Impor Tekstil Berimbas Potensi Kerugian Negara Rp 1,6 Triliun

Rabu, 28/10/2020 13:30 WIB
Kapuspenkum Kejaksaan Agung Hari Setiono

Kapuspenkum Kejaksaan Agung Hari Setiono

Jakarta, law-justice.co - Kasus korupsi terkait impor tekstil pada Direktorat Jenderal (Ditjen) Bea dan Cukai Tahun Anggaran 2018-2020 diduga bakal merugikan negara mencapai Rp 1,6 triliun. “Kejaksaan telah menetapkan lima orang tersangka yang diduga merugikan perekonomian negara sebesar Rp 1,6 triliun,” ucap Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Hari Setiyono di Kompleks Kejagung, Jakarta Selatan, Senin (26/10/2020).

Hari mengungkapkan, kerugian perekonomian negara akibat korupsi masih belum menjadi perhatian aparat penegak hukum di Tanah Air. Menurut Hari, hal itu berdampak pada pemulihan keuangan negara. “Hal ini menimbulkan tingkat pemulihan keuangan negara seringkali tidak sebanding dengan opportunity cost dan multipliereconomy impact yang timbul sebagai akibat terjadinya tindak pidana korupsi,” ucap dia. Maka dari itu, Kejagung berinisiatif menggunakan pendekatan penghitungan kerugian perekonomian negara dalam kasus impor tekstil tersebut. Hari mengungkapkan, penghitungan kerugian tersebut didasarkan pada dua elemen. “Yaitu, kerugian perekonomian dari penurunan aktivitas industri dalam negeri akibat lonjakan impor barang yang diselidiki,” tuturnya. “Dan potensi pengeluaran rumah tangga yang hilang akibat pemutusan hubungan kerja dari industri di dalam negeri,” kata Hari.

Dalam kasus ini, penyidik Kejagung telah menetapkan lima orang tersangka. Lima tersangka tersebut yakni, Kepala Seksi Pelayanan Pabean dan Cukai (PPC) I pada Kantor Pelayanan Utama (KPU) Bea Cukai Batam Haryono Adi Wibowo, Kepala Seksi PPC II KPU Bea dan Cukai Batam Kamaruddin Siregar, dan Kepala Seksi PPC III KPU Bea dan Cukai Batam Dedi Aldrian. Kemudian, Kabid Pelayanan Fasilitas Kepabeanan dan Cukai (PFPC) KPU Bea dan Cukai Batam Mukhamad Muklas, serta pemilik PT Fleming Indo Batam (FIB) dan PT Peter Garmindo Prima (PGP) Irianto.

Kasus ini bermula dari penemuan 27 kontainer milik PT FIB dan PT PGP di Pelabuhan Tanjung Priok, pada 2 Maret 2020. Jumlah dan jenis barang dalam kontainer tidak sesuai dengan dokumen. Berdasarkan dokumen pengiriman, kain tersebut seharusnya berasal dari India. Padahal kain-kain tersebut berasal dari China dan tidak pernah singgah di India. Temuan Kejagung, kapal yang mengangkut kontainer tersebut berangkat dari pelabuhan di Hongkong, singgah di Malaysia dan bersandar di Batam. Dari titik awal, yaitu Hongkong, kontainer mengangkut kain jenis brokat, sutra dan satin. Namun, muatan tersebut dipindahkan tanpa pengawasan otoritas berwajib di Batam. Setelah muatan awalnya dipindahkan, kontainer yang sama diisi dengan kain yang lebih murah, yaitu kain polyester. Kontainer kemudian diangkut ke Pelabuhan Tanjung Priok.

 

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar