Industri Farmasi Bergantung Impor, DPR: Cermin Kegagalan Kemenperin

Sabtu, 07/11/2020 17:17 WIB
Ilustrasi Pekerja Farmasi (Antara)

Ilustrasi Pekerja Farmasi (Antara)

Jakarta, law-justice.co - Presiden Joko Widodo kerap menyinggung masih besarnya jumlah impor obat dan bahan baku farmasi yang mencapai 90 persen dari kebutuhan nasional.

Menanggapi persoalan itu, Anggota Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Achmad Baidowi menjelaskan bahwa kenyataan tersebut merupakan cerminan kegagalan Kementerian Perindustrian dalam meningkatkan daya saing industri farmasi dalam satu dekade terakhir ini.

Besarnya ketergantungan impor dan bahan baku farmasi memberikan berkontribusi pada besarnya defisit perdagangan Indonesia selama ini. Kata Baidowi, persoalan ini seharusnya menjadi fokus utama Kementerian Perindustrian (Kemenperin).

Alasannya Kemenperin tidak mampu memanfaatkan potensi Indonesia yang kaya keragaman hayati, terutama tumbuhan dan mikroba yang jumlahnya sangat besar dan bisa dimanfaatkan untuk bahan baku industri farmasi.

Baidowi berharap Jokowi mengevaluasi kinerja Kementerian Perindustrian agar impor obat dan bahan baku obat bisa segera dicarikan solusinya. Apalagi, kebutuhan obat akan semakin meningkat seiring dengan munculnya sejumlah penyakit baru di dunia.

“Selama ini stakeholder sektor perindustrian terlihat berpikir instan dalam memenuhi kebutuhan farmasi dalam negeri yaitu dengan cara impor. Cara instan ini bukan hanya membuat defisit neraca perdagangan, namun juga menjadikan Indonesia sebagai negara konsumen yang tidak berdaya saing,” katanya seperti dilansir dari Bisnis Indonesia.

Baidowi juga menambahkan, bahwa sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM) Indonesia sebenarnya bisa memproduksi obat dan bahan baku obat secara mandiri. Namun, karena sejumlah stakeholder perindustrian terlihat sudah merasa aman dan nyaman dengan impor, potensi Indonesia itu tidak dimanfaatkan dengan baik.

“Sudah seharusnya ada roadmap industri farmasi yang jelas dan terukur, agar ketergantungan impor bisa terus dikurangi. Perlu kebijakan yang tegas dan terintegrasi agar kebutuhan farmasi di dalam negeri tetap bisa terpenuhi, namun pengembangan industri farmasi juga bisa berkembang dengan baik sehingga keran impor bisa diperkecil,” ungkapnya.

(Tim Liputan News\Yudi Rachman)

Share:




Berita Terkait

Komentar