H. Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI
Sekaratnya Demokrasi Kita di Tangan Penguasa
Wakil Ketua Komisi III DPR RI Desmond J Mahesa (Ist)
Jakarta, law-justice.co - Bukti normatif bahwa Indonesia adalah negara yang sistem pemerintahannya menganut demokrasi tertuang pada dasar konstitusi kita. "Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar", demikian bunyi Pasal 1 ayat 2 (setelah amendemen) UUD 1945.
Sebagai sebuah negara demokrasi maka setiap pemegang jabatan yang dipilih rakyat harus dapat mempertanggungjawabkan kebijaksanaan yang hendak dan telah ditempuhnya. Sebagai negara demokrasi, Indonesia menjamin kebebasan menyatakan pendapat dan berserikat, jaminan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), adanya kebebasan pers, terdapat pemerintahan yang nyata di tangan rakyat dan sebagainya.
Namun negara Indonesia sebagai negara demokrasi akhir akhir ini mulai dipertanyakan orang karena ada kecenderungan demokrasi yang dilaksanakan saat ini mulai dikebiri pelaksanannya. Sehingga ada yang menyebut demokrasi ditangan penguasa sekarang sudah mulai sekarat alias kehilangan nyawanya.
Bagaimana sesungguhnya demokrasi disuatu negara bisa sekarat menemui ajalnya ?, Apa ciri ciri negara yang sudah sekarat demokrasinya ?, Bagaimana dengan Indonesia ?. Seperti apa penilaian pakar terhadap demokrasi kita ditangan pemerintah yang sekarang berkuasa ?
Bagaimana Demokrasi Bisa Mati ?
Dalam konteks modern, demokrasi dianggap sebagai sebuah sistem politik terbaik yang dianut oleh suatu negara. Di era sekarang ini , mungkin hanya tinggal beberapa negara saja yang tidak menggunakan demokrasi sebagai sistem politiknya.
Fakta tersebut, seolah menunjukan jika demokrasi bahkan menjadi tolak ukur keadaban dan semacam legitimasi dalam pergaulan global dunia. Akan tetapi, sejarah memberitahu kepada kita bahwa tidak semua negara bisa memiliki suatu pondasi yang kokoh dalam kehidupan politik demokrasinya. Pondasi yang tidak kokoh tersebut dapat mengakibatkan demokrasi terperosok ke dalam jurang kehancuran alias tidak bisa mencapai tujuannya.
Dengan kata lain, demokrasi yang dianggap sebagai sistem politik terbaik pun tidak menjadi sebuah jaminan akan membawa kepada kehidupan politik yang sukses dan berkeadaban sebagaimana yang ingin dicapai pada awalnya.
Negara negara yang awalnya menyatakan diri sebagai negara demokrasipun pada akhirnya berubah menjadi otoriter karena ulah penguasa yang memimpinnya. Banyak contoh negara negara di dunia yang demokrasinya mati karena dipegang oleh pemimpin yang awalnya justru dipilih oleh rakyatnya.
Sebagai contoh di Jerman sesudah kebakaran Reichstag pada 1933, saat Hitler yang sebelumnya terpilih melalui mekanisme yang demokratis, akhirnya membubarkan demokrasi yang telah mengantarkannya menjadi orang nomor satu di negaranya. Ada juga demokrasi yang mati dengan cara cara militeristik, di tangan orang-orang yang memegang senjata contohnya Brazil, Chili atau Ghana di Afrika.
Yang sering terjadi demokrasi itu tergerus pelan pelan pelan-pelan, dalam langkah-langkah yang nyaris tidak kasat mata. Ini misalnya yang terjadi di Venezuela dengan tokoh utamanya Chavez yang terpilih sebagai presiden pada 1998, dan dibanyak negara lainnya, seperti Hungaria, Philipia, Polandia, Nikaragua dan sebagainya.
Dengan kata lain, kemunduran atau bahkan kehancuran demokrasi, justru dimulai dari kotak suara.Dimana pelanpelan tapi pasti, pemimpin yang terpilih berubah menjadi anti demokrasi karena syahwat besarnya untuk tetap berkuasa.
Kiranya tidak sedikit negara didunia yang yang lembaga-lembaga demokrasinya sudah dibajak, atau dengan kata lain demokrasinya sudah mengalami kemerosotan atau kehancuran di tangan pemimpin terpilih secara demokratis pada awalnya.
Padahal sebelumnya, para pemimpin itu telah banyak melakukan kampanye dengan cara-cara populis untuk menarik simpati rakyat atau pendukungnya.
Proses untuk mematikan demokrasi biasanya diawali dengan upaya mereka yang sedang berkuasa untuk melakukan konfrontasi yang tajam di ruang publik, dimana pihak lain yang berseberangan pandangan dengan penguasa dianggap sebagai ancaman dan sebagai musuhnya.
Penguasa yang sedang memegang tampuk pimpinan negara menganggap pesaing politik sebagai musuh yang harus dijinakkan sebelum mengancam kursi kekuasaannya. Para pesaing poltik akan selalu dikejar kejar kesalahannya untuk diperkarakan bahkan diusahakan untuk bisa dimasukkan ke penjara.
Sementara pada sisi lain sang penguasa akan mengangap dirinya sebagai penyelamat negara yaitu pihak yang akan mampu mengantarkan rakyat yang dipimpinnya mencapai cita cita bersama mewujudkan kesejahtaraan rakyat yang dipimpinnya.
Pada hal pada kenyataannya ia hanya sibuk mementingkan kepentingan diri dan kelompoknya untuk memumpuk kekuasaan secara sewenang wenang menyalahi kaedah demokrasi yang ada.
Empat Indikator
Membicarakan soal matinya demokrasi, biasanya orang akan mengacu pada sebuah buku karangan Steven Levitsky and Daniel Ziblatt, dua orang ilmuwan politik dari Harvard University di Amerika.
Dalam bukunya yang diberi judul “How Democracies Die”,ilmuwan asal Amerika Serikat itu menyatakan ada empat indikator otoritarianisme yang disebut dengan “Four Key Indicators of Authoritarian Behavior”, untuk mengenali suatu negara sudah mengarah pada ritual kematian demokrasinya.
Adapun ke empat indikator itu terkait dengan lemahnya komitmen sang penguasa terhadap sendi sendi demokrasi dinegaranya, penolakan terhadap legitimasi oposisi, mendorong adanya aksi aksi kekerasan dan kesigapannya dalam membungkam kebebasan sipil warga negaranya.
1. Lemahhnya Komitmen Pelaksanaan Sendi Demokrasi
Indikator pertama sebuah negara menuju negara otoritatianisme yang mengarah pada sekaratnya demokrasi adalah lemahnya komitmen terhadap pelaksanaan sendi sendi demokrasi yang ada. Ciri cirinya ,mereka yang sedang berkuasa sangat suka mengubah Undang Undang sesuai dengan seleranya.
Mereka juga akan melarang suatu organisasi tertentu yang dianggap tidak sejalan dengan garis kebijakan politiknya. Selain itu suka membatasi hak hak politik warga negaranya.
Jika hal ini kita kaitkan dengan fenomena yang terjadi akhir akhir ini di Indonesia maka penguasa nampaknya sedang getol getolnya mendorong terbitnya beberapa Undang Undang kontroversial yang dinilai tidak memihak kepada kepentingan rakyatnya.
Beberapa Undang Undang itu diantaranya Undang Undang Minerba yang dinilai hanya menguntungkan pengusaha besar saja. Revisi UU KPK yang membuat KPK tidak berdaya karena berhasil dikebiri kewenangannya. Undang Undang tentang Corona yang memberikan kekebalan hukum bagi penyelenggara negara yang menjalankan kebijakannya di tengah pandemi virus corona.
Selanjutnya yang paling kontroversial adalah Undang Undang Omnibuslaw cipta kerja yang dinilai hanya menguntungkan investasi semata, merugikan rakyat Indonesia sehingga memunculkan demo dimana mana.
Nampaknya kalau dilihat dari ciri pertama yaitu kesukaan penguasa mengubah Undang Undang sesuai dengan seleranya, maka ciri pertama ini sudah nampak begitu nyata.
Pembuatan Undang Undang yang terkesan ugal ugalan dengan mengesampingkan kaedah pembuatan Undang Undang serta substansinya yang banyak mengandung masalah seolah olah dianggap sebagai hal yang biasa saja.
Ciri yang kedua yaitu kesukaan penguasa membubarkan atau melarang organisasi tertentu yang tidak sejalan dengan garis politiknya juga sudah dilakukan oleh penguasa.
Sebagai contoh pencabutan badan hukum dan pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) pada tahun 2017 dan para aktivisnya yang “dipersekusi” karena aksi aksinya. Selain itu surat Terdaftar FPI kabarnya juga sudah tidak diperpanjang berlakunya.
Organisasi ini khususnya HTI dianggap punya misi akan merubah Pancasila sebagai dasar negara. Tetapi bagaimana halnya dengan sebuah partai yang telah berinisiatif meloloskan RUU HIP (haluan ideology pancasila) yang memeras Pancasila menjadi ekasila dan trisila ?, Bukankah ini justru yang akan merubah Pancasila ?
Lemahnya komitmen terhadap pelaksanaan sendi sendi demokrasi saat ini juga bisa dilihat dari adanya kebijakan penguasa yang membatasi hak hak politik warga negaranya.
Salah satu contohnya adalah ditangkapnya beberapan pentolan organisasi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) karena diduga menyatakan pendapat dalam grup WA yang dinilai terkait dengan demonstrasi menolak UU Omnibuslaw Cipta Kerja.
Selain tokoh tokoh KAMI, beberapa orang mahasiswa juga dijadikan tersangka. Apakah ini bisa diartikan telah terjadi pembatasan hak dasar politik untuk berkumpul dan menyatakan pendapat yang seharusnya dijunjung tinggi oleh negara ?
2. Penolakan Terhadap Legitimasi Oposisi
Mereka mereka yang berani mengkritik atau berbeda pandangan dengan penguasa akan dicap sebagai “musuh negara”. Akan dicari cari kesalahannya untuk bisa dikirimkan ke penjara atau minimal di batasi ruang geraknya.
Penguasa akan menolak dan “memusuhi” lahirnya organisasi organisasi yang berpotensi menjadi oposisi bagi pemerintahannya. Hal ini misalnya tercermin dari sikap penguasa yang terkesan “alergi” dan mencurigai lahirnya KAMI yang di inisiasi oleh beberapa tokoh bangsa.
Adalah Ahli Hukum Indonesia, Muhammad Kapitra Ampera, yang menilai pembentukan KAMI sarat kepentingan politis pendirinya. Tuntutan dan juga aksi yang akan dilakukannya juga dianggap tidak jelas arahnya.
Dia membaca wadah KAMI tersebut memiliki tujuan dan maksud lain terkait dengan misi penyelamatannya. Yang diperjuangkan oleh para pendiri KAMI tersebut menurutnya bukan terkait dengan bagaimana mengatasi dampak buruk pandemi covid-19, namun lebih ke arah politik semata.
Karena ketidaksukaan terhadap kehadiran KAMI, akhirnya penguasa berusaha mencari cari peluang untuk menangkap tokoh tokohnya. Kebijakan untuk menolak kehadiran tokoh atau organisasi yang menjadi “oposisi” pemerintah sebenarnya sudah terbaca sejak lama misalnya yang terjadi pada diri seorang Habieb Rizieq Shihab (HRS) yang sekarang terkatung katung nasibnya di mancanegara.
HRS diperlakukan sedemikian rupa oleh penguasa karena dianggap berbahaya karena suara-suara kerasnya mengkritik penguasa. Ada seorang teman yang bilang, andai saja HRS mau sedikit melunak dan mau “berkompromi” dengan kebijakan kebijakan penguasa tentulah nasibnya tidak seperti sekarang ini yang tidak bisa pulang pulang dari Saudi Arabia.
Selain kelompok KAMI dan HRS, banyak orang di negeri ini yang bersikap kritis lalu kepadanya dilabeli tuduhan telah terpapar radikalisme, terpapar idelogi “khilafahisme”, makar, anti Pancasila dan anti NKRI dan tuduhan tuduhan lainnya. Berdasarkan fenomena demikian maka penolakan penguasa terhadap hadirnya kelompok oposisi kiranya bukan sekadar isapan jempol belaka.
Sebagai akibatnya kita bisa menyaksikan bersama selama kurun waktu 2014-2020, terjadi praktek demokrasi yang menggenaskan selama perjalanan kita berbangsa dan bernegara.
Betapa tidak, nyaris seluruh kekuatan politik telah mati suri, mandul, bahkan terkulai lemas tak berdaya dalam memainkan peran penyeimbang dan kontrol terhadap kekuasaan negara. Partai politik, parlemen, media massa, tokoh politik dan birokrasi, serta organisasi sipil telah meringkuk dalam cengkeraman penguasa.
Tidak hanya itu bidang kehidupan masyarakat, termasuk bidang keagamaan, pun telah dimasuki dan didikte demi kepentingan rezim yang sekarang berkuasa. Situasi ini mengingakan pada tipologi negara korporatis di Amerika Latin sana.
Bahkan adanya tokoh-tokoh inner-circle (lingkaran dalam) presiden yang begitu berkuasa dalam merumuskan kebijakan publik, membuat kesan bahwa rezim ini berkarakter fasisme dan totalitarian dalam menjalankan kebijakan kebijakan politiknya. Sebuah ironi negara demokrasi tentunya.
3. Membiarkan atau mendorong adanya aksi kekerasan
Kekerasan yang terjadi akhir akhir ini sudah sering kita nikmati faktanya di sosial media. Sehingga aparat yang seharusnya melindungi dan mengayomi rakyatnya justru telah memperlakukan mereka sebagai musuh negara.
Sehingga muncul penilaian kalau aparat bukan lagi menjadi aparat negara tapi alat penguasa untuk menghabisi lawan lawan politiknya.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontaS) memiliki catatan hitam Polri sepanjang Juli 2019 hingga Juni 2020. Dalam periode itu, Polri terekam melakukan 921 kekerasan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dengan 1.627 orang luka-luka dan 304 orang meninggal dunia.
Jumlah itu berasal dari hasil pemantauan KontraS melalui media massa, pendampingan kasus, serta informasi jaringan-jaringan KontraS yang telah terverifikasi sebagai bentuk pelanggaran HAM oleh kepolisian Republik Indonesia.
Dalam laporan itu, KontraS menyoroti dugaan pembungkaman kebebasan sipil sepanjang Juli 2019-Juni 2020. Terdapat 281 peristiwa dengan 669 korban luka-luka, 3 orang tewas, serta ribuan orang ditangkap saat hendak menyuarakan aspirasinya.
Dugaan pembungkaman kebebasan sipil antara lain berupa pelanggaran aksi sebanyak 24 peristiwa, pembubaran paksa dan bentrokan sebanyak 125 peristiwa, penembakan gas air mata 11 peristiwa, dan penembakan sewenang-wenang 121 peristiwa.
Kondisi tersebut diperparah dengan adanya organisasi kepemudaan yang berseragam “militer” yang yang acapkali “mempersekusi”, membubarkan pengajian, serta bertindak seolah mendudukkan diri sebagai polisi, jaksa dan hakimnya. Tindakan Ormas ini terkesan dibiarkan saja tanpa tindakan nyata untuk mencegahnya.
Pada hal tugas menahan, menghentikan kegiatan warga itu adalah tugas aparat penegak hukum, bukan tugas ormas apa pun bahkan apabila ormas melakukan kegiatan itu seharusnya menurut UU Ormas 2017 ormas itu dapat diberi sanksi untuk dibubarkan dan anggota atau pengurusnya dapat dipidana penjara.
Namun, kita saksikan penguasa terkesan hanya diam dan seolah menyetujui semuanya. Apakah ini memang negara membiarkan kekerasan terjadi untuk melindungi kursinya ?
4. Kesiagaan untuk Membungkam Kebebasan Sipil
Kebijakan kebijakan yang mengarah pada upaya untuk membungkam kebebasan sipil bisa menjadi indikator keempat suatu negara itu menjadi otoritarianisme yang mengarah pada sekaratnya demokrasi yang selama ini dianutnya.
Upaya untuk membungkam kebebasan sipil ini sebenarnya sudah terlihat sejak lama. Sebagai contoh Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat adanya upaya untuk memunculkan kembali pasal penghinaan terdapat presiden dan penghinaan terhadap pengadilan pada rancangan Undang-undang KUHPidana, adalah sebagai salah satu indikasinya.
Hal tersebut disimpulkan Aktivis Kontras Bidang Advokasi Hak Sipil dan Politik KontraS, Satrio Wira Taru, setelah melihat perkembangan kebijakan penguasa selama 2015.Mengenai pasal penghinaan terhadap pengadilan, dipandang Aktivis KontraS, dapat membuat hakim lain mengikuti langkah Sarpin Rizaldi yang melaporkan pengkritik putusannya.
Selanjutnya muncul juga kebijakan kebijakan dari aparat yang berpotensi membungkam kebebasan rakyat untuk bersuara seperti kebiajakan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Jenderal Polisi Idham Azis menerbitkan tiga surat telegram yang berisi tindak kejahatan yang harus dicegah dan ditindak di masa pandemi COVID-19 atau virus corona.
Salah satu surat telegram itu berkaitan dengan kejahatan siber, yaitu ST/1100/IV/HUK.7.1./2020 yang ditandatangani Kabareskrim atas nama Kapolri dan diterbitkan pada Sabtu (4/4/2020).
Di dalam beleid itu, dibahas tentang kejahatan siber yang harus dicegah dan ditindak selama masa wabah virus corona. Adapun bentuk pelanggaran atau kejahatan siber yang mungkin terjadi antara lain penyebaran hoax terkait COVID-19 dan kebijakan pemerintah; penghinaan terhadap penguasa/presiden dan pejabat pemerintah; dan sebagainya.
Akhir akhir ini sehubungan dengan marakanya aksi unjuk rasa, Kapolri Jenderal Idham Azis juga telah menerbitkan surat Telegram Rahasia (TR) tentang upaya antisipasi demonstrasi dan mogok kerja kelompok buruh terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law atau Cipta Kerja.
Sementara itu ruang publik yang disajikan melalui media massa main-stream (baik TV, radio dan suratkabar) telah dimonopoli menurut kemauan pemerintah yang sedang berkuasa.
Praktis seluruh media massa itu menjadi corong dan PR (lembaga humas) bagi penguasa. Banyak yang heran mengapa peristiwa peristiwa fenomenal seperti jutaan orang berkumpul dalam aksi 212 tetapi media tidak meliputnya ?, Mengapa aksi aksi besar demo mahasiswa tidak disiarkan oleh media mainstream di Indonesia ?.
Sepertinya media media besar telah berhasil dijinakkan oleh penguasa untuk mengamankan kursi kekuasaannya. Berkerumunnya media massa ke lingkaran istana sebagai corong informasi tanpa kritik, membuat peran media massa sebagai komponen demokrasi telah menemui ajalnya. Mereka bukan lagi watchdog bagi kekuasaan negara, melainkan sudah menjadi jongosnya.
Ruang publik yang diramaikan media alternative (baca: medsos) juga disunat melalui pembentukan buzzer yang menyerang kelompok yang tidak sehaluan dengan rezim penguasa. Melalui institusi pemerintah, Kementerian Kominfo dan Kepolisian RI, berbagai regulasi yang mengancam penulis dan penyebar kritik tajam kepada pemerintah dengan sanksi hukum menurut kehendak penguasa.
Warga yang kritis berusaha untuk dicari cari kesalahannya untuk tujuan mematikan gerakan kritis mereka. Bahkan usaha mematikan langkah mereka tak segan menggunakan kekuatan bersenjata dan bahasa kekerasan lainnya. Setidaknya hal ini bisa disaksikan dalam penanganann demonstrasi mahasiswa yang merebak di berbagai daerah di Indonesia.
Selain hal diatas, ancaman psikologis terhadap para aktivis pendakwah, ustadz dan lain-lain dengan narasi terpapar radikalisme cukup menghambat hak politik untuk menyampaikan pendapat atau aspirasi warga negara.
Demikian pula penangkapan dan penahanan para aktivis KAMI dan mahasiswa dapat dinilai sebagai indikasi adanya pembatasan bahkan ancaman terhadap hak menyatakan pendapat dan berkumpul bagi setiap warga negara.
Selain persoalan persoalan yang dikemukakan diatas, indikasi pembungkaman terhadap kebebesan sipil juga tercium melalui upaya pemerintah untuk menerbitkan UU Ormas, RUU HIP, RUU Omnibuslaw cipta kerja serta berbagai kebijakan penguasa yang melarang pembahasan tema tertentu misalnya tentang khilafah karena dianggap mengancam NKRI dan Pancasila.
Dengan adanya fenomena tersebut diatas apakah ini berati demokrasi di Indonesia memang sudah mengarah kepada akhir hayatnya ?.
Penilaian Mereka
Ada yang menilai, beberapa indikasi yang terjadi saat ini memang sudah menunjukkan bahwa demokrasi di Indonesia memangsudah hampir sekarat menemui ajalnya.
Tapi ada juga yang menilai bahwa apa yang terjadi saat ini hanya sebuah bentuk ketakutan saja dari seorang penguasa yang tak ingin kehilangan kursinya.
Mereka yang menilai Indonesia mengalami kemunduran demokrasi dalam beberapa tahun terakhir, diukur melalui sejumlah indikator seperti pembungkaman kebebasan berpendapat dan usaha melemahkan pengawasan terhadap kekuasaan negara.
Adalah Allen Hicken, seorang profesor peneliti Center for Southeast Asian Studies di Universitas Michigan, Amerika Serikat yang menilai kondisi pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Menurutnya kemunduran demokrasi di Indonesia semakin terlihat di pemerintahan yang sekarang bekuasa pada periode kedua kepemimpinannya.
Sementara menurutnya saat pemerintanhan Susilo “SBY” Bambang Yudhoyono demokrasi dinilai berjalan stagnan saja.
“Awalnya kita berharap periode setelah SBY, demokrasi di Indonesia bisa berkembang dari stagnasi, sayangnya kita tidak melihat itu menjadi nyata. Yang terjadi justru di luar dugaan, para akademisi dan pengamat pada umumnya. Tanda-tanda kemunduran.
Ini yang menjadi kekhawatiran,” kata Allen, dalam acara peluncuran buku Democracy in Indonesia: from stagnation to recession, yang digelar beberapa waktu lalu di Jakarta.
Bagian lain dari kemunduran demokrasi di Indonesia juga terlihat dari cara pemerintah menangani pandemi COVID-19 atau virus corona.Eve Warburton, peneliti Asia Research Institute di National University of Singapore (NUS), menilai keputusan pemerintah untuk melibatkan lebih banyak aparat keamanan dalam menghadapi pandemi sebagai bukti nyata adanya upaya pembungkaman hak-hak sipil warga negaranya.
“Pemerintah Indonesia berfokus pada pelanggaran-pelanggaran selama pandemi dengan mengerahkan lebih banyak aparat keamanan, bahkan juga melibatkan preman, adalah sebuah hal yang mengkhawatirkan,” katanya sebagaimana dikutip www.benarnews.org, 22/9/2020.
Bukan hanya pelibatan aparat keamanan, kebijakan-kebijakan pemerintah yang cenderung berfokus pada pemulihan ekonomi akibat pandemi juga mengindikasikan sistem demokrasi Indonesia sedang berada pada titik terendahnya.
Hasil survei Lembaga Indikator Politik Indonesia yang dirilis Juni 2020 menunjukkan kepuasan masyarakat terhadap implementasi demokrasi turun menjadi hanya 45,2 persen, dibandingkan 75.6 persen pada Februari tahun ini, sebelum kasus pertama COVID-19 diumumkan di Indonesia.
Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, mengatakan hasil tersebut dan merupakan angka demokrasi Indonesia yang terburuk dalam 16 tahun terakhir sejak tumbangnya Orba.
Selanjutnya seperti dikutip oleh law-justice.co 08/10/2020, Peneliti Politik asal Australian National University di Canberra, Australia, Edward Aspinall dan Marcus Mietzner menyebut saat ini demokrasi Indonesia sedang berada di titik terendahnya.
Kepemimpinan Presiden Joko Widodo kemudian disebut-sebut sebagai salah satu penyebab dari kemunduran terbesar demokrasi di Indonesia sejak tumbangnya pemerintah Orba.
Meski Jokowi telah menyatakan sikap untuk menjaga demokrasi, pernyataan tersebut dinilai bertolak belakang dengan beragam kebijakan kontroversial yang lahir di masa pemerintahannya.
Kiranya demokrasi yang bersifat dinamis, memang sangat bergantung pada aktor-aktor pelaksananya seperti aktor pemerintahan hingga masyarakat sipil yang memainkannya. Angka indeks demokrasi Indonesia yang kini terus menurun setiap tahun seharusnya menjadi peringatan bagi kita bersama.
Demokrasi yang berada di ujung tanduk harus segera diselamatkan tidak hanya melalui pemilihan umum, tetapi juga melalui kontrol politik yang terbuka agar kecenderungan tirani mayoritas dapat ditekan sebisa bisanya.
Sebagai warga negara kita semua harus ikut berjuang untuk mempertahankan negara demokrasi yang telah dipilih oleh para pendiri bangsa. Jangan sampai demokrasi itu mati ditangan penguasa yang mabuk kuasa alias ingin berkuasa selama lamanya.
Jangan sampai kita kembali ke jaman Orba yang telah mengebiri demokrasi dan membungkam hak hak politik rakyatnya. Reformasi telah memakan banyak korban jiwa dan harta benda.
Jangan sampai perjuangan para mahasiswa dan pemuda untuk melengserkan pemerintahan orba yang telah berkuasa 32 tahun lamanya itu menjadi sia sia karena munculnya rejim pemerintahan yang ingin mewarisi semangat Orba.
Komentar