Kepulauan Natuna Terbuka Pada Investor AS

Kamis, 29/10/2020 15:32 WIB
Kepulauan Natuna

Kepulauan Natuna

Jakarta, law-justice.co - Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi mengundang investor Amerika Serikat (AS) untuk investasi di Kepulauan Natuna. Pernyataan tersebut disampaikannya kepada Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo saat berkunjung ke Indonesia.

"Saya mendorong pebisnis AS untuk berinvestasi lebih banyak di Indonesia, termasuk untuk proyek-proyek di pulau terluar Indonesia, seperti Pulau Natuna," ujarnya dalam konferensi pers, Kamis (29/10/2020).

AS memang merupakan salah satu investor utama Indonesia. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat investasi AS ke Indonesia sebesar US$279 juta pada kuartal III 2020 untuk 417 proyek. Dengan jumlah tersebut, AS menempati posisi ke-7 negara dengan investasi terbesar.

Di sisi lain, Kepulauan Natuna tengah terancam dampak dari konflik Laut China Selatan (LCS). Konflik memanas usai China mengklaim sepihak 90 persen dari perairan LCS.

Terkait hal tersebut, Retno mengatakan menolak berbagai klaim maritim di wilayah perairan tersebut. Ia mengatakan konvensi PBB tentang hukum laut atau The United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS 1982) merupakan acuan hukum yang harus diterapkan dan dihormati semua negara.

Sikap tersebut sejalan dengan upaya AS menentang klaim China tersebut. Bahkan, kedua negara telah sepakat bekerja sama untuk melindungi ketahanan LCS.

"Oleh karena itu, klaim apa pun harus didasarkan tentang prinsip-prinsip hukum internasional yang diakui secara universal termasuk UNCLOS 1982," tegasnya.

Selain mengundang investasi AS ke Natuna, Retno juga menyinggung pemberian perpanjangan fasilitas pengurangan insentif tarif preferensial umum atau Generalized System of Preferences (GSP) dari AS. Ia mengatakan pemberian fasilitas tersebut dapat memperkuat rantai pasokan global dan mempercepat pemulihan ekonomi.

"Berkaitan dengan hal tersebut, saya kembali menggarisbawahi pentingnya fasilitas GSP, yang tidak hanya membawa keuntungan bagi Indonesia tapi juga bagi bisnis AS," ucapnya.

GSP adalah sebagai fasilitas bea masuk impor terhadap produk ekspor negara penerima yang diberikan oleh negara maju demi membantu ekonomi negara berkembang.

Selama ini, Indonesia mendapatkan keringanan tersebut dari AS. Namun, awal tahun lalu AS sudah mencoret RI dari daftar negara berkembang.

Saat ini, Indonesia tengah menunggu hasil tinjauan ulang yang dilakukan pemerintah AS melalui United States Representative (USTR) terkait pemberian fasilitas GSP.

 

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar