Perludem: PKPU Perlu Periksa Aliran Dana Kampanye Medsos

Jum'at, 13/11/2020 15:20 WIB
Titi Anggraeni Perludem

Titi Anggraeni Perludem

Jakarta, law-justice.co - Dewan Pembina Perludem Titi Anggraeni menyebut ada tiga masalah prioritas kampanye Pilkada Serentak 2020 di media sosial (medsos) yang tidak bisa dijangkau Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU).

Tiga masalah itu yakni menyangkut aliran dana kampanye yang tidak transparan khususnya belanja iklan di medsos, pemanfaatan data atau pemanfaatan target pemilih, dan serangan siber berupa pencurian data untuk mendapatkan iklan dan informasi.

Serangan siber juga bisa berupa peretasan akun KPU/Bawaslu sehingga berakibat pada berkurangnya kredibilitas penyelenggara pilkada serentak.

"Nah ini ternyata tidak semua bisa dijangkau oleh regulasi yang ada. Sehingga kami menyebutnya ada kesenjangan standar atau aturan antara regulasi terkait dengan ancaman 3 ini. Memang ada PKPU 11/2020 dan PKPU 12/2020, tetapi kalau kita bicara yang 3, ini tidak bisa dijangkau oleh PKPU yang ada," ujar Titi dalam webinar `Medsos dan Etika dalam Kampanye Pilkada`, Kamis (12/11).

Ia mencontohkan beberapa iklan kampanye Pilkada Serentak di layanan atau advertisement Facebook, padahal menurutnya dalam PKPU 11/2020 tidak diatur bentuk kampanye menggunakan iklan media sosial.

"Contoh iklan kampanye di medsos, kalau ikut PKPU 11/2020 kampanye medsos itu enggak boleh. Tapi, di ads library Facebook, itu iklan-iklan sudah ada. Nah ini yang kami tunggu penindakannya seperti apa," ujar Titin.

Selain itu, tidak ada aturan mengenai pengelolaan dana kampanye Pilkada Serentak yang bersumber dari iklan ataupun penggunaan media sosial.

Menurut PKPU 12/2020 Pasal 8, dana kampanye bersumber dari partai politik atau gabungan partai politik, sumbangan atau pinjaman dari partai politik, perseorangan, badan hukum swasta.

"Risiko utama di medsos dalam pilkada 2020, aliran dana kampanye yang tidak transparan, khususnya terkait belanja iklan di medsos, tidak diatur dalam PKPU 11/2020 atau PKPU 12/2020," ungkapnya.

Sementara menurutnya, tidak semua permasalahan dalam kampanye Pilkada Serentak 2020 bisa diselesaikan dengan hukum. Apalagi pada saat ini menurutnya hukum positif terbilang tertinggal dengan kemajuan realita sosial yang disokong teknologi.

Atas dasar itu, pihaknya menyarankan pembentukan kode etik media sosial yang diharapkan bisa menjadi pegangan untuk diaplikasikan dalam pilkada.

"Tidak semua harus diselesaikan dengan hukum, apalagi hukumnya tertinggal dari realita sosial, maka kami di gerakan kelompok masyarakat sipil, menawarkan gerakan mendorong kode etik media sosial yang bisa menjadi komitmen moral dari para kelompok atau pemangku kepentingan untuk diaplikasikan di pilkada 2020," kata dia.

Ia mengungkapkan kode etik itu akan diusulkan kelompok masyarakat sipil kepada para pemangku kepentingan. Namun kode etik tersebut bersifat tidak mengikat karena lebih menitikberatkan pada persetujuan antar pemangku kepentingan dan masyarakat sipil.

"Jadi masyarakat sipil bergerak bersama untuk memonitor ini, mendorong agar platform medsos peserta pemilihan itu mendeklarasikan komitmennya untuk patuh dalam kode etik," pungkasnya.

 

 

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar