Sri Mulyani Curhat Utang Warisan Masa Penjajahan, Legislator PKS Singgung Beban Utang Raksasa Hari Ini

Selasa, 03/11/2020 14:26 WIB
Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani. (Foto: istimewa)

Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani. (Foto: istimewa)

law-justice.co - Anggota Komisi Keuangan (Komisi XI DPR), Anis Byarwati, menyoroti pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani soal warisan utang di masa penjajahan Belanda yang dinilai membebani keuangan negara pasca kemerdekaan. Menurut Anis hal itu terlalu mengada-ada untuk disingung di masa ekonomi Indonesia yang saat ini tengah terpuruk akibat pagebluk.

"Mengaitkan utang Indonesia di masa sekarang dengan utang warisan itu, saya kira tidak relevan,” kata Anis dalam keterangan tertulis yang diterima law-justice, Selasa, 3 November 2020.

Pernyataan Sri Mulyani soal utang warisan belakangan menjadi sorotan publik. Dalam pidatonya pada Pembukaan Ekspo Profesi Keuangan, Senin (12/10) lalu, Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini menyebut ekonomi Indonesia rusak gara-gara penjajahan. Terbaru, hal yang senada ia sampaikan dalam upacara peringatan Hari Oeang Republik Indonesia (HORI) ke-74 secara virtual pada Sabtu (31/10).

Awalnya Sri Mulyani berkisah ada warisan utang dari masa penjajahan Belanda sebesar US$1,13 miliar atau setara Rp19,14 triliun dengan kurs saat ini. Utang tersebut menjadi syarat agar Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia. Menurut Sri Mulyani, catatan itu menunjukkan Belanda tidak hanya mewariskan perekonomian yang rusak, melainkan juga beban utang kepada Indonesia.

Publik lantas bertanya-tanya apakah utang yang ada pada masa itu berimbas di masa sekarang. Sebagian beranggapan hal itu memang mempengaruhi ekonomi hari ini. Namun, Staf Khusus Sri Mulyani, Yustinus Prastowo, buru-buru mengklarifikasi bahwa ucapan Sri Mulyani itu mengarah pada keadaan historis awal kemerdekaan RI yang dinilai sangat berat akibat utang warisan.

Menurut Anis, apa yang disampaikan Sri Mulyani mengenai utang warisan itu memang merupakan fakta sejarah. “Namun dari sejarah juga, kita mengetahui bahwa Presiden Soekarno memutuskan untuk mengabaikan pembayaran utang warisan Belanda tersebut pada tahun 1956, dan saat itu Indonesia sudah melunasi sebagian utang tersebut hingga 82 persen,” ungkapnya.

Politikus Partai Keadilan Sejahtera ini lantas mengingatkan, dari masa ke masa, pemerintahan Indonesia memang tak pernah lepas dari beban utang. “Yang harus kita lihat, utang itu dialokasikan untuk apa saja, dan seberapa besar dirasakan manfaatnya untuk kesejahteraan rakyat,” ujar Anis.

Anis mengutip data APBN edisi Agustus 2020. Ia menuturkan, realisasi pembiayaan utang Indonesia hingga Juli telah mencapai Rp519,22 triliun. Realisasinya terdiri dari penyerapan Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp513,4 triliun, utang luar negeri (ULN) Rp5,17 triliun, dan pinjaman dalam negeri Rp634,9 miliar.

"Angka dalam separuh tahun (Januari-Juli) ini telah melebihi total utang selama tiga tahun sebelumnya,” katanya.

Ia melanjutkan, dengan realisasi tersebut posisi utang Indonesia per Juli 2020 telah menyentuh Rp5.434,86 triliun. Utang tersebut terdiri dari SBN Rp4.596,6 triliun, pinjaman Rp10,53 triliun, dan ULN Rp828,07 triliun. Rasio utang terhadap PDB telah naik menjadi 34,53 persen dari sebelumnya 33,63 persen pada Juli 2020.

Untuk tahun ini, kata Anis, bunga utang Indonesia telah mencapai Rp338,8 triliun atau setara 17 persen dari APBN 2020. “Angka ini telah melewati batas aman yang direkomendasikan IMF, yakni 10 persen,” ujarnya.

Anis mengimbuhkan, masalah tambahan atas utang tersebut adalah ketika risiko yang besar ini diambil untuk sesuatu yang hasilnya belum terlihat efektif. Upaya meredam dampak COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang menjadi dalih pemerintah berutang, misalnya, menurut Anis masih belum menunjukkan hasil yang maksimal.

Selain itu, lanjut Anis, data juga menunjukkan bahwa penambahan utang Indonesia secara statistik dalam kurun waktu 2014 sampai dengan 2020 (outlook) telah mencapai Rp3.390,72 triliun atau meningkat 129,97 persen hanya dalam waktu enam tahun, yakni 2014 sebesar Rp2.608,78 triliun serta Rp5.999,50 triliun pada outlook 2020.

“Data-data ini menunjukkan bahwa sejak terjadinya krisis pada tahun 1997-1998, periode pemerintahan sekarang ini memegang rekor dengan penambahan utang terbanyak,” pungkasnya.

(Muhammad Rio Alfin\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar