Kompensasi Bengkak, 2021 Tarif listrik Non-Subsidi Bakal Naik?

Rabu, 04/11/2020 12:00 WIB
Tarif Listrik Non-Subsidi Bakal Naik 2021

Tarif Listrik Non-Subsidi Bakal Naik 2021

Jakarta, law-justice.co - Pemerintah kembali membahas penyesuaian tarif listrik (tariff adjustment) untuk kuartal I-2021. Pasalnya, sejak 2017, penyesuaian tarif listrik bagi golongan non-subsidi urung dilakukan dengan dalih menjaga daya beli masyarakat dan daya saing industri.

Dilansir dari Kontan, Direktur Pembinaan Pengusahaan Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Hendra Iswahyudi menjelaskan, keputusan mengenai penyesuaian tarif listrik akan ditetapkan paling lambat pada akhir bulan November ini.

Jika tariff adjustment diterapkan, maka tarif listrik bisa naik, atau juga bisa turun. Tergantung dari pergerakan sejumlah parameter yang sifatnya tidak dapat dikontrol oleh pemerintah maupun PT PLN (Persero).

Parameter yang dimaksud adalah kurs, inflasi, harga minyak mentah Indonesia (ICP) dan harga batubara. "Pak Menteri (ESDM) menetapkan paling lambat akhir November, setelah PLN mengajukan usulan, itu harus diputuskan. Murni ditetapkan tariff adjustment di 2021, atau masih ditahan," kata Hendra dalam webinar yang digelar Selasa (3/11/2020) kemarin.


Jika pemerintah masih menahan tarif dan tidak melakukan penyesuaian, maka konsekuensinya pemerintah harus menanggung kompensasi yang harus dibayarkan kepada PLN. Selain menjadi beban pemerintah, kompensasi ini juga menekan arus keuangan PLN lantaran mekanisme penganggaran dan pembayaran dari pemerintah tidak secara langsung diberikan.

"Bagaimana di Undang-undang BUMN, apabila ada penugasan pemerintah yang tidak feasible, maka kewajiban pemerintah memberikan kompensasi. Ini pun perlu kita diskusikan lebih lanjut dengan Kementerian Keuangan," sambung Hendra.

Dia menambahkan, sejak 2017 pemerintah melakukan transformasi subsidi listrik untuk mengurangi beban subsidi pada APBN. Namun, sejak tahun 2017 pula pemerintah menahan penyesuaian tariff bagi 13 golongan pelanggan non-subsidi, dengan alasan menjaga daya beli masyarakat serta daya saing industri dan bisnis.

Akibatnya, subsidi memang menurun. Namun, timbul beban baru berupa kompensasi. Sehingga dengan tidak diberlakukannya penyesuaian tarif, beban bagi negara masih tidak jauh berbeda. "Kelihatannya turun (subsidi listrik), tapi hampir balik lagi ke kondisi 2013-2015, karena hanya nomenklaturnya saja berbeda. Subsidi, ini kompensasi, ujungnya hampir sama," sebut Hendra.

Dia memberikan gambaran, beban kompensasi listrik pada tahun ini diperkirakan mencapai Rp 17,94 triliun. Tahun depan, berpotensi terjadi pembengkakan kompensasi hingga menjadi Rp 27,70 triliun.

Padahal, prinsip dari penyesuaian tarif bagi golongan pelanggan non-subsidi ini adalah keadilan, yang mana harga menyesuaikan parameter-parameter kunci berupa kurs, ICP, inflasi dan harga batubara yang tidak bisa dikontrol.

"Kalau pun memang kondisi makro ekonomi, atau parameter yang tidak dapat dikontrol PLN itu turun ya harus turun, kalau naik harus naik. Kita ingin memberikan pembelejaran. Sebagai contoh Triwulan IV tahun ini, karena parameternya turun, ya tarif turun" terang Hendra.

Dia memaparkan, dalam kurun waktu 2017-2019, total kompensasi yang harus dibayarkan pemerintah mencapai sekitar Rp 55 triliun. "Kalau kita melhat subsidi listrik dan kompensasi, kalau di total sudah mencapai sekitar Rp 200,5 triliun," sambung dia.

Ubaidi menjelaskan, kebijakan subsidi tepat sasaran juga akan dilanjutkan dengan pemadanan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) pada golongan pelanggan subsidi 450 VA. Jika dipadukan dengan pemberlakuan tariff adjustment, maka potensi penghematan anggaran negara bisa mencapai Rp 18,01 triliun.

Meski begitu, penerapan tariff adjustment diperkirakan menimbulkan dampak inflasi dengan potensi 0,138%. "Apabila kemudian tariff adjustment tidak diterapkan, maka implikasinya memang pada peningkatan pemberian kompensasi, membebani fiskal," pungkas Ubaidi.

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar