Faisal Basri:

Fakta Oligarki, Ketimpangan dan Korupsi

Minggu, 25/10/2020 13:03 WIB
Data dari The Economist Tentang Index Kroni Kapitalisme

Data dari The Economist Tentang Index Kroni Kapitalisme

Jakarta, law-justice.co - Data resmi yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa indeks Gini Indonesia membaik, turun menjadi di bawah 0,4. Indeks Gini di bawah 0,4 masuk dalam kategori ketimpangan baik, 0-4 sampai 0,5 ketimpangan sedang, dan di atas 0,5 ketimpangan buruk. Namun harus diingat bahwa BPS mengukur ketimpangan berdasarkan konsumsi, bukan pendapatan dan bukan kekayaan.

Berdasarkan data dari Global Wealth Report 2018 yang dikeluarkan oleh Credit Suisse, ketimpangan berdasarkan kekayaan, satu persen orang terkaya di Indonesia menguasai 46,6 persen kekayaan nasional, meningkat dari 45,4 persen pada tahun 2017. Posisi Indonesia tahun 2018 terburuk kelima di dunia setelah Thailand, Rusia, Turki, dan India.

Sedangkan 10 persen terkaya di Indonesia menguasai 75,3 persen kekayaan nasional, terburuk keenam di dunia setelah Thailand, Turki, Amerika Serikat, Rusia, dan India. Dalam sembilan tahun terakhir pemusatan kekayaan cenderung semakin memburuk.

Sekitar dua pertiga kekayaan dari orang terkaya di Indonesia berasal dari sektor kroni (crony sectors). Indeks crony capitalism Indonesia berada di urutan ke-7 terburuk di dunia. Peringkat Indonesia terus memburuk, dari urutan ke-18 pada 20107 menjadi ke-8 pada 2014 dan ke-7 pada 2016.

Praktik bisnis kroni menguat karena akses pengusaha terhadap kekuasaan semakin mudah. Bahkan pengusaha makin banyak yang merangkap menjadi politisi. Batas antara penguasa dan pengusaha kian tipis. Lembaga legislatif semakin dijejali oleh pebisnis. Empat dari lima anggota BPK berasal dari partai politik.

Jika KPK lemah, pengendalian terhadap mereka pun melemah. Sendi-sendi demokrasi kian rapuh. Oligarki kian kuat. Penguasaan sumber daya di tangan segelintir orang atau kelompok. Ketimpangan semakin buruk. Yang hadir adalah demokrasi prosedural yang diatur kaum oligarki itu. Undang-undang mengabdi kepada kekuasaan, kerap diubah sesuai dengan kesepakatan di antara mereka, seperti tercermin pada komposisi pimpinan MPR yang dibagi rata ke semua partai yang lolos ambang batas parlemen.

Oligarki yang semakin kokoh dan percaya diri pada gilirannya akan menghadirkan rezim yang lebih represif. Penanganan terhadap demontrasi, termasuk demonstrasi mahasiswa, akan lebih keras. Kritik di media sosial dan ruang publik lainnya akan diperkarakan atau dikriminalisasi. Pendek kata, kebebasan akan cenderung ditekan.

Sekarang, tiada pilhan kecuali Presiden keluarkan Perpu agar tak terjadi pelemahan terhadap KPK yang merupakan garda terakhir meredam gerak maju mereka, pesta pora mereka. Tanpa Perpu, oligarki kian berjaya, demokrasi ibarat tinggal ampas. Dan kebebasan sipil terancam.

(Asep Saputra\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar