Biar Paham, Anggota DPR Arteria Minta ICW Baca UU Polri

Sabtu, 24/10/2020 19:25 WIB
Anggota DPR RI Arteria Dahlan (Foto: Daulat.co)

Anggota DPR RI Arteria Dahlan (Foto: Daulat.co)

[INTRO]

Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat tren kenaikan anggaran polisi setiap tahunnya. Sejak 2015-2020 ini, pemerintah telah menggelontorkan anggaran sebesar Rp 531 trliun. Teranyar, ICW juga menemukan belanja digital Polri untuk sembilan item dari 2017-2020 dengan jumlah Rp 1,025 triliun.

Belanja digital ini kemudian dihubungkan dengan 12 perintah Kapolri yang tertuang dalam surat telegram, STR/645/X/PAM.3.2./2020. Dua poin yang disorot ICW yaitu  upaya Polri membangun opini publik untuk tidak setuju dengan aksi unjuk rasa dan kontra narasi isu-isu yang mendiskreditkan pemerintah. Poin ini dinilai tidak sesuai dengan UU Nomor 2 Tahun 2002.

Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia RI (DPR RI), Arteria Dahlan menyebutkan, tren kenaikan anggaran di tubuh kepolisian merupakan hal lumrah. Dengan beban tugas yang begitu besar sesuai amanat Undang-Undang (UU), anggaran sebesar Rp531 triliun justru belum cukup.

“Dari kita buka mata sampai kita meninggal dunia, urusannya dengan fungsi kepolisian. Multidimensi, multitasking. Copet urusan polisi, huru-hara polisi, urusan Covid-19 polisi juga, cipta kondisi, kamtibmas sampai lalu lintas polisi, macam-macam,” tegas Arteria saat dihubungi law-justice.co, di Jakarta, Sabtu (24/10).

Sebagai lembaga yang bermitra langsung dengan Korps Bhayangkara, politisi PDI Perjuangan ini tahu betul bagaimana kepolisian tetap menjaga marwah institusinya di tengah godaan naiknya anggaran. Bukan rahasia lagi, semakin tinggi anggaran suatu institusi, semakin besar pula potensi penyimpangan yang terjadi.

Berbeda dengan Polri yang hingga saat ini konsisten dan secara bertahap melakukan reformasi institusi. Kalau kinerja suatu lembaga atau institusi dipandang buruk, tidak mungkin pemerintah atau DPR RI setuju menambah alokasi anggaran

“Ya bila perlu ditambah lagi. Kan tidak mungkin anggaran itu dinaikan kalau tidak ada target atau capaian yang bagus,” ujar Arteria.

 Arteria menambahkan, menilai kinerja kepolisian baik atau buruknya tidak bisa dilakukan secara terpisah. Selama ini ICW atau publik salah kaprah karena melihat  Polri hanya dari satu item. Bak puzzle, lanjut Arteria, Polri harus disusun menjadi satu kesatuan yang utuh.

 “Contoh, Babinsa kita satu orang per desa dan digaji Rp1 juta. Padahal jumlah desa kita itu kurang lebih 74 ribu. Contoh mobil polisi juga masih kurang, motor juga, itu juga merknya macem-macem. Tambal sulam, selagi  ada pakai dulu. Itu juga masih kurang,” jelas Arteria.

Biar Paham, ICW Harus Baca UU Polri

Selain anggaran, kritik ICW juga menyasar 12 perintah Kapolri Jendral (Pol) Idham Aziz yang tertuang dalam surat telegram nomor STR/645/X/PAM.3.2./2020. Dua poin yang disorot ICW adalah, perintah patroli siber pada media sosial dan manajemen media untuk membangun opini publik yang tidak setuju dengan aksi unras di tengah pandemi Covid-19 serta melakukan kontra narasi terhadap isu-isu yang mendiskreditkan pemerintah.

Menurut ICW, dua perintah tersebut tidak sejalan dengan UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Negara Indonesia. Polri tidak memiliki wewenang membangun opini publik terhadap aksi unjuk rasa menolak UU Cipta Tenaga Kerja atau Omnibus Law.

“ICW jangan semuanya dikomentari kalau tidak memiliki kualifikasi. Kalau tidak memperoleh fakta-takta hukum yang objektif dan faktual,” terang Arteria.

Sebelum mengeluarkan 12 perintah tersebut, tentu Kapolri sudah melakukan kajian secara mendalam, baik secara pribadi maupun lewat tim hukum atau tim ahli di institusi. Arteria menyebutkan, tidak ada satu pun perintah Kapolri yang melanggar UU.

Lagipula, fokus pengamanan Polri tidak hanya menyasar pendemo yang menolak Omnibus Law melainkan seluruh rakyat Indonesia agar tetap merasa aman, nyaman dan percaya bahwa negaa masih menjalankan fungsi-fungsinya dengan baik.

“Jadi pahami dulu namanya Cipta Kamtibnas. Polri punya kepentingan yang lebih besar. Jadi suruh ICW baca dulu undang-undang kepolisian baca dulu fungsi kepolisian. Jangan semua dikomentari,” sindir dia.

ICW mengkritik dua dari 12 perintah Kapolri. Sebab, berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Negara Indonesia tidak ada satu pun wewenang kepolisian untuk membangun opini publik terhadap aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh masyarakat.

Pada Pasal 13 UU 2/2002 terdapat tiga tugas pokok Kepolisian, yaitu, memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum dan  memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Pada Pasal 14 yang merupakan turunan dari Pasal 13 juga tidak ada sama sekali klausul mengenai tugas Kepolisian untuk membangun opini publik dan kontra narasi isu yang mendiskreditkan pemerintah.

(Antonius Wilhelmus Fernandez\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar