Vaksin Covid-19 Belum Uji Klinis Pada Populasi Indonesia?

Jum'at, 23/10/2020 08:20 WIB
Vaksin Covid-19 Belum Uji KLinis

Vaksin Covid-19 Belum Uji KLinis

Jakarta, law-justice.co - Dalam pernyataan resminya yang dirilis pada Rabu (21/10) lalu, PDPI mendukung proses inisiasi dan pengadaan vaksin Covid 19 di Indonesia, Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) telah mengeluarkan pandangannya mengenai vaksin Covid-19.

"Kami sangat mendukung pemerintah membuat vaksinasi, dengan upaya ini diharapkan kasus di populasi Indonesia akan menurun," ujar Ketua Umum Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Dr dr Agus Dwi Susanto SpP(K), FISR, FAPSR, ketika dihubungi Republika.co.id, Kamis (22/10).

Selain itu, PDPI mengimbau agar setiap jenis vaksin yang masuk ke Indonesia harus melewati uji klinis pada populasi Indonesia sebelum disuntikkan kepada masyarakat. Dengan begitu, vaksin diberikan kepada masyarakat itu sudah terbukti aman dan juga efektif pada populasi Indonesia.

“Karena kita tahu populasi kita di Indonesia berbeda dengan populasi di luar negeri. Kita ras Melayu, mereka bisa saja ras Mongolia, ada juga ras di Eropa, kan berbeda. Apakah efektivitas dan kemanan vaksinnya sama? Tentunya harus buktikan dengan uji klinis pada populasi di Indonesia,” jelas Agus.

Menurut Agus, secara teori, efektivitas vaksin dipengaruhi oleh beberapa faktor, mulai dari jenis kelamin, ras, dan faktor komorbid. Dengan uji klinis pada manusia di Indonesia, menurut Agus, akan terlihat apakah vaksin-vaksin yang ada memang memproteksi.

Pemerintah sebelumnya mengeklaim vaksin yang dibeli Indonesia dari beberapa negara akan datang bulan depan. Kandidat vaksin Covid-19 itu dikembangkan oleh Cansino, G42 atau Sinopharm, dan Sinovac.

Dari beberapa calon vaksin Covid-19 tersebut, baru satu yang sedang menjalani uji klinis di Indonesia. Vaksin Sinovac tengah melangsungkan uji klinis Fase III di Bandung, Jawa Barat dengan 1.074 relawan telah mendapatkan dosis kedua.

“Setahu saya baru satu yang uji klinis di Indonesia, yaitu vaksin Sinovac," tutur Agus.

Lebih lanjut, Agus mengajak masyarakat menunggu hasil uji klinis di Bandung tersebut. Efektivitas maupun keamanannya harus terbukti.

"Nanti kita bisa lihat apakah dengan populasi Indonesia efektif, aman. Apakah berbeda di Indonesia ini pada berbagai varian usia, suku," ujarnya.

Uji klinis, menurut Agus, akan memakan waktu yang bervariasi. Uji klinis vaksin Sinovac di Bandung, dari awal sampai akhir, prosesnya membutuhkan waktu sampai enam bulan.

Bagaimana jika dari uji klinis terbukti kandidat vaksin Covid-19 itu tidak cocok dengan populasi Indonesia? Menurut Agus, kita bisa belajar dari beberapa kasus vaksinasi yang gagal di dunia.

"Tentu bisa ada dampak ikutan yang bisa muncul akibat vaksinasi," tuturnya.

Agus menjelaskan, kita tidak tahu vaksinasi bisa memberikan dampak seperti apa. Kalau dampak ikutannya berat maka akan menjadi tinjauan, apakah dapat diberikan atau tidak pada populasi di Indonesia.

Kegagalan program vaksinasi massal terbesar dan ambisius pernah terjadi pada tahun 1976 di Amerika Serikat. Program di bawah kepemimpinan Presiden Gerald Ford itu digulirkan di tengah kekhawatiran pandemi flu babi.

Persoalannya, keputusan itu tidak didukung oleh sains yang tepat dan ada faktor kelalaian politik yang berperan. Lantas, ketika vaksinasi berlangsung, ada kejadian ikutan pasca imunisasi yang muncul. Kepercayaan publik terhadap vaksin juga luntur.

"Ini yang harus kita perhatikan betul, jadi yang kita harapkan adalah bagaimana efektifitas dan keamanannya harus dipastikan pada populasi kita,” ujar Agus.

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar