Biaya Jadi Bupati 65 M, Ketua KPK: Kekayaan Hanya 18 M, Jadi Minus

Rabu, 21/10/2020 16:22 WIB
Ketua KPK Firli Bahuri sebut biaya untuk jadi bupati sebesar Rp65 miliar (lokadata)

Ketua KPK Firli Bahuri sebut biaya untuk jadi bupati sebesar Rp65 miliar (lokadata)

Jakarta, law-justice.co - Bukan soal baru lagi bahwa biaya politik di Indonesia sangat besar. Untuk menjadi seorang bupati atau wali kota saja, diperlukan biaya hingga puluhan miliar.

Hal itu disampaikan oleh Ketua KPK Firli Bahuri yang mengungkapkan sejumlah persoalan yang terjadi dalam penyelenggaraan pilkada. Salah satunya adalah besarnya selisih antara harta kekayaan yang dimiliki oleh calon dengan biaya untuk maju di Pilkada.

"Pertama adalah gap antara biaya pilkada dan kemampuan calon, ini hasil penelitian. Hasil penelitian kita, ada gap antara biaya pilkada dan kemampuan harta calon. Bahkan, dari LHKPN, itu minus," katanya dalam acara Webinar Nasional Pilkada Berintegritas melalui channel YouTube KPK, Rabu (21/10/2020).

Ia mengungkapkan, berdasarkan penelitian KPK, calon kepala daerah yang akan maju pilkada harus menyiapkan uang kira-kira Rp5-10 miliar. Bahkan, menurut Firli, jika ingin dipastikan menang pilkada, uang yang harus disiapkan Rp65 miliar.


"Jadi wawancara indepth interview ada yang ngomong Rp5-10 miliar, tapi ada juga yang ngomong, `Kalau mau ideal, Pak, menang jadi pilkada itu bupati, wali kota, setidaknya punya uang ngantongin Rp65 miliar`. Mati, dah, padahal dia punya uang hanya Rp18 miliar, artinya minus," sebutnya.

Firli mengatakan besarnya selisih antara harta yang dimiliki dan biaya politik itulah yang membuat para calon kepala daerah terbebani. Karena itu, menurut Firli, tak jarang calon kepala daerah ini akan menjanjikan sesuatu kepada pihak ketiga yang mau memberikan bantuan dana untuk ikut pilkada.

"Alasan calon kepala daerah era ini sudah menggadaikan kuasanya kepada pihak ketiga yang membiayai biaya pilkada. Kalau itu terjadi, sudah tentu akan terjadi korupsi, dan tentu juga akan berhadapan dengan masalah hukum," ujarnya.

Selain itu, Firli menyebut tingginya biaya politik itu akan membebani para calon kepala daerah itu setelah penyelenggara pilkada. Karena itu, ia menyebut tak jarang para calon kepala daerah yang gagal di pilkada mengalami stres hingga masuk rumah sakit jiwa.

"Mau nyalon saja sudah minus, makanya tidak jarang kita temukan, setelah pilkada selesai, yang kalah itu ada yang ke rumah sakit jiwa, ada yang didatangi oleh para donatur yang meminjamkan uang," kata Firli.

(Gisella Putri\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar