Salamuddin Daeng (Ekonom Alternatif)

Saat Pemerintahan Jokowi Sudah Selesai di Mata Internasional

Senin, 16/11/2020 05:02 WIB
Menkeu Sri Mulyani dan Presiden Jokowi (berkabar.id)

Menkeu Sri Mulyani dan Presiden Jokowi (berkabar.id)

Jakarta, law-justice.co - Data Bank Indonesia (BI) memperlihatkan bahwa sepanjang tahun 2020 pemerintahan Jokowi tidak mendapatkan pinjaman internasional. Utang luar negeri (ULN) Indonesia tahun 2020 tidak bertambah sepeserpun. Padahal pemerintah sedang butuh uang (BU), segala macam cara telah ditempuh untuk mendapatkan uang.

Beberapa waktu lalu media dalam negeri memberitakan bahwa Jepang akan membantu 6 triliun rupiah. Lalu diikuti oleh Australia 15 triliun rupiah. Menurut berita media tampaknya pemerintah senang dengan bantuan utang seupil dari dua negara tersebut.

Tapi apakah itu benar? Atau hanya klaim pemerintah saja bahwa mereka akan dapat pinjaman luar negeri bilateral? Namun faktanya sudah tidak bisa dapat lagi. Sementara Pemerintah butuh lebih dari 1000 triliun rupiah.

Tidak adanya tambahan data utang luar negeri pemerintah bisa jadi disebabkan oleh beberapa kebijakan belakangan ini, terutama UU No 2 tahun 2020.

Berdasarkan UU tersebut Pemerintah meminta BI membeli surat utang negara di pasar perdana. Artinya surat utang pemerintah dijual tunai ke BI tanpa lelang. Pihak internasional mengangap itu sebagai bentuk pelanggaran moneter, tidak lazim dan tindakan tabu yang dilakukan BI dan pemerintah.

Pihak internasional tampaknya mengkuatirkan bahwa penjualan surat utang negara kepada BI akan berlanjut sampai tahun 2021. Jika ini terjadi maka ini ancaman serius kepada ekonomi Indonesia dan juga keamanan uang asing di Indonesia.

Publik juga melihat hal itu sebagai bahaya. Pengelolaan keuangan negara yang tidak jujur dan menyimpang. Bagaimana mungkin BI punya uang sebanyak itu? Negara mengalami dedisit 1039 triliun rupiah, lalu kemudian meminta BI membiayainya. Darimana uang BI? Apakah selama ini BI nyangkul sawah, jual beras untuk dapat uang?

Beberapa pihak mencurigai pemerintah menggunakan dana tabungan masyarakat yang ada di bank dan cadangan minimum bank.

Dugaan lain adalah ini adalah dana yang berada dibawah kontrol Lembaga Penjamin Simpananan (LPS) yang ditarik pemerintah ke dalam APBN. Dugaan lain adalah pemerintah dan BI cetak uang untuk membiayai APBN.

Kesemua itu membuat asing kuatir. Bagaimana mungkin uang cetakan jika benar akan digunakan untuk membayar utang luar negeri pemerintah (ULN) yang sekarang sudah mencapai 200 miliar dolar dan utang obligasi pemerintah dalam mata uang asing dengan uang tabungan rupiah masyarakat atau uang LPS, atau uang rupiah hasil cetakan? Ini membahayakan.

Respon negara asing dan lembaga keuagan multilateral dengan menghentikan seluruh pinjaman kepada Indonesia merupakan suatu keadaan bahaya. Ini merupakan indikasi bahwa pemerintah RI sudah selesai. Sudah tamat.

Sudah tidak kredibel lagi dimata negara asing dan lembaga keuangan multilateral. Lalu dari mana pemerintah akan dapat uang lagi? Apakah itu sebab dalam minggu minggu terakhir tampak pemerintah panik? Mohon pencerahan.

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar