Dalam 2,5 Bulan, Pemerintah Kebut Dana PEN Rp350 Triliun
kedua Wamen BUMN Budi Gunadi Sadikin (kiri) dan Kartika Wirriadtmodjo (kanan) merangkap jabatan sebagai Wakil Komisaris Utama PT Pertamina (Persero) dan Komisaris Utama Bank Mandiri.
Jakarta, law-justice.co - Penyerapan stimulus fiskal yang didistribusikan melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) bakal dikebut oleh pemerintah.
Upaya memacu belanja itu terutama untuk sektor kesehatan, bantuan sosial maupun pemberdayaan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), sektoral kementerian/lembaga dan pemda serta insentif ke dunia usaha.
Ketua Satuan Tugas (Satgas) PEN, Budi Gunadi Sadikin, dalam keterangannya secara virtual kepada pers dari Istana Negara di Jakarta, Rabu (21/10), mengatakan hingga pekan kedua Oktober 2020, realisasi penyaluran dana PEN sudah hampir menyentuh angka 50 persen.
“Sampai akhir September di kuartal ketiga, kami sudah berhasil menyalurkan 150 triliun rupiah dan pada minggu kedua Oktober sudah tersalur 344,43 triliun rupiah atau hampir 50 persen dari total anggaran sebesar 695,2 triliun rupiah,” kata Budi.
Dengan sisa waktu 2,5 bulan dari sekarang hingga akhir tahun, dia berharap bisa memaksimalkan penyaluran sisa anggaran PEN sebesar 350,77 triliun rupiah, terutama program sektoral kementerian/lembaga dan pemda yang serapannya paling rendah.
Sedangkan dari dana yang sudah tersalur pada kuartal ketiga sebesar 150 triliun rupiah, Budi berharap akan menciptakan multiplier effect dalam perekonomian dua kali lipat atau tercipta perputaran uang sebanyak 300 triliun rupiah.
“Menurut ahli ekonomi, fiscal multiplier (efek pengganda stimulus fiskal) kita 2,1 kali, jadi harusnya bisa memberikan dampak ke Produk Domestik Bruto (PDB) 300 triliun rupiah,” kata Budi.
Akurasi Data
Menanggapi kinerja dana PEN itu, pakar kebijakan publik dari Universitas Brawijaya Malang, Andy Feftta Wijaya, mengatakan penyaluran dana bantuan sosial harus dibenahi dan dipertajam penyalurannya serta sasaran yang dituju, agar upaya pemerintah menggerakkan ekonomi bisa tercapai.
“Distribusi bantuan ini perlu memperhatikan yang dituju, harus tepat sasaran agar tujuannya menggerakkan roda ekonomi tercapai. Pemerintah harus memperhatikan masalah data, karena yang dipakai adalah data kemiskinan Kemensos selama ini,” kata Andy.
Data tersebut, jelasnya, tidak memasukkan pekerja-pekerja yang kehilangan pekerjaan karena perusahaannya tutup. Padahal, mereka sebelumnya memiliki pendapatan, kini tidak punya penghasilan lagi.
Demikian juga dengan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dan sektor informal banyak yang gulung tikar. Sebelumnya masih banyak tidak masuk dalam data kementerian terkait. Selain itu, pemerintah, katanya, harus memperhatikan faktor skala prioritas dalam penyalurannya.
“Dana yang ada seharusnya diprioritaskan untuk masyarakat yang tidak punya penghasilan,” kata Andy.
Sementara itu, Ekonom dari Core Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, mengatakan dari beragam bantuan yang disalurkan pemerintah masih dominan menyasar kelompok pendapatan bawah (masyarakat miskin), padahal dampak juga dirasakan kelompok pendapatan menengah yang jumlahnya sekitar 70 juta lebih. Mereka selama ini hanya mendapat bantuan melalui kartu prakerja dan subsidi gaji. Kartu Prakerja sendiri hanya menyasar 5,3 juta dari sekitar 30 juta pendaftar.
“Perlu diperluas karena praktis kelompok menengah banyak yang kehilangan pendapatan,” kata Yusuf.
Manajer Riset Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas Fitra), Badiul Hadi, dalam kesempatan lain mengatakan skema bantuan sosial perlu dipertajam untuk mempercepat pemulihan ekonomi nasional.
“Skema bantuan sosial khususnya bantuan langsung tunai tidak diarahkan dengan baik, sehingga banyak penggunaannya tidak sesuai yang diharapkan pemerintah,” kata Badiul.
Bantuan sosial yang dikucurkan oleh pemerintah guna mendorong daya beli masyarakat juga belum sepenuhnya dapat menutupi kebutuhan masyarakat di tengah pandemi Covid-19.
Pemerintah, tambahnya, harus mengevaluasi secara menyeluruh pelaksanaan bantuan sosial, mulai dari penerima bantuan dan besaran bantuan yang diberikan. “Bukan rahasia lagi, sejak awal, problem bansos adalah akurasi data,” tutup Badiul.
Komentar