Kritik Klaim Pemerintah Kasus Covid Turun, Epidemiolog: Testing Rendah

Selasa, 03/11/2020 07:17 WIB
Ilustrasi Penanganan Corona. (CNNIndonesia)

Ilustrasi Penanganan Corona. (CNNIndonesia)

Jakarta, law-justice.co - Pola testing rendah yang dilakukan pemerintah saat mengklaim angka penularan kasus covid-19 menurun dikritisi Epidemiolog Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), Tri Yunis Miko.

Menurut Miko, penurunan kasus selama periode libur panjang dikarenakan ada pengurangan pemeriksaan spesimen, sehingga penemuan kasus positif juga berkurang.

"Spesimen yang diperiksa sedikit, jadi kita tidak bisa lihat apakah trennya menurun atau tidak, kalau lihat ketika [libur panjang] ya jelas turun karena pemeriksaannya sedikit," kata Miko seperti melansir cnnindonesia, Senin 2 November 2020.

Selain itu, ia menjelaskan, untuk mengetahui apakah ada tren penurunan, perlu dilihat pada angka positivity rate harian. Sementara pada periode libur panjang ini, data Satgas Covid-19 mencatat positivity rate harian masih sebesar 14,3 persen.

Senada, Epidemiolog Masdalina Pane mengatakan jumlah pengetesan selama periode libur panjang akan turun karena beberapa laboratorium atau fasilitas layanan kesehatan (fasyankes) tidak melakukan pemeriksaan.

Sehingga tidak mungkin melihat tren penurunan selama seminggu terakhir, karena jumlah pemeriksaan spesimen tidak maksimal.

"Enggak ada tren penurunan kasus, kalau di lihat grafik bahkan di WHO tiap weekend pasti turun sedikit dan naik lagi di Selasa, artinya tidak bisa dilihat penurunan," kata Masdalina.

"Memang lab tidak libur tapi fasyankes yang melakukan pemeriksaan lab sebagian besar libur, misal puskesmas atau rumah sakit," imbuhnya.

Berdasarkan laman https://covid19.go.id/peta-sebaran, grafik tambahan harian kasus terlihat menurun selama periode libur panjang dan cuti bersama 28 Oktober-1 November.

Rinciannya, 28 Oktober, penambahan kasus positif berada di angka 4.029, kemudian turun 3.565 pada 29 Oktober, 2.897 pada 30 Oktober, 3.143 pada 31 Oktober, dan terus menurun hingga hanya ditemukan 2.696 kasus pada 1 November.

Namun selama periode itu pula, jumlah pengetesan orang dan pemeriksaan spesimen ikut menurun.

Pada 28 Oktober, jumlah orang yang di testing sebanyak 27.344, dan pemeriksaan spesimen yaitu 40.572. Angka itu terus menurun setelahnya, pada 29 Oktober, jumlah orang yang di tes 25.393, dan pemeriksaan spesimen 34.317.

Selanjutnya, pada 30 Oktober jumlah orang yang testing kembali menurun hingga 23.278, dan jumlah testing spesimen 24.854. Pada 31 Oktober, jumlah orang yang dites menunjukkan peningkatan sebanyak 27.459, dan pemeriksaan spesimen menjadi 29.001.

Meski testing sempat naik, angka itu juga kembali turun pada 1 November, jumlah orang yang testing hanya 17.971, dan jumlah testing spesimen 23.208. Per hari ini (2/11), jumlah spesimen yang diperiksa sebanyak 26.661.

Merespons data ini, Sesditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kemenkes, Budi Hidayat mengatakan, ada tren penurunan kasus covid-19 selama sepekan terakhir. Menurutnya kondisi ini bukan disebabkan oleh laboratorium yang tutup, melainkan suspek Covid-19 makin sedikit.

"Memang sampelnya (spesimen) juga menurun, angkanya ikut turun, kayaknya memang trennya sudah mulai bagus. Jadi semuanya berkaitan, kalau suspek turun, spesimen juga turun, pemeriksaan menurun, otomatis juga kasus turun," ujarnya.

Beberapa waktu sebelumnya, Ketua Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Doni Monardo menampik tudingan bahwa kemampuan testing atau pemeriksaan Virus Corona di Indonesia sangat rendah. Hal tersebut disampaikan Doni merespons tudingan Ketua Presidium Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Gatot Nurmantyo.

"Apa yang tadi disampaikan Pak Gatot tentang testing yang menurut beliau termasuk yang terendah di dunia, menurut saya keliru. Kenapa demikian? Karena angka testing kita telah berada di atas 82 persen," ungkapnya melalui acara televisi, Selasa (21/10).

Sementara itu, Duta Adaptasi Kebiasaan Baru, Reisa Broto Asmoro mengatakan pada kondisi dengan keterbatasan kapasitas pemeriksaan, seperti PCR atau test dengan sampel swab, rapid test dapat digunakan untuk penapisan atau skrining.

Tes cepat ini juga dapat digunakan pada populasi tertentu yang dianggap berisiko tinggi atau pada pelaku perjalanan. Rapid test juga untuk menguatkan pelacakan kontak erat dan pada kelompok kelompok rentan risiko.

Sementara Badan Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan penggunaan rapid tes hanya untuk tujuan penelitian epidemiologi, atau penelitian lainnya yang berhubungan dengan pencegahan dan pengendalian virus corona.

(Ade Irmansyah\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar