Analisis Hukum Kasus Menguapnya Biaya Perkara di Mahkamah Agung

Minggu, 25/10/2020 08:04 WIB
Gedung Mahkamah Agung RI di Jakarta (Foto: Law-justice.co)

Gedung Mahkamah Agung RI di Jakarta (Foto: Law-justice.co)

Jakarta, law-justice.co - Biaya perkara merupakan bagian dari informasi penting yang harus dilaporkan dalam laporan keuangan lembaga negara atau lembaga pemerintah sebagai bentuk akuntabilitas lembaga atas biaya yang dipungut dan atau diterima dari pihak ketiga.

Namun biaya perkara yang dipungut dan dikelola pada Mahkamah Agung (MA) dan lembaga peradilan dibawahnya sampai dengan saat ini masih menjadi persoalan terkait transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dan penatausahaannya.

Padahal MA telah berulang kali mengeluarkan ketentuan yang dimaksudkan untuk perbaikan, guna mencegah risiko pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan perkara dan uang titipan pihak ketiga. 

Adanya berbagai macam peraturan tersebut sesungguhnya dimaksudkan untuk memenuhi Salah satu prinsip akuntansi dalam pengelolaan pelaporan keuangan negara yaitu pengungkapan  secara lengkap (full disclosure). Pengungkapan lengkap adalah penyajian secara lengkap dan utuh  informasi yang dibutuhkan oleh pengguna atau usernya. 

Dalam hal ini pengguna dalam konteks Laporan Keuangan negara adalah : Masyaraka, Para wakil rakyat, lembaga pengawas dan lembaga pemeriksa, Pihak yang memberi, atau yang berperan dalam proses donasi, investasi dan pinjama serta  Pemerintah yang sedang berkuasa.

Beberapa peraturan yang dikeluarkan oleh MA terkait dengan pengelolaan uang perkara antara lain : Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 09 Tahun 2008 tentang Pelaporan Penerimaan dan Penggunaan Biaya Perkara pada Pengadilan.

Selain itu dikeluarkan pula Peraturan Mahkamah Agung RI. No. 03 Tahun 2012 tentang Biaya Proses penyelesaian perkara dan Pengelolaannya pada MA dan Badan Peradilan yang berada dibawahnya. Disini telah  telah diatur bahwa Biaya Perkara pada pengadilan dalam bentuk agregat ditampilkan ke muka publik secara berkala dan dikelola secara efektif, efisien, transparan dan dicatat dalam Catatan atas Laporan Keuangan Mahkamah Agung RI.

Selanjutnya MA juga mengembangkan modernisasi sistem penyetoran biaya perkara melalui pemanfaatan rekening virtual (virtual account) melalui Surat Panitera MA No. 2167/PAN/KU.00/8/2017 tanggal 23 Agustus 2017. Dengan sistem ini, MA dapat mengetahui secara akurat informasi terkait nama pemohon, upaya hukum, nomor perkara, dan asal pengadilan.

Pihak penyetor juga akan dapat notifikasi saat melakukan penyetoran. “Penggunaan aplikasi ini telah mendapat dukungan BPK guna menciptakan transparansi dan akuntanbilitas keuangan perkara di MA.

Berikutnya melalui Surat Keputusan Ketua MA (SK KMA) No. 106/KMA/SK/V/2017, MA telah menyusun buku pedoman teknis administrasi penyelesaian perkara kepailitan dan PKPU. Penyusunan buku pedoman ini untuk meningkatkan kompetensi hakim pengawas dalam menyelesaikan perkara kepailitan dan PKPU.

Terakhir Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia No.57/KMA/SK/III/2019 tentang petunjuk pengelolaan penerimaan bukan pajak di lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di bawahnya sudah ditetapkan besaran tarif mulai dari pendaftaran perkara, permohonan gugatan, panggilan saksi, penggugat, pemohon dan termohon hingga pemberitahuan keputusan dengan tarif Rp 10 ribu hingga Rp 30 ribu.

Beberapa peraturan telah dikeluarkan untuk memperbaiki pengelolaan uang perkara di MA dan jajarannya sebagai upaya untuk mencegah penyewengan dalam penggunaan biaya perkara. Tetapi nyatanya  Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) masih saja menemukan adanya kebocoran pengelolaan uang perkara di MA. Berdasarkan hasil investasi dari law-justice.co, telah ditemukan beberapa kejanggalan terkait dengan pengelolaan uang perkara di MA.

Sebagai contoh BPK  telah menemukan sejumlah permasalahan pada laporan keuangan Mahkamah Agung(MA) mencapai lebih dari Rp135,547 miliar. Masalah tersebut mulai pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan perkara, uang titipan pihak ketiga, hingga pengelolaan aset.

Temuan tersebut tertuang dalam salinan Ikhtisar Laporan Pemeriksaan Semester (IHPS) II Tahun 2019 pada Maret 2020 dan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2019 yang diterbitkan BPK pada 15 Juni 2020.

BPK dalam IHPS II Tahun 2019 menyatakan telah memeriksa pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan perkara, uang titipan pihak ketiga, dan belanja 2018 dan 2019 (hingga Triwulan III) pada MA dan badan peradilan di bawahnya di Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Sumatera Utara.

Hasilnya, BPK menemukan 20 permasalahan pada kelemahan sistem pengendalian intern (SPI) dan ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan dan 3E (ekonomi, efisiensi, dan efektivitas). Belanja tidak sesuai atau melebihi ketentuan dengan nilai Rp13,26 juta dan 14 permasalahan lain-lain lebih Rp1,102 miliar. Jumlah permasalahan 16, nilai Rp1.115,74 juta.

Analisis Hukum Uang Perkara

Harus diakui, biaya perkara yang dipungut dan dikelola pada Mahkamah Agung dan lembaga peradilan dibawahnya sampai dengan saat ini masih menjadi persoalan terkait transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dan penatausahaannya. Meskipun MA telah banyak mengeluarkan peraturan terkait dengan hal tersebut dalam rangka transparansi dan pertanggungjawabannya.

Lalu dimanakah kira kira letak permasalahannya ?. Jika dipahami bahwa biaya  perkara merupakan bagian dari lingkup keuangan negara maka pertanggungjawabannya dalam menatausahakan setiap kejadian ekonomi (evidance) wajib menggunakan akuntansi. 

Oleh karenanya terhadap penatausahaan keuangan perkara paling tidak ada 2 (dua) hal yang masih menjadi persoalan yaitu terkait mekanisme pembukuan / pencatatan yang diselenggarakan, apakah telah menggunakan akuntansi yang menjamin seluruh rangkaian kejadian (evidance) telah dibukukan/dicatat secara memadai dan terkait pelaporan yaitu apakah laporan keuangan perkara yang dihimpun pada masing- masing Direktorat Jenderal tersebut akan terkompilasi menjadi laporan keuangan perkara lembaga yang disajikan dalam laporan keuangan lembaga secara periodic (Laporan Keuangan Semester I dan Laporan Keuangan Tahunan)?.

Bahwa pengungkapan keuangan perkara dalam Laporan Keuangan satuan kerja pengadilan belum sepenuhnya berjalan, kalaupun dibuat maka format dan sistimatika penyajiannya beragam sehingga sulit untuk dikompilasi baik ditingkat wilayah, dirjen dan Lembaga. 

Untuk memahami terminologi biaya perkara dapat dirujuk pada pasal 121 ayat (4) HIR / pasal 145 (4) RBg, yang menyebutkan bahwa yang dimaksudkan dengan biaya perkara adalah biaya yang terlebih dahulu harus dibayar oleh penggugat ketika memasukan gugatan perkara perdata, sesuai dengan asas ―tidak ada biaya, tidak ada perkara”; Biaya perkara pada saat putusan akhir dibebankan kepada pihak yang kalah

Dalam prakteknya lembaga peradialan tidak hanya mengelola / menerima biaya perkara namun juga dana-dana pihak 3 lainnya. Sehingga konteks pembahasan dalam analisis  ini dalam ruang lingkup (cakupan) terminologi sebagai berikut :

  1. Biaya Perkara dalam arti luas; dalam hal ini mengacu pada pengertian Keuangan Perkara yaitu biaya dan atau fasilitas/jasa yang terlebih dahulu harus di bayar pihak‟ ketika berperkara dan atau jasa yang diberikan oleh Peradilan sesuai dengan ketentuan perundangan, yang meliputi biaya perkara (biaya kepaniteraan dan biaya proses) dan lainnya yang ada di peradilan antara lain seperti biaya eksekusi, konsinyiasi/ titipan dan lain sebagainya yang berhubungan dengan pihak ke III
  2. Biaya Perkara dalam arti sempit; mengacu pada surat Ketua Mahkamah Agung RI No. 43/TUAD/AG/III/UM/XI/1992 tanggal 23 Nov 1992 yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Tinggi Agama dan Pengadilan Agama seluruh Indonesia menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Biaya Perkara menurut pasal 121 HIR dan 145 R.Bg adalah biaya kepaniteraan dan biaya proses.

Soal biaya perkara ini dalam sejarahnya pernah terjadi perseteruan antara MA dan BPK. BPK pernah melaporkan Mahkamah Agung (MA) ke Kepolisian tgl 13 September 2007 karena pencegahan terhadap pemeriksaan biaya perkara thn 2005.

Pada saat itu  menurut MA biaya perkara bukan merupakan keuangan Negara melainkan uang titipan pihak ke-3 (pihak yang berperkara) sehingga cukup dipertanggungjawabkan secara intern (kepada para pihak) sehingga tidak termasuk dalam obyek audit oleh BPK. Lagi pula saat itu  belum ada aturan yang mengatur terkait teknis pemeriksaan dan pengelolaan dana pihak-3 (Biaya Perkara) dimaksud, sehingga MA berpendapat bahwa biaya perkara bukan merupakan obyek pemeriksaan BPK.

Alhasil MA kemudian mengeluarkan Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 1994 tentang Pengawasan dan Pemeriksaan Administrasi.Perkara, yang memberi batasan pihak ekstern (eksekutif, BPKP dan BPK) untukmemeriksa biaya perkara hanya sekedar pada pungutan uang hak-hak kepaniteraan, sedangkan perkara  lainya menyangkut administrasi perkara menjadi kewenangan MA.

Sementara itu BPK ngotot berpendapat bahwa Biaya Perkara merupakan lingkup keuangan Negara sehingga merupakan obyek pemeriksaan yang menjadi kewenangannya. Dasar argumentasi BPK berangkan dari pemahaman  dalam Undang-Undang No. 15 Thn 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.  Pasal 3 dalam UU tersebut  menyebutkan bahwa : 

  • Pemeriksaan pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara dilakukan oleh BPK…” 
  • keuangan negara” mengacu pada lingkup pengertian sebagaimana disebut dalam Psl. 2 UU No. 17 Tahun 2003 tentang tentang Keuangan Negara yang mencakup :
  1. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelesaian tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum.
  2. Kekayaaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.  Pada hal seperti diketaui, pemungutan biaya perkara yang dilakukan MA kepada pihak berperkara adalah atas nama negara dan dengan fasilitas yang diberikan negara, sehingga harus dianggap dalam lingkup keuangan Negara. Oleh karena itu sesuai dengan Pasal 24 ayat 2 UU No.15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara menyatakan bahwa ―Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, menghalangi dan atau menggagalkan pemeriksaan diancam dengan pidana dan atau denda. Atas  dasar inilah kemudian BPK beranggapan MA tidak kooperatif dan bahkan mencegah dilakukannya pemeriksaan atas biaya perkara yang dikelolanya.

Untuk mencari jalan keluar atas terjadinya “perseteruan” antara MA dan BPK itu pada akhirnya pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2008 yang ditandatangani oleh Presiden tanggal 23 Juli 2008 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku Pada MA dan Badan Peradilan yang berada di bawahnya sebagai pelaksanaan dari UU No. 20 tahun 2007 tentang PNBP, sekaligus menjadi dasar (payung hukum) pemungutan PNBP yang berasal dari biaya perkara. PP ini terdiri dari 4 pasal dilengkapi dengan lampiran berupa rincian jenis dan tarif PNBP atas biaya perkara.

Didalam PP Nomor 53/2008,  biaya perkara secara umum dikelompokan dalam 5 jenis (pasal 1) yaitu :

  1. Hak Kepaniteraan Mahkamah Agung
  2. Hak Kepaniteraan Peradilan Umum
  3. Hak Kepaniteraan Peradilan Agama
  4. Hak Kepaniteraan Tata Usaha Negara
  5. Hak Kepaniteraan lainnya.

Dengan diterbitkannya PP No. 53/2008 tersebut menjadi dasar bagi BPK untuk mengaudit MA terkait dengan pengelolaan dana biaya perkara. Karena bagaimanapun biaya perkara yang masuk kategori keuangan negara itu akan dipergunakan dengan seenaknya kalau tidak ada lembaga yang mengauditnya.

Apalagi menurut catatan  Departemen Keuangan tahun 2009 lalu  disinyalir ada 260 rekening liar dari berbagai departemen dan lembaga negara dimana rekening liar di MA adalah yang paling banyak jumlahnya. Rekening itu tersebar di MA  102 rekening, Departemen Hukum dan HAM 66 rekening, Departemen Dalam Negeri 36 rekening, Departemen Pertanian 32 rekening, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi 21 rekening, dan Badan Pelaksana Migas 2 rekening. Departemen dan lembaga tersebut dinilai tidak transparan dan tidak dapat menjelaskan status rekening-rekening  yang dibuatnya. 

Praktik penggunaan rekening liar tersebut jelas merupakan pelanggaran hukum. Pejabat tidak dibenarkan mengumpulkan dana tanpa menyetorkannya ke kas negara. Hal ini jelas melanggar UU No 20/1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara, dan UU No 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara bahwa setiap penerimaan negara harus dilaporkan kepada bendahara negara dalam hal ini Menteri Keuangan.

Karena mengelola rekening liar paling banyak maka hasil audit BPK hampir setiap tahun menempatkan MA sebagai lembaga yang mendapatkan predikat disclaimer dari BPK.Penilaian disclaimer sebetulnya sangat memalukan karena berarti MA dianggap tak sanggup mengelola keuangan secara transparan dan akuntabel. Hasil pemeriksaan BPK itu juga mengindikasikan kemungkinan korupsi masih merajalela di lingkungan peradilan di Indonesia termasuk di MA.

Karena itulah, selain audit oleh BPK, KPK perlu didorong untuk penegakan hukumnya. Karena bau bau korupsi tercium disana yang diduga masih banyak rekening liar yang menampung menampung dana haram termasuk dana perkara. Secara ketatanegaraan, KPK lebih tepat membongkar kasus ini karena KPK merupakan lembaga independen dan tidak berada di bawah kekuasaan (eksekutif, legislatif, yudikatif) manapun.

KPK sudah saatnya untuk berani masuk ke wilayah lembaga peradilan termasuk mengusut dana perkara yang ada di MA. Sebab, selain KPK, tidak ada lembaga lain yang bisa memeriksa institusi MA, khususnya menyangkut dugaan penyelewengan pengelolaan biaya perkara.

Apalagi, mengingat salah satu tujuan utama mengapa KPK dibentuk adalah untuk memberantas korupsi di lembaga peradilan (judicial coruption). Jika KPK berani, tinggal menunggu waktu, korupsi biaya perkara di MA akan terkuak dan semakin memerosotkan citra lembaga peradilan tertinggi di Indonesia itu.

Dalam sejarahnya  KPK pernah  membuktikan kemampuannya dalam mengusut aliran dana "liar" di beberapa departemen, BUMN, swasta, dan pemerintah daerah. Misalnya, korupsi aliran dana nonbujeter di Departemen Kelautan dan Perikanan yang akhirnya menyeret mantan Menteri Rokhmin Dahuri.

Prestasi cukup membanggakan yang disandang oleh KPK dalam menyikat koruptor di lingkungan kelembagaan negara itu seharusnya perlu di ulangi lagi supaya rakyat menjadi bangga. Tetapi harapan itu nampanya kini semakin hampa. Sebab setelah UU KPK berhasil di revisi oleh Pemerintah dan DPR, KPK semakin tidak berdaya.

KPK telah menjadi macan ompong alias sudah tidak ada giginya. Sampai-sampai banyak pegawainya yang pada keluar mungkin karena malu dengan eksistensi kelembagaan tempatnya bekerja yang sudah tidak seperti dulu lagi ketika masih perkasa. Kalau memang sudah demikian halnya lalu apa yang bisa kita harapkan dari KPK untuk mengusut dugaan penyimpangan dana perkara di MA ?

 

(Ali Mustofa\Warta Wartawati)

Share:




Berita Terkait

Komentar