Andri Jimmy Ranti

Sepanjang Hidup Bergumul dengan Jenazah

Sabtu, 07/11/2020 10:30 WIB
Andri Jimmy Ranti (Foto: Robinsar Nainggolan)

Andri Jimmy Ranti (Foto: Robinsar Nainggolan)

law-justice.co - Tiga karyawan hilir mudik memindahkan lembaran papan olahan kayu atau Medium Density Fiber (MDF) di area gudang dengan luas sekitar 5.000 M persegi, Senin (2/11/2020). Material yang bertumpuk itu berhimpitan dengan kantor PT Funisia Perkasa (Hakari Furniture) dan PT Talenta Abadi (Eternity Funeral Services). Di halaman kantor tampak seorang pria berseragam putih biru dan bercelana hitam keluar tergesa-gesa dari ruangan kantor Hakari Furniture.

Andri Jimmy Ranti, pimpinan Eternity Funeral Services itu melebarkan kerut pipinya dari balik masker menyambut kedatangan Law-Justice.co di area pabrik mebel seluas tiga hektare milik Lie A Mien, pemilik perusahaan furnitur di kelurahan Jurumudi Baru, Kecamatan Benda, Kota Tangerang.

Pria 47 tahun itu kini tengah jadi sorotan karena menekuni usaha kargo jenazah yang dia lakoni. Dengan nada bicara yang blak-blakan, disertai sedikit kelakar, Jimmy bercerita soal profesinya yang dinilai masih baru di Indonesia.

"Saya jualan peti jenazah, dari Medan sampai Papua," katanya kepada Law-Justice.

Jimmy mengaku jasa pelayanan kedukaan yang ia geluti sudah menyentuh semua pulau di Indonesia. Selain pengadaan peti mati, perusahaan yang ia pimpin juga melayani jasa pemulasaran jenazah. Dua bidang itu ia jadikan satu paket bagi pelanggan yang menginginkan pelayanan komplit mulai dari memandikan sampai memakamkan jenazah.

Mengurus hajat kematian orang sebenarnya bukan hal yang baru bagi pria berdarah Gorontalo-Tionghoa ini. Dalam rentang tahun 2000 hingga 2009, Jimmy menuturkan, ia pernah menekuni bisnis dengan menjual tanah pemakaman di San Diego Hills dan Taman Kenangan Lestari, keduanya terletak di kawasan Karawang, Jawa Barat. Jimmy juga pernah menjabat sebagai Direktur Golden Gate Funeral Services, perusahaan yang bergerak di bidang kargo jenazah. Mengarungi arus dunia bisnis kematian selama puluhan tahun, sempat membuat bapak satu orang anak ini merasakan titik jenuh.

"Saya sudah capek ngurusin mayat, 24 jam kerjaannya. Saya lagi tidur tiba-tiba datang telepon orang minta bantuan. Saya bilang, nanti Pak, orangnya lagi tidur," ujarnya sedikit bercanda.

Merasa `diteror` setiap malam, Jimmy mencoba mengevaluasi pekerjaannya. Kala ia menjadi agen pemakaman di San Diego Hills dengan status pegawai kontrak, ia berkeinginan untuk berhenti dan mencari pekerjaan yang lebih menjanjikan demi menghidupi keluarganya. Namun siapa sangka, Jimmy justru terus mendapati rezeki mengalir deras dari pekerjaannya itu.

Ia mengaku pernah ketiban durian jatuh ratusan juta rupiah hanya dengan mengantarkan mayat satu kali trip. Selang beberapa lama menjalani agen pemakaman, Jimmy mencoba bertafakur dan menemukan keunikan dalam profesinya tersebut.

"Kalau Tuhan menghendaki saya (bekerja) di sini lagi, ngurusin mayat di San Diego Hills, ini aneh," ujarnya. "Kalau Tuhan izinkan saya memang di situ, oke, saya start bulan Februari 2007," imbuhnya.

Bekerja melayani jenazah orang lain menurut Jimmy adalah panggilan kemanusiaan. Bersama adik laki-lakinya, Frans Henrik (45), mereka berdua bahu-membahu mendirikan Eternity Funeral Services, sebuah jasa layanan kedukaan pada Juli 2019 lalu. Jimmy dan Frans berkolaborasi dengan Lie A Mien, rekannya yang juga pemilik Hakari Furniture untuk memproduksi peti mati berkualitas tinggi. Sementara untuk jasa event organizer (EO) atau layanan kedukaan, hal itu serahkan sepenuhnya oleh Jimmy bersama adiknya di bawah bendera Eternity Funeral Services.

"Visi saya jelas, karena saya membantu menyelesaikan pekerjaan Tuhan. Tuhan ambil nyawanya (manusia), saya yang ngurusin mayatnya," ujar Jimmy.

Karena pekerjaanya ini demi kemanusiaan, paradigma yang Jimmy gunakan tak lagi memandang identitas sosial. Meski beragama kristen, sudah tak terhitung berapa kali dia mengurusi jenazah muslim. Setiap prosesi kematian dari semua agama di Indonesia sudah dia bantu pengurusan jenazahnya, dan tak sedikitpun Jimmy merasa terganggu menjalani kegiatan tersebut.

Beragam suka duka menjalani profesi pelayanan kedukaan memang pernah membuat Jimmy hampir menyerah. Namun demikian, profesinya terus ia jalani karena ia memandang pekerjaan ini jarang diambil orang. Bisa dibilang Jimmy dan Frans adalah orang yang mempopulerkan pekerjaan jenis ini di Indonesia. Tuntutan pekerjaannya memang penuh risiko. Tapi Jimmy yakin banyak keberkahan yang bisa dipetik dari pekerjaan memuliakan jenazah manusia.

Membagi waktu antara pekerjaan dengan urusan keluarga menurutnya sulit dilakukan. Urusan kematian orang lain telah membaur di setiap waktu hidupnya meski tengah berkumpul dengan sanak famili.

"Pernah saya lagi makan bareng dengan istri dan mertua saya di luar, begitu datang telepon meminta pengurusan jenazah, saya pergi. Sementara istri dan mertua saya akhirnya pulang berdua naik taksi," ungkap Jimmy menceritakan.

Kendati berat melepaskan waktu bersama keluarga serta jam istirahat yang kerap tersita, Jimmy mengungkapkan hal itu sesuai dengan finansial yang ia peroleh. Ibarat pohon kelapa yang semua unsurnya bisa dimanfaatkan, seperti itulah pekerjaan melayani kedukaan. Mulai dari pemulasaran mayat, pengadaan peti, penyediaan tanah makam, kargo jenazah, bahkan EO atau kebutuhan upacara kematian semua itu ada hasil finansial bagi pekerjaan Jimmy.

Berhasil secara finansial, tentu tak membuat Jimmy berbesar hati memposisikan jasanya itu menjadi eksklusif hanya untuk orang-orang menangah ke atas. Selama ini memang banyak dari kalangan pejabat hingga konglomerat yang mengandalkan jasa Jimmy bersama timnya. Tapi, Jimmy berujar bahwa jasanya itu tak jarang juga melayani masyarakat menengah ke bawah, misalnya untuk orang yang tak memiliki uang sepeserpun untuk mengurus jenazah keluarganya.

"Kadang saya malah mengeluarkan uang, kalau saya mau membantu," katanya.

Buah dari kerelaan memberi itu menurutnya berdampak pada penghasilan perusahaan. Sesudah itu, kata Jimmy, ia sering kebanjiran pelanggan.

Kendati begitu, Jimmy mendorong siapapun agar tetap berusaha memberikan yang terbaik bagi keluarga yang meninggal dan menginginkan pelayanan jenazah. Dalam pandangan Jimmy, sanak keluarga yang meninggal harus diurus dengan layak oleh keluarganya. Sebab, cara memuliakan orang mati adalah dengan memberi perhatian besar terhadap proses penanganan dan pemberian tempat peristirahatan terakhir.

"Sesusah-susahnya orang pasti dia bisa membayar. Berapa yang dia punya pasti akan saya terima," kata Jimmy.

"Ini bukan soal bisnis, saya enggak mau pahalanya ke saya semua. Maka saya mendorong mereka untuk mengeluarkan rezeki mereka untuk mengurus keluarganya," ucapnya menambahkan.

Prinsip memuliakan jenazah dalam keyakinan orang Tionghoa sangat lah sakral. Hal ini ditegaskan juga oleh rekan Jimmy, Lie A Mien. A Mien yang sudah mmalang melintang dalam dunia furnitur mendedikasikan usahanya untuk memberi peti peristirahatan yang terbaik bagi jenazah.

"Ada orang bilang untung itu karena banyak uang, kalau buat saya kerja sama dengan Pak Jimmy selain memang ada dari sisi bisnis, tapi buat saya adalah yang kedua, yaitu kepuasan batin," kata A Mien.

Niat mulia A Mien ikut melakoni jasa kematian berawal dari kasus keluarganya yang meninggal karena terjangkit COVID-19. Maret lalu, adik iparnya meninggal akibat paparan virus Wuhan itu. Sementara itu, ia sedih karena pihak rumah sakit hanya bisa menyediakan peti mati berkualitas rendah. Dua pekan berselang, besan A Mien juga meninggal dengan alasan yang sama, bahkan memperoleh peti mati yang lebih buruk.

"Kami sekeluarga sedih. Mereka terkena musibah Covid-19, masak iya peti yang digunakan pun dari pinggir jalan hasil kayu sisa. Itu tidak manusiawi,” katanya.

Mengaku sedih karena hal tersebut, A Mien pun bersepakat dengan Jimmy untuk menghasilkan peti mati berkualitas tinggi. Peti di pabrik furnitur milik A Mien dibuat menggunakan bahan dasar Medium Density Fiber atau MDF sehingga menghasilkan peti yang ringan namun kokoh. Peti yang dijual A Mien juga dilengkapi dengan kain rajut dan bantal. Selain itu, pihaknya juga menyediakan peti kayu dengan ukiran untuk pesanan tertentu.

"Kami membuat sesuai kecenderungan adat setiap daerah," katanya.

A Mien mengaku harga peti yang mereka tawarkan relatif lebih murah dibanding di tempat lain. Mereka menjual dengan harga mulai dari Rp400 ribu sampai Rp900 ribu.

Omzet yang dihasilkan cukup menjanjikan. Menurut A Mien, sebulan ia bersama Jimmy bisa meraup keuntungan miliaran rupiah. Terlebih di musim pandemi, orderan peti mati meningkat. Eternity Funeral Services dan Hakari Furnitur bisa memproduksi peti mati dari 50 hingga 100 unit per hari. Hal itu belum termasuk kargo yang disediakan perusahaan Jimmy. Jimmy mengatakan pengiriman peti maupun jenazah yang melayani dua jenis kargo, yakni pengiriman sampai area bandara dan pengiriman jenazah hingga ke pemakaman.

Di musim pandemi, jasa kedukaan atau EO yang ia sediakan memang mengalami penurunan permintaan karena peraturan pemerintah yang melarang terjadinya kerumunan massa. Namun Jimmy masih bisa mengandalkan usaha produksi peti dan layanan kargo. Jaringannya tersebar ke penjuru negeri dan usahanya kini sudah banyak dikenal orang-orang besar.

Bersama adiknya, Frans, Jimmy bertekad akan menjalani profesi tersebut sampai akhir hidup. Mereka tak khawatir pekerjaan tersebut akan hilang atau terancam bangkrut, karena Jimmy meyakini jenis pekerjaan yang ia jalani akan tetap dibutuhkan masyarakat sampai kapanpun.

"Kapan saya bakal pensiun? Jawabannya kalau saya sudah dipanggil Tuhan."

(Muhammad Rio Alfin\Januardi Husin)

Share:




Berita Terkait

Komentar