Mengendus Modus Bobroknya Bisnis Telkom (II)

Membongkar Mafia Bisnis Telekomunikasi di Kasus Gagal Bayar Tiphone

Sabtu, 07/11/2020 18:49 WIB
PT TiPhone Indonesia

PT TiPhone Indonesia

law-justice.co - Apa yang terjadi di PT Tiphone saat ini membuat banyak pihak bertanya-tanya tentang pengaruhnya pada kinerja PT Telkom. Peneliti di Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Nailul Huda mengatakan, kasus gagal bayar yang dialami Tiphone saat ini sebetulnya tidak terlalu berpengaruh pada bisnis telekomunikasi di perusahaan plat merah secara keseluruhan. Hanya saja, ini akan menjadi preseden buruk karena Telkom pernah melakukan kesalahan investasi melalui anak perusahaannya, PT PINS Indonesia.

“Kerugian PT Telkom memang terletak pada kepemilikan saham PT Tiphone yang tidak dibayarkan obligasinya ke PT PINS,” kata Nailul Huda kepada Law-Justice.co.

Buntut dari investasi sembrono tersebut, kata dia, yang pasti mengakibatkan penurunan nilai saham PT PINS yang ada di Tiphone. Selain bisnis Tiphone yang bermasalah, diperparah dengan kasus gagal bayar obligasi.

“Nilai saham ketika pembelian awal PT PINS mencapai Rp 1 triliun lebih. Mungkin saat ini cuma tersisa 300 miliar karena penurunan nilai yang sangat luar biasa,” ucap dia.

Sementara itu, Analis Binaartha Parama Sekuritas Nafan Aji Gusta Utama menilai, yang diperlukan saat ini adalah ketegasan dan pernyataan resmi dari emiten-emiten terkait tentang kasus gagal bayar Tiphone.

“Revenue-nya sedang mengalami penurunan. TELE butuh inovasi bisnis agar bisa meningkatkan kinerja penjualan,” kata dia.

Merespon polemik yang terjadi saat ini antara Telkom dan Tiphone, Anggota Komisi VI DPR RI Fraksi Partai Gerindra Andre Rosiade mengatakan, pihaknya saat ini sedang menunggu sikap resmi dari petinggi PT Telkom tentang penyelesaian kasus tersebut.

“Kami dengar mereka (PT Telkom) sedang merancang restrukturisasi masalah yang ada. Kita tunggu saja keputusan resmi manajemen Telkom, apakah akan merestrukturisasi atau tidak,” ucap Andre saat dihubungi Law-Justice.co.


Komisaris Utama PT Tiphone Hengky Setiawan yang memiliki gurita bisnis telekomunikasi dan properti (Sumber:Tiphone)

Andre memastikan, Komisi VI DPR RI akan segera memanggil petinggi Telkom untuk meminta penjelasan terkait investasi di Tiphone. Kendati begitu, dia mendorong agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tetap melakukan penyelidikan jika memang ditemukan dugaan tindak pidana korupsi.

“Kami akan coba panggil dan minta penjelasan secara resmi tentang hubungan PT Tiphone dan PT PINS. Kalau memang ada dugaan korupsi, silakan saja KPK melakukan penyelidikan. Silakan diproses saja,” ujarnya.

Anggota Komisi VI DPR RI lainnya dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Amin AK, menambahkan, yang diperlukan saat ini adalah auditor investigatif dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tentang nilai potensi kerugian negara atas transaksi jual beli saham tersebut. Nyatanya, kata dia, sampai saat ini belum ada auditor independen yang mengeluarkan laporan resmi tentang hasil audit tersebut.

“Aparat hukum memang harus turun dan melibatkan auditor yang independen. Harus transparan dan jelas,” ucap dia. Apa yang terjadi antara PT Telkom dan PT Tiphone saat ini, lanjut Amin, menunjukkan adanya ketidakprofesionalan pihak-pihak yang mengambil kebijakan. Yang dikhawatirkan dalam transaksi tersebut adanya itikad tidak baik untuk meraup keuntungan pribadi.

“Kasus-kasus yang seperti ini memang sarat dengan moral hazard. Tidak profesional. Ujung-ujungnya untuk kepentingan pribadi dan kelompok,” ujar dia. Masalahnya saat ini adalah kepemilikan saham 24 persen dari perusahaan negara di dalam perusahaan yang di ambang kebangkrutan. Langkah PT Telkom dalam menyelesaikan masalah tersebut perlu diperjelas demi menghindari kerugian negara, apalagi meloloskan pihak-pihak yang seharusnya bertanggung jawab.

Menurut Amin, kondisi saat ini tidak memungkinkan PT PINS untuk mencabut saham yang ada di Tiphone karena hanya akan membuat kesan melepas tanggung jawab. Yang harus dilakukan oleh kementerian BUMN saat ini adalah mendorong PT Telkom untuk merunut kembali kebijakan yang diambil lebih dari lima tahun yang lalu.

“Inilah pentingnya audit investigatif. Desak person-person untuk bertanggung jawab. Buka semua transaksi satu per satu. Kalau memang ini murni karena risiko bisnis, ya itu urusan lain. Berarti ini kerugian kita bersama. Itulah pentingnya audit dan peran KPK,” jelas dia.

Selain itu, yang tidak kalah penting adalah mengambil langkah-langkah antisipatif yang bisa meminimalisir potensi kerugian negara. Negara juga harus memantau pergerakan obligor lainnya yang saat ini berjuang di ranah Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).

Amin mengatakan, yang paling mengkhawatirkan saat ini justru adalah kondisi PT Tiphone itu sendiri. Triliunan rupiah dari nilai utang yang harus dibayarkan berpotensi meremukkan perusahaan tersebut. Negara harus berpikir 10 kali lipat untuk mengambil langkah strategis demi menyelamatkan uang rakyat dalam bentuk saham di Tiphone.

“Aset yang tersisa di Tiphone ini ada berapa nilainya? Apakah nanti mau dibangkrutkan atau disuntik lagi? Manajemennya dipecat semua dan bertanggung jawab, atau dibangrutkan saja dan kita berbagi rugi. Kami sendiri masih belum bisa menebak ke mana arah dari kelanjutan kasus PT Tiphone ini, sebelum ada audit independen,” pungkas dia.

Terkait dengan kondisi hukum yang mangkrak sampai saat ini, Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Gerindra Wihadi Wiyanto menekankan pentingnya peran aparat penegak hukum, apakah itu KPK atau Kejaksaan Agung.

“Kenapa bisa mangkrak sampai empat tahun di Kejaksaan Agung? Akan lebih baik jika KPK mengambil alih untuk mengusut dugaan korupsi korporasi. Kami akan dorong Kejagung untuk melanjutkan penyelidikan, atau KPK yang ambil alih,” ucap dia.

KPK Akan Berkoordinasi dengan Kejagung
Sementara itu, saat dimintai keterangan tentang perkara yang sedang diselidiki oleh KPK terkait dengan pemeriksaan eks Dirut PT PINS Indonesia Slamet Riyadi awal bulan lalu, Pimpinan KPK Alexander Marwata enggan menjelaskan secara detail tentang kasus apa yang sedang mereka dalami. Namun dia memastikan bahwa lembaga anti rasuah itu akan berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung dalam waktu dekat.

“Kami akan koordinasi dengan kejaksaan, perkara itu sudah ditangani sampai sejauh mana. Penyelidikannya sampai mana, kami akan melakukan supervisi,” kata Alex saat ditemui di gedung KPK.


Direksi PT Telkom Indonesia Edi Witjara diduga mengetahui proses pembelian saham Tiphone Mobile oleh anak perusahaan Telkom, PT PINS (BUMNTrack)

Hal itu semakin menguatkan indikasi bahwa KPK memang tengah menyasar kongkalikong dari proses investasi saham PT PINS di PT Tiphone. Terlebih lagi, Alex juga sempat menyinggung tentang terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 102 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Supervisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang baru saja diteken oleh Presiden Joko Widodo. Perpres itu pada intinya memungkinkan KPK untuk mengambil alih kasus yang dianggap mangkrak di Kejaksaan atau Kepolisian.

“Apalagi sekarang Perpresnya sudah jadi. KPK akan berkoordinasi dengan aparat penegak hukum lainnya kalau misalnya ada hambatan. Mungkin akan ada gelar perkara. Kita lihat dulu nanti sejauh mana perkata itu sudah ditangani oleh aparat penegak hukum yang lainnya,” imbuh dia.

Menanggapi soal masalah PKPU dan hukum ini manajemen PT Tiphone Mobile Indonesia bungkam. Pertanyaan yang diajukan melalui Presiden Komisaris Tiphone Mobile Hengky Setiawan tidak dijawab. Corporate Secretary Tiphone Sumuel Setiawan juga tidak merespon pertanyaan yang diajukan oleh Law-Justice.co

Triliunan Investasi Telkom Menguap
Menilik persoalan investasi anak perusahaan Telkom, PT PINS dengan PT Tiphone Mobile Indonesia yang diduga menyebabkan kerugian negara. Nampaknya PT Telkom sebagai induk perusahaan telekomunikasi tidak jera untuk melakukan investasi jor-joran di berbagai lini perusahaan.

Dalam beberapa tahun terakhir saja, investasi Telkom melalui anak perusahaannya dibilang jeblok. Beberapa perusahaan hasil investasi dinyatakan gulung tikar alias ditutup dengan alasan merugi. Beberapa perusahaan itu antara lain Telkom Vision, yang menjual produk tv digital berlangganan.

Adalagi platform ecommerce yang diberi nama BLANJA.com, sebuah produk investasi kerjasama antara PT Telkom dengan e-Bay. Blanja.com resmi tutup atau menghentikan operasi pada 1 September 2020. Bisnis ini menyebabkan kerugian keuangan Telkom hingga Rp1,287 triliun.

Sekarang, PT Telkom melalui anak perusahaannya PT PINS harus memutar otak agar bisa mengembalikan utang obligasi dan perbankan yang bernilai lebih dari Rp 1 triliun yang dikucurkan ke PT Tiphone Mobile Indonesia.

Alih-alih, adanya rencana penyuntikan dana kembali untuk memperkuat posisi dinilai tidak tepat dan hanya menambah beban keuangan PT Telkom sebagai induk perusahaan.


PT Telkom akan menutup sekitar 20 anak usahanya untuk efisiensi di tahun 2020-2021 (Foto:Romy/Law-Justice.co)

Menanggapi adanya rencana korporasi Telkom untuk menyuntikkan modal kembali dinilai Pengamat Ekonomi dari Center of Energy and Resources Indonesia Yusri Usman sebagai kesalahan. Kata dia, PT Telkom sebagai induk perusahaan seharusnya tidak menyuntikkan dana kembali walau pun dengan dalih untuk menyehatkan perusahaan.

"Perusahaan induknya siapa ? Telkom donk, itu apa tidak nanti bisa lebih parah lagi, ibarat menggarami laut," ungkapnya saat dihubungi Law-Justice.co. Penutupan bisnis atau badan usaha anak perusahaan PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk atau Telkom nampaknya akan gencar.

Direktur Utama PT Telkom Ririek Adriansyah mengakui akan menutup 20 anak usaha. Keputusan tersebut dilakukan sebagian bagian dari rencana perampingan usaha untuk memperkuat digitalisasi. Ririek Adriansyah mengatakan, proses perampingan tersebut akan dilakukan hingga 2021.

“Tahun 2020-2021 akan kita kurangi 20 anak perusahaan. Diharapkan bisa lebih baik ke depan dan lebih fokus ke arah digital,” kata Ririek saat video conference, awal April lalu.

Ririek bilang, perampingan itu selaras dengan kebijakan Kementerian BUMN yang gencar mendorong BUMN untuk efisien. Dia juga menyebut, Telkom saat ini memiliki 49 anak dan cucu usaha.

Menanggapi persoalan yang mendera anak perusahaanya PT Pins dan Tiphone Mobile Indonesia, Direksi dan manajemen PT Telkom Indonesia belum memberikan komentar. Law-Justice sudah berusaha meminta keterangan dari direksi dan manajemen PT Telkom Indonesia baik melalui komunikasi handphone maupun bersurat sampai laporan ini diturunkan belum ada jawaban dari permohonan wawancara yang diajukan.

Riwayat PT PINS
PINS berdiri sejak tanggal 17 Oktober 1995 dengan nama PT. Pramindo Ikat Nusantara. Pada awalnya fokus bisnis Perseroan adalah untuk menyelenggarakan Kerja Sama Operasi (KSO) telekomunikasi di wilayah Sumatera, sebagai Mitra KSO Divisi Regional I Sumatera. (ada 5 mitra KSO semuanya yang diserahkan ke pihak swasta dari 7 regional Telkom)

Pramindo ini dulu merupakan konsorsium degan pihak Asing French Telecom melalui Anak perusahaan France cable et Radio menghuasai 40% saham, Indosat 12 % dan Marubeni Corp jepang 8 % dan berpa persuahaan kecil lainnya

Karena krisis ekonomi sehingga akhirnya kerja sama harus diakhiri 1997. Mitra KSO tidak mau menambah investasi karena tingginya dolar. Sebagai Mitra KSO dan penguasa jaringan Telekomunkasi di Sumatra membangun kembali jaringan telepon termasuk sentral telepon. Semua Investasi harus melalui Pramindo yang memutuskan sampai pegawai Telkom yang akan melakukan Perjalan dinas juga pengajuannya melalui PT Pramindo Ikat Nusantara sebagai pemegang dana operasional

Semua pembagunan dilakukan Mitra dan operasional dan maintancenya diserahkah ke masing masing Regional Telkom. Mitra KSO mendapat pembayaran dari Sharing Revenue pola awalnya 30:70 , Telkom 30% . dan sampai masa kontrak 10 sd15 tahun akan di kembali assetnya ke Telkom . terakhir mendengar polanya berubah 10:90 karena Investor merasa kurang profit diajukan .

Pembagunan jaringan pada waktu itu sangat massive dan jaringan teknologi wireless juga digunakan untuk mempercepat pembagunan sampai pelosok daerah di Sumatera . karena kalau mengandalkan jaringan wireline /kabel biasa memakan waktu lebih lama dan biaya lebih besar. Mitra kerjanya Pramindo Ikat Nusantara adalah Lucent Technologies dan Marubeni Jepang.

Tapi setelah berakhir karena krisis dan mengaharuskan Telkom melakukan buyout. Karena, Mitra KSO tidak melakukan pembangunan lagi dengan alasan biaya yang mahal karena menggunakan dollar. Awal kontrak kerjasama operasi (KSO) resmi ditandangani. Sejak saat itu, TELKOM harus merelakan lima divisi regionalnya dari tujuh divre yang ada diserahkan kepada swasta.

Pemeriksaan bekas Direktur PT Pins Indonesia Slamet Riyadi oleh KPK beberapa waktu lalu (Foto:VOI/Indra)

Tujuan awal akan adanya alih transfer teknologi dan alih management professional tapi tidak semuanya terjadi malah berakhir dengan tidak harmonis. Ada sebutan mitra KSO adalah kontraktor kaki lima karena bermodalkan dengkul. Awalnya, memang berjalan mulus, bahkan pemerintah sebagai regulator begitu yakin kerjasama ini akan berhasil dengan gemilang. Tak hanya itu. Kerjasama seperti ini, katanya, merupakan gebrakan baru di negara dunia ketiga.

Ada 5 mitra KSO :
1. PT Pramindo Ikat Nusantara mitra KSO Divisi Regional I Sumatera senilai US$ 425 juta
2. PT Dayamitra Telekomunikasi mitra KSO Telkom di Kalimantan seharga US$ 121,93
3. PT. Mitra Global Telekomunikasi Indonesia , mitra kerjasamanya di divisi regional IV Jawa Tengah .
4. PT AriaWest International (AWI). mitra KSO-nya di Divisi Regional III Jawa Barat dan Banten.
5. Terakhir adalah BSI (Bukaka SingTel International) Divre VII di Indonesia timur.

Pada tahun 2002, saham Perseroan seluruhnya diambil alih oleh PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk (TELKOM), sebuah perusahaan telekomunikasi terbesar di Indonesia. Perubahan nama perusahaan dari PT. Pramindo Ikat Nusantara menjadi PT. PINS INDONESIA ini dikukuhkan tanggal 20 Desember 2012. Pada tahun 2014 PT Telekomunikasi Indonesia melalui PINS menuntaskan akuisisi 25% saham PT Tiphone Mobile Indonesia Tbk (TELE)

Gurita Bisnis Tiphone
Gagal bayar obligasi PT Tiphone Mobile Indonesia bisa mengancam keberadaan perusahaan yang awalnya berbisnis jual voucher dan ponsel itu. Setelah belasan tahun, perusahaan menjadi menggurita dengan nilai triliunan rupiah. Ada beberapa pengembangan lini bisnis yang dikuasai oleh Tiphone Mobile dan jaringannya. Mulai dari bisnis penjualan ponsel, voucher, hingga mendirikan pabrik ponsel Blackberry dan juga properti.

Pada periode 2015-2017,perusahaan ini mendapatkan linsensi produksi ponsel Blackberry di Indonesia. Perusahaan pertama yang kebagian lisensi tersebut berasal dari Indonesia, yakni Tiphone Mobile Indonesia Tbk, yang mana merupakan afiliasi dari PT Telekomunikasi Indonesia.

Anak perusahaan PT Tiphone Mobile Indonesia

Bersama BlackBerry, Tiphone membuat sebuah perusahaan joint venture yang dinamakan PT BB Merah Putih. Nantinya, BB Merah Putih yang akan bertanggung jawab untuk memproduksi dan juga memasarkan produk dengan label "BlackBerry" di Indonesia. Ponsel-ponsel itu dirakit di Cikarang, Jawa Barat. Penunjukan Tiphone diyakini juga akan memuluskan langkah BlackBerry untuk memasarkan produk barunya di Indonesia. Dengan ini, BlackBerry bisa memenuhi syarat tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) ponsel 4G.

PT Tiphone Mobile Tbk (TELE) menganggarkan dana sebesar US$ 50 juta untuk membangun pabrik ponsel miliknya bersama dengan Arisma Communications yang merupakan pabrikan ponsel asal Taiwan. Direktur Utama Tiphone Mobile Tan Lie Pin mengatakan pembangunan pabrik ponsel tersebut dilakukan perseroan dengan mendirikan perusahaan patungan (joint venture/JV) bersama Arisma melalui anak usahanya, PT Exel Utama Indonesia.

Tahap awal pembangunan pabrik ponsel seluas 7.000 meter persegi ini akan memiliki enam line dan akan menghabiskan dana hingga mencapai sebesar US$ 5-6,5 juta.

Di bidang properti, Hengky Setiawan juga turut mendirikan PT Setia Utama Towerindo dan PT Setia Utama Property. Kedua perusahaan ini memiliki afiliasi dengan direksi dan komisaris PT Tiphone Mobile Indonesia.

Laporan keuangan piutang PT Tiphone Mobile dengan anak perusahaan di bidang properti

Dalam laporan keuangan PT Tiphone pada Q1 2019, PT Setia Utama Towerindo dan PT Setia Utama Property berstatus piutang dengan nilai puluhan miliar rupiah. Kedua perusahaan ini hanya memiliki share aset 0.62% lebih tinggi dibandingkan 2018.

Kasus yang sedang digarap oleh KPK diharapkan bisa menjadi titik terang dan memberantas mafia dalam bidang bisnis telekomunikasi.

Kontribusi Laporan : Januardi Husin, Wem Fernandez, Muhammad Rio Alfin

 

(Tim Liputan Investigasi\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar