Saksi Ahli dari PBB Dihadirkan di Sidang Pengibar Bendera RMS di Ambon

Selasa, 10/11/2020 19:13 WIB
Saksi ahli dari PBB dihadirkan dalam sidang kasus dugaan makar berupa pengibaran bendera RMS di Ambon (kompas)

Saksi ahli dari PBB dihadirkan dalam sidang kasus dugaan makar berupa pengibaran bendera RMS di Ambon (kompas)

Ambon, Maluku, law-justice.co - Pengadilan Negeri Ambon kembali menggelar sidang lanjutan kasus dugaan makar berupa pengibaran bendera Republik Maluku Selatan (RMS) di Latuhalat, Kecamatan Nusaniwe, Ambon dengan terdakwa Dominggus Saiya dan Agus Matatula pada Senin (9/11/2020). Dalam sidang dengan agenda mendengarkan keterangan saksi ini, kuasa hukumnya menghadirkan saksi meringankan yakni Ghazali Ohorela.

Ghazali Ohorela adalah ahli hukum internasional dan masyarakat adat, pengacara HAM dan sering memberikan advise bagi negara dan masyarakat adat, serta staf general Savety di PBB.

Saksi berdarah Maluku ini juga sering melakukan negosiasi terhadap proses-proses hukum internasional dan perubahan iklim dunia. Sidang berlangsung dalam bahasa Indonesia dan Inggris, menggunakan penterjemah dari Universitas Pattimura Ambon.

Melansir titastory.id, dalam keterangannya, saksi mengatakan, sejak 20 tahun lalu masyarakat adat Maluku Alifuru sudah resmi terdaftar di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Ghazali juga menjelaskan, dari sisi hukum internasional, Proklamasi RMS 25 April 1950 saat itu memenuhi syarat sebagai sebuah negara, karena memiliki populasi, wilayah dan pemerintahan.

“Berdasarkan hukum internasional, deklarasi RMS 25 April 1950 memenuhi syarat, karena memiliki populasi, wilayah dan pemerintahan. Syarat-syarat ini sudah dipenuhi oleh RMS,”jelasnya menjawab pertanyaan kuasa hukum, tentang apakah Proklamasi RMS memenuhi syarat sebagai negara sah.

Ghazali menuturkan, tahun 1976, RMS juga telah mendapat pengakuan sebagai sebuah negara dari negara di Afrika. Apabila saat itu ada pemerintahan yang berdaulat, maka memungkinkan bagi RMS untuk menjalin hubungan kerjasama dengan negara lain, serta secara tidak langsung akan mendapat pengakuan.

Saksi dalam persidangan mengatakan melihat pemerintahan RMS di Belanda sebagai pemerintahan RMS Pengasingan, tetapi secara eksplisit bahwa suatu Negara dapat bertahan hidup tanpa pemerintah.

Ghazali mencontohkan negara Jerman yang sempat tidak memiliki pemerintahan. Demikian juga dengan negara Somalia yang sempat memiliki pemerintahan yang tidak efektif, namun tidak kehilangan statusnya sebagai negara. Dengan demikian, dalam hal ini, RMS tidak kehilangan statusnya sebagai sebuah negara, hanya karena pemerintahannya tidak ada di Maluku.

Dimintai pendapatnya tentang aneksasi, Ghazali menyebutkan, PBB hadir karena terjadinya aneksasi.

“Integritas teritory sebuah negara, tidak bisa diambil alih oleh negara lain. Hal inilah yang menyebabkan hadirnya PBB,” tegasnya.

Tentang penaikan bendera yang dilakukan oleh aktivis FKM/RMS yang dianggap sebagai tindakan makar, Ghazali mengakui hal itu tidak diatur dalam hukum internasional, karena merupakan masalah dalam negeri. Namun dia berpendapat, apa yang dilakukan oleh para aktivis/simpatisan FKM/RMS adalah bentuk cara berekspresi menyampaikan pendapat secara damai.

“Merujuk pada perjanjian hak sipil dan hak politik yang ikut ditandatangani oleh Indonesia tahun 2006 silam, yang menjamin hak penentuan nasib sendiri, hak mengeluarkan pendapat, berekspresi dan berasosiasi, maka apa yang dilakukan adalah bentuk berekspresi. Dengan demikian, masyarakat Maluku juga memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri, berdasarkan apa yang saya jelaskan tadi," tegasnya.

Meskipun demikian, Pemuda berdarah Maluku yang tidak pernah menginjakkan kaki di Indonesia ini mengetahui RMS dilarang di Indonesia, saat menjawab pertanyaan hakim.

Saat sidang sedang berlangsung, aksi demo damai dilakukan di Belanda oleh sejumlah Warga Belanda, keturunan Maluku. Puluhan warga keturunan Maluku yang tergabung dalam The children of the South Moluccan Republic menggelar aksi didepan Kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI), yang terletak di Tobias Asserlaan 8, Den Haag pukul 12:00 hingga 13.30 waktu setempat.

Salah satu warga Belanda keturunan Maluku yang enggan disebutkan namnaya via ponselnya Senin (09/11/2020) mengatakan, aksi ini untuk menarik perhatian atas ketidakadilan yang dilakukan terhadap warga Maluku Selatan. Dominggu Saiya dan Agus Matatula menurut mereka hanya menyampaikan keinginan secara damai pada 25 April 2020 lalu, namun ditangkap.

Pendemo juga menyebutkan, pemerintah Indonesia hanya berpura-pura menerapkan demokrasi karena masih menangkap warga yang menyatakan keinginannya untuk membebaskan Maluku secara damai.

“Oleh karena itu, kami di sini hari ini untuk menunjukkan solidaritas kami – tidak hanya untuk Dominggus dan Agus, tetapi juga untuk aktivis lain yang berada di penjara atau sudah menghadapi dampak yang dibawa oleh Indonesia. Kami berterima kasih atas keberanian mereka dan tidak akan melupakan mereka maupun tindakan mereka. Sejak pendudukan, Indonesia telah merampok tanah kami, harta kami, budaya kami, identitas kami dan martabat kami. Kami mengakui bahwa hal yang sama terjadi pada saudara dan saudari kami di Papua Barat dan Aceh,” tutupnya.

(Gisella Putri\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar