Gegara Tolak Jet Intai AS, RI Masuk Pusaran Konflik Amerika-China?

Senin, 26/10/2020 11:01 WIB
Jokowi Disebut Tolak Tawaran Amerika Serikat Tampung Pesawat Mata-mata. (Tribun).

Jokowi Disebut Tolak Tawaran Amerika Serikat Tampung Pesawat Mata-mata. (Tribun).

Jakarta, law-justice.co - Beberapa waktu lalu, Republik Indonesia dilaporkan menolak permintaan Amerika Serikat (AS) untuk mendaratkan pesawatnya, P-8 Poseidon di wilayah Indonesia. AS meminta agar pesawat intainya itu bisa beroperasi dan mengisi bahan bakar di Indonesia.

Sebagaimana diwartakan Reuters, belum lama ini, Pemerintah AS disebut telah mengajukan sejumlah permintaan tingkat tinggi sejak Juli dan Agustus ke Republik Indonesia.

Permintaan tersebut terkait dengan ekskalasi konflik yang terjadi di Perairan Cina Selatan dengan China. Di samping itu, Amerika Serikat dan China juga berlomba menunjukkan pengaruhnya di kawasan Asia Tenggara.

Pemerintah Indonesia bahkan sempat terkejut saat menerima permintaan AS soal penempatan P-8 Poseidon. Sebab, selama ini Indonesia berupaya untuk bersifat netral dan tidak terus mencoba mempertahankan sikap tersebut.

Indonesia juga memang tidak pernah memberikan akses militernya pada negara lain termasuk AS dan China.

P-8 memiliki peran sentral bagi AS untuk mengintai pergerakan militer China di kawasan Perairan China Selatan yang sebagian besar wilayahnya diklaim China.

Tak hanya China, Vietnam, Malaysia, dan Brunei Darussalam juga bersaing untuk memperebutan bagian dari kekayaan air yang nilai dagangnya ditaksir mencapai 3 triliun Dollar AS tiap tahun.

Menteri Luar negeri Indonesia Retno Marsudi, sebagaimana dikutip Reuters menyatakan bahwa Indonesia tidak mau mengambil posisi dalam konflik dan militerisasi di Laut Cina Selatan di antara dua negara adidaya itu.

"Kita tidak mau terjebak dalam persaingan itu. Indonesia ingin menunjukkan pada semua pihak bahwa kami siap menjadi partner kalian," kata Retno.

Mantan Duta Besar Indonesia untuk Cina Dino Patti Djalal mengatakan, situasi di Cina Selatan, dan kebijakan strategis Cina ke AS sangat memengaruhi Asia Tenggara.

"Kami tidak ingin terjebak dalam kampanye anti-China. Tentu saja kami (Indonesia) ingin menjaga independensi kita, tapi ada kerja sama ekonomi yang lebih dalam dan China adalah yang paling berpengaruh di dunia terhadap Indonesia," ujar Dino Patti Djalal pada Reuters.

Selama ini, Indonesia dikenal menggunakan prinsip bebas aktif dalam menjalankan hubungan luar negeri dengan negara lain. Analis Militer Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi mengatakan, apa yang dilakukan Indonesia dalam menolak AS adalah upaya penerapan prinsip tersebut.

"Yang disampaikan Bu Retno sudah benar. Indonesia kan menganut politik luar negeri bebas aktif. kita sendiri dalam hal pangkalan asing kan sikap kita sudah jelas, menolak kehadiran pangkalan asing di Kawasan kita termasuk kekuatan militer asing," kata Fahmi, Rabu (21/10).

Dalam konteks penempatan kekuatan militer, Fahmi menilai, penolakan Indonesia atas penempatan P-8 AS sudah tepat. Di samping menegaskan sikap netralnya, kata Fahmi, sikap Indonesia juga menunjukkan adanya pesan penegasan terkait kedaulatan.

"Artinya dengan kepentingan politik bebas aktif tadi di sisi lain kita menolak berkonflik tapi memberi pesan yang kuat ada kedaulatan Indonesia tidak bisa dikompromikan," ujar dia.

Apa konsekuensi bila Indonesia sampai mengizinkan AS menempatkan P-8 Poseidon? Menurut Fahmi, jika sampai terjadi, maka Indonesia akan melanggar asasnya sendiri dengan menunjukkan kebepihakan. Hal ini juga akan memengaruhi pondasi kerja sama Indonesia dengan China.

"Tentu tidak perlu diambil langkah seperti itu,"

Anggota Komisi I DPR RI Fraksi PDI Perjuangan TB Hasanuddin mengatakan, dengan politik luar negeri bebas aktif, artinya Indonesia bebas dalam menentukan bersahabat dengan negara manapun. Artinya, berlaku prinsip untuk tidak memihak salah satu blok ataupun ikut bersengketa dengan negara yang sedang berkonflik.

"Konsekuensinya, Indonesia tidak akan memberikan fasilitas dan bantuan apapun kepada negara-negara yang sedang bersengketa," ujar Hasanuddin, Rabu (21/10).

Analis Asia Tenggara asal AS, Greg Polling menilai upaya AS menempatkan P-8 di Indonesia adalah upaya yang ceroboh dan kebabablasan.

Menurutnya, hal ini menunjukkan bagaimana pemerintah AS kurang memahami Indonesia. Mestinya, kata dia, AS paham atas batas-batas yang bisa dilakukan atas Indonesia, terutama bila berkaitan dengan China.

Peran Indonesia di kawasan tersebut memang bukan sebagai negara pengklaim atau claimant states utama. Namun, sebagian porsi dari Laut Cina Selatan dianggap sebagai wilayah Indonesia dan masuk pada zona ekonomi eksklusifnya.

Indonesia bahkan menamai sebagian Laut Cina Selatan sebagai Laut Natuna untuk menegaskan eksistensinya. Dalam beberapa kesempatan, Indonesia telah berupaya mengusir kapal nelayan dan patroli China yang mendekati Laut Natuna.

Indonesia dinilai tetap perlu waspada terhadap dinamika konflik di Laut China Selatan. AS dikabarkan telah menggunakan basis militer di Singapura, Filipina, dan Malaysia untuk mengoperasikan P-8 Poseidon.

Sementara itu, China terus meningkatkan latihan militernya tahun ini, saat AS meningkatkan navigasi maritim, penempatan kapal selam, dan penerbangan pengintaian.

Oleh karena itu, kendati bukan claimant states Utama, dalam pendekatan keamanan, Indonesia harus tetap bersiap bila sewaktu-waktu terjadi ekskalasi konflik.

"Tentu yang menjadi fokus kita di situ adalah menjaga kedaulatan, apa yang menjadi wilayah kita," kata Khairul Fahmi.

Dalam perspektif keamanan, kata Fahmi, rencana-rencana militer Indonesia harus segera dijalankan. Dalam konteks Laut Cina Selatan, Indonesia bisa turut meningkatkan patroli, dan mengatur siapa yang menjadi unsur terdepan.

"Kalau di ZEE itu militer tidak bisa asal masuk maka misalnya Bakamla (Badan Keamanan Laut) yang di depan berarti kebutuhan Bakamla harus diperhatikan, kemudian kemampuan Patroli dari AL kita untuk menjaga territorial juga harus diperhatikan kebutuhannya," ujar Fahmi.

Segala upaya terkait menjaga kedaulatan dan keamanan Indonesia itu harus dimaksimalkan dan menjadi prioritas. Terlebih, Pada 2021, anggaran Kemenhan mencapai angka 137 triliun.

"Saat ini kita sedang membahas kegiatan kegiatan tahun 2001, maka harus dilihat secara serius supaya tidak salah arah. Ya prioritasnya tetap penjagaan kedaulatan dan penegakan keamanan," ujar Fahmi menambahkan.

(Ade Irmansyah\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar