabupaten/kota 3 tahun, karena berhadapan langsung dengan pemilu daerah pertama di tahun 2027 (Pasal 735 ayat 6). Para calon legislatif yang bakal berkompetisi di tahun 2024, sudah bisa menghitung dari awal target kampanye isu dapil dan pembangunan; yang memungkinkan diadvokasi (logis) dalam masa 3 (tiga) tahun sampai tahun 2027.

Lalu bagaimana garis penjadwalan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada); baik untuk tingkat provinsi maupun kabupaten/kota dalam rancangan terbaru? Pilkada hasil pemilihan tahun 2015 dilaksanakan pada desember 2020 (sedang berlangsung tahapannya di masa covid-19), sedangkan Pilkada hasil pemilihan 2017 berlangsung di tahun 2022 dan Pilkada hasil pemilihan 2018 diselenggarakan pada tahun 2023 (Pasal 731 ayat 1, 2 dan 3).

Pilkada yang sedang dan akan berlangsung di tahun 2022 dan 2023 nantinya tetap mengacu pada undang-undang pilkada yang lama (Pasal 733). Selain rujukan UU nasional, Pilkada di Aceh juga merujuk pada ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. RUU Pemilu yang sedang dibahas akan diberlakukan 5 tahun setelah diundangkan (Pasal 741 ayat 1).

Isu Isu Krusial

Di tengah masa new normal Covid-19, pembahasan RUU Pemilu terus berlanjut. Saat ini sudah ada dokumen rancangan dalam bentuk PDF (RUU Pemilu per tanggal 14 Juli 2020). Dalam draf terbaru terdapat perubahan desain kepemiluan; baik dari sisi jadwal hingga terdapat isu “krusial” yang membutuhkan partisipasi elemen masyarakat untuk mengkritisinya.

Adapun isu isu krusial dalam RUU Pemilu ini, diantaranya:
1. Keserentakan Pemilu
2. Sistem Pemilu
3. Distrik Magnitude
4. Presidensial Threshold
5. Parliamentary Threshold
6. Metode Konversi Suara

Selain isu krusial sebagaimana dikemukakan diatas, ada beberapa isu tambahan yang juga mengemuka dan perlu mendapatkan perhatian kita bersama yaitu terkait dengan :
1. Pembentukan lembaga Peradilan Pemilu;
2. Desain dan penataan Penyelenggara Pemilu;
3. Digitalisasi Pemilu;
4. Model keserentakan dan Pembagian Pemilu;
5. Pencegahan Praktek Moral Hazard Pemilu
6. Keterwakilan Perempuan
7. dll

Terkait dengan pelaksanaan Pemilu serentak maka sesuai dengan Putusan MK Nomor 55/PUI-XVII/2019 yang dalam amar putusannya menyebutkan bahwa pemilu harus dilaksanakan serentak.

Hanya saja desain pemilu serentak itu perlu dikaji ulang, karena berdasarkan pengalaman yang lalu yakni pada pemilu 2019 dengan model pemilihan 5 kotak suara (Pilpres, DPR-RI, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kab/kota) banyak sekali kendala teknis yang memungkinkan kemurnian suara pemilih menjadi terkontaminasi.

Sehingga titik tekan keserentakan pemilu di RUU pemilu yang baru disesuaikan dengan kategorinya. Pertama, Pemilu Nasional yang meliputi; Pilpres, Pemilu Legislatif DPR RI dan Pemilu DPD. Tiga jenis pemilu ini dikelompokkan sebagai pemilu nasional yang diadakan serentak 2 tahun setelah pemilu lokal. Kedua ,Pemilu Lokal yang meliputi; Pemilihan kepala daerah (Gubernur, Bupati dan Walikota) dan Pemilu Legislatif DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota.

Mengenai sistem pemilu, dalam draft RUU Pemilu itu dilaksanakan dengan proporsional tertutup. Artinya, calon anggota legislatif tidak lagi dipilih langsung oleh rakyat tapi ditentukan oleh partai politik. Rakyat hanya memilih atau mencoblos partai politik tempat calon anggota legislatif itu mencalonkan diri.

Hal tersebut memang belum disepakati oleh semua fraksi di DPR. Sebagai contoh untuk sistem pemilu di DPR sebagaimana diatur dalam pasal ( 206 ayat 91), PDIP menghendaki sistem proporsional tertutup, pendapat sama juga disampaikan oleh partai Golkar dan F-PPP. Sementara itu fraksi lain seperti F-PKB, F-Nasdem, F. PKS, F-demokrat dan F-PAN menghendaki sistem proporsional terbuka. Adapun partai Gerindra akan menyampaikan pendapatnya nanti pada pembahasan dengan pemerintah.

Untuk sistem pemilu DPRD Provinsi sebagaimana diatur dalam pasal 236 (ayat 2), F-PDIP menghendaki sistem proporsional tertutup, Golkar dan dua partai lainnya yaitu F-PP, F-demokrat menyatakan belum bersikap. Sementara F-PAN, F-PKB dan F-Nasdem menghendaki sistem proporsional terbuka. Adapun partai Gerindra akan menyampaikan pendapatnya nanti pada pembahasan dengan pemerintah.

Untuk sistem pemilu DPRD Kabupaten/ Kota sebagaimana diatur dalam pasal 259 (ayat 2), F-PDIP menghendaki sistem proporsional tertutup, Golkar dan dua partai lainnya yaitu F-PP, F-demokrat menyatakan belum bersikap. Sementara F-PAN, F-PKB dan F-Nasdem menghendaki sistem proporsional terbuka. Adapun partai Gerindra akan menyampaikan pendapatnya nanti pada pembahasan dengan pemerintah.

Dalam pasal 206, 236 dan 259 menyatakan bahwa sistem pemilihan DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota dilakukan dengan menggunakan sistem tertutup. Pemberlakukan sistem ini direncanakan secara berjenjang.

Kalaulah suara anggota lesgislatif atau suara partai/fraksi yang menginginkan sistem proporsional terbuka kalah dalam pembahasan RUU Pemilu tersebut, berarti sebuah langkah mundur.Mengapa? Karena sistem pemilu akan kembali kepada sistem pemilu waktu rezim Orde Baru (walau pun tidak persis sama).

Rakyat tidak bisa menentukan langsung wakilnya, karena pilihan rakyat "diwakili" oleh partai politik.Hal itu juga menjadi kontradiksi dengan istilah "wakil rakyat" itu sendiri. Sebab faktanya para calon anggota lesgislatif bukan "wakil rakyat" tapi "wakil partai politik".

Para calon anggota legislatif yang dipilih langsung oleh rakyat juga sebenarnya tidak serta merta menunjukkan bahwa dia itu berkualitas, dikenal, atau bisa mewakili aspirasi.Sebab faktanya tidak sedikit anggota legislatif terpilih bukan karena dia berkualitas, dikenal, atau bisa mewakili aspirasi, tapi karena faktor lain.

Tak sedikit pula calon anggota legislatif setelah terpilih menjadi lupa dengan para pemilihnya.Artinya sama saja, rakyat atau partai politik yang menentukan calon anggota legislatif tidak terlalu berpengaruh signifikan bagi rakyat.Hanya saja jika rakyat yang benar-benar memilih calon wakilnya, hal itu berarti sesuai dengan makna demokrasi itu sendiri. Itu saja.

Selanjutnya mengenai parliamentary treshold (ambang batas parlemen sebagaimana diatur dalam pasal 217). Dalam RUU pemilu tersebut parliamentary treshold ada beberapa alternatif. Belum juga disepakati oleh semua fraksi/partai politik.

Untuk parliamentary threshold (PT) DPR RI, PDIP, PKS dan PKB menghendaki 5%, Golkar dan Nasdem 7%, demokrat-PAN dan PPP menghendaki 4%. Sementara itu partai Gerindra pendapatnya akan disampaikan dalam pembahasan dengan pemerintah.

Untuk Parliamentary Treshold DPRD Propinsi (sebagaimana diatur dalam pasal 248), PDIP menghendaki 4% suara Nasional, PKS inginnya 5% suara Nasional sementara partai lainnya rata rata menginginkan ambang batas dihapus( tidak ada ambang batas).

Untuk Parliamentary Treshold DPRD Kabupaten/ Kota 270 ayat (1)., PDIP menghendaki 3 % suara Nasional, PKS inginnya 5% suara Nasional sementara partai lainnya rata rata menginginkan ambang batas dihapus( tidak ada ambang batas).

Pada pemilu lalu (2019) parliamentary treshold (ambang batas parlemen) sebesar 4%. Dengan parliamentary treshold sebesar itu hanya ada 9 (sembilan) partai politik yang berhasil lolos. Apalagi jika parliamentary treshold dinaikkan menjadi lebih dari 4%.

Jika parliamentary treshold dinaikkan masalahnya bukan berapa banyak partai yang akan lolos atau tidak lolos, tapi dikhawatirkan akan lebih banyak lagi suara rakyat yang terbuang atau hangus sia-sia.Pada Pemilu 2019 saja ada sekitar 13 juta lebih suara rakyat yang terbuang atau hangus sia-sia kumulatif dari tujuh partai politik yang perolehan suara nasionalnya kurang dari empat persen.

Isu krusial yang tak kalah pentingnya dalam draft RUU Pemilu kali ini adalah mengenai presidential treshold (ambang batas pencalonan presiden), Distrik Magnitude dan metode konversi suara dimana pendapat masing masing fraksi di DPR juga berbeda beda.

Masalah presidential treshold ini jangan dianggap sepele. Sebab hal tersebut dinilai oleh sebagian akademisi dan tokoh politik sebagai faktor penyebab tensi pemilu dan politik menjadi panas seperti tahun 2019.Selain itu sebagian dari mereka juga menyebut bahwa presidential treshold ini bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945.

Oleh karena itu tidak sedikit dari para akademisi, tokoh politik, pengamat, tokoh masyarakat, dan yang lainnya mengusulkan agar presidential treshold ini 0 persen.Sebab selama warga negara memenuhi syarat yang ditentukan oleh Undang-undang, siapa pun memiliki hak untuk dicalonkan sebagai calon presiden atau calon wakil presiden.

Hal tersebut diharapkan bisa meredam suhu politik dan tensi politik, serta memupus keterbelahan masyarakat seperti yang terjadi pada Pemilu 2014 dan Pemilu 2019 lalu.Sehingga warga masyarakat mengikuti dan berpartisipasi dalam Pemilu dengan perasaan riang gembira. Kalau seperti itu, bisa dipastikan di masyarakat kita tak akan terbelah lagi menjadi golongan "Cebong" dan "kadrun".

Isu krusial lain yang cukup penting adalah terkait dengan pasal-pasal untuk menghilangkan praktik moral hazard pemilu. Karena kita bersama tentu mempunyai keinginan yang kuat agar pemilu ke depan itu pemilu yang betul-betul bersih, jadi harus ada pasal-pasal yang lebih rinci, yang tegas, yang mampu menghilangkan atau meminimalkan terjadinya praktik-praktik moral hazard pemilu, seperti money politics, politik transaksional, dan sebagainya.

Persoalan lain berkaitan dengan penguatan tugas dan fungsi penyelenggara Pemilu. Sejauh ini tugas dan fungsi KPU, Bawaslu, dan DKPP masih saling tumpang tindih dan sering terjadi konflik.

Kedepan malalui RUU Pemilu yang baru ini harus pikirkan tugas dan fungsi dari institusi penyelenggara pemilu ini agar lebih tegas. Terutama soal yang menangani pelanggaran-pelanggaran pemilu. Dalam al ini kiranya perlu didorong lahirnya peradilan khusus pemilu.

Ada juga isu krusial yang terkait dengan digitalisasi pemilu.Dalam penyelenggaraan pemilu nanti tentu kita inginnya yang tidak rumit dan tidak menyulitkan masyarakat, untuk itu soal e-rekap KPU kiranya perlu juga dikembangkan. Hal ini tentunya ada kaitannya dengan dengan perkembangan ilmu pengetahuan teknologi, soal iptek.

Mengapa e-rekap perlu di pemilu mendatang tentunya agar masyarakat dan peserta pemilu bisa lebih cepat dalam mendapatkan hasil pemilu. Dengtan E-rekap diharapkan akan membantu efisiensi dan efektivitas serta mempercepat masyarakat tahu hasil pemilu. Karena jika masih menggunakan perhitungan secara manual akan membutuhkan waktu yang lebih lama.

Tentu saja pelaksanaan e-rekap harus dibarengi dengan peningkatan kualitas petugas pemilu di setiap tahapan. Tanpa peningkatan kualitas sulit terwujud maka e-rekap kiranya tidak akan berhasil.

Kiranya cukup banyak point point krusial yang masih perlu mendapatkan perhatian dalam proses pembahasan RUU pemilu kali ini. Oleh karena itu saat ini adalah waktu yang tepat bagi berbagai pihak untuk memberikan usulan terkait aturan Pemilu karena DPR sedang membahas revisi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Selain itu masyarakat perlu terus mencermati dan mengawal agar putusan MK bisa diakomodir di UU Pemilu.

Mumpung DPR saat ini sedang menggodok RUU Pemilu, maka perlu upaya cermat dan serius menginventarisir berbagai putusan MK yang terkait pengaturan kepemiluan untuk selanjutnya diformulasi dalam UU Pemilu yang saat ini sedang dibuat.

Hal ini sebenarnya untuk mencegah banyaknya gugatan atas UU Pemilu akibat pengaturan yang dianggap inkonstitusional karena bertentangan dengan putusan MK yang merupakan tafsir konstitusionalitas norma undang-undang.

Kita berharap pembuatan RUU Pemilu kali ini bisa berjalan lebih aspiratif meskipun ditengah serangan pandemi virus corona. Jangan sampai terulang kejadian seperti RUU Omnibuslaw cipta kerja yang sudah disahkan namun menyisakan ganjalan karena prosesnya yang dianggap tidak trasnparan dan kurang partisipatif.

Melalui pembahasan RUU Pemilu kali ini kita semua ingin menghapus kesan jangan seoalah olah pembuatan RUU pemilu semata -mata keinginan atau untuk kepentingan partai politik belaka.

Sebab itu RUU ini harus mampu merespon situasi dan kondisi, melihat kebutuhan, dan mempertimbangkan kemaslahatan bagi rakyat pada umumnya. Itulah pentingnya partisipasi dan aspirasi di akomodasi agar Undang Undang yang nantinya disahkan benar benar milik kita bersama bukan milik “mereka” saja.

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar