Ada Apa Kejaksaan Lamban Usut Kasus Tiphone, Padahal BPK Sebut Ada Fraud

Hengky Setiawan Masuk PKPU Susul Tiphone,Saham Telkom & PINS Jadi Apa?

Selasa, 20/10/2020 07:06 WIB
PT TiPhone Indonesia

PT TiPhone Indonesia

Jakarta, law-justice.co - Hengky Setiawan, Pengusaha telekomunikasi dan Raja Voucer, resmi menyandang dan masuk status Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Majelis Hakim PN Jakarta Pusat, senin (19/10) menetapkan Hengky Setiawan dan perusahaannya, Prima Langgeng Towerindo dalam keadaan PKPU Sementara.

Hengky menyusul perusahaan yang didirikannya, PT Tiphone Mobile Indonesia Tbk (TELE), yang lebih dulu ditetapkan dalam kondisi PKPU sejak 3 Juli 2020 lalu. Awalnya,  Hengky Setiawan harus menghadapi permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang diajukan oleh Bank Ganesha Tbk (BGTG). 

Saat itu, Bank Ganesha memberikan dua fasilitas kredit kepada Prima Langgeng Towerindo. Pertama, fasilitas kredit short term loan non revolving (STL)  sebesar Rp 80 miliar. Kedua, fasilitas kredit pinjaman rekening koran (PRK) senilai Rp 10 miliar.

Namun, usai restrukturisasi pada Desember 2019, Prima Langgeng Towerindo tidak pernah melakukan pembayaran angsuran pokok atas fasilitas STL beserta bunga dan denda yang jatuh tempo pada 1 Februari 2020, 1 Maret 2020, dan 1 April 2020.

Akibatnya Bank Ganesha membawa kasus Hengky dan perusahaannya itu ke ranah hukum. Sebelumnya Hengky juga bersengketa dengan grup Sinarmas dalam kasus kredit macet juga.

Setelah digugat pailit oleh Sinarmas, keduanya akhirnya berdamai, namun pendiri Tiphone Mobile Hengky Setiawan masih harus menghadapi gugatan hukum lainnya di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) serta saham Tiphone disuspend oleh Bursa Indonesia.

Saham di Anak Usaha PT Telkom

Kelihaian Hengky dalam mencari relasi dan investor memang patut diakui. Salah satu anak usaha PT Telkom, PT PINS Indonesia membeli saham Tiphone dari Boquete Group SA, Interventures Capital Ltd, PT Sinarmas Asset Management, dan Top Dollar Investment Ltd., senilai Rp 400 miliar. Perjanjian jual-beli ditandatangani pada 11 September 2014.

Akibat dari pengelotoran dana Rp 400 miliar kepada Tiphone yang saat itu kinerja keuangannya sedang bermasalah, maka Telkom dihadapkan pada situasi harus mengakuisisi saham berkode TELE (Tiphone). “Di mana saham Tiphone yang berkode TELE tersebut sedang anjlok hingga kisaran mendekati Rp 600/saham.

Hingga hampir satu tahun lebih saham Tiphone tak kunjung naik melebihi harga yang sama dengan harga Tiphone yang dibeli oleh PINS. PINS Indonesia telah mengambil alih sebanyak Rp 1,11 miliar (15 persen) saham Tiphone senilai Rp 876,7 miliar dengan dikurangi dari dana pinjaman sebesar Rp 400 miliar yang dikonversi dalam bentuk kepemilikan saham TELE.

Adanya fraud dan sekarang sahamnya disuspen karena gagal bayar utang sudah menjadi bukti yang sangat kuat bahwa ada yang tidak beres dalam tata kelola, manajemen resiko dan prinsip kepatuhan dalam pengelolaan bisnis Tiphone, yang pada ujungnya akan memberatkan PT PINS sebagai anak usaha PT Telkom dan pemilik saham mayoritas Tiphone. 

Dengan putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat bahwa Hengnky pribadi masuk dalam PKPU, sudah jelas membuktikan bahwa Hengky dan semua perusahaannya sangat sulit kondisi keuangannya setelah juga terjadi default alias gagal bayar pada sejumlah obligasi yang diterbitkannya.

Kalau faktanya sudah menunjukkan seperti itu kondisi keuangan Hengky, lantas bagaimana mungkin Hengky bisa membayar hutangnya pada PT PINS sebagai anak usaha PT Telkom.

Sumber informasi Law-Justice.co sudah menelusuri kenapa sampai bisa PT PINS mau membeli saham Tiphone yang tidak begitu liquid. Ternyata ada intervensi Direksi PT Telkom kepada PINS, yang membuat mereka terpaksa harus membeli saham Tiphone.

Dari penelusuran redaksi, diketahui pada saat PT PINS membeli saham Tiphone susunan Direksi PT Telkom periode 2014-2019 adalah sebagai berikut; 

Direktur Utama : Alex J. Sinaga
Direktur : Indra Utoyo
Direktur : Abdus Somad Arief
Direktur : Heri Sunaryadi
Direktur : Herdy Rosadi Harman
Direktur : Dian Rachmanwan
Direktur : Honesti Basyir
Direktur : Muhammad Awaluddin

Adapun Direktur Utama PINS Indonesia saat itu adalah Mustapa Wangsaatmadja yang bekerjasama dengan Edi Witjara, yang saat itu menjabat sebagai Senior Vice President Bisnis Control  PT Telkom, ditahun 2014, yang berwenang memberi arahan tentang bisnis dan akuisisi./merger.

Direksi PT Telkom saat itu harus dimintai juga pertanggungjawabannya secara hukum  karena tidak mungkin akuisisi sebesar itu bisa terjadi tanpa sepengetahuan dewan Direksi. Edi Witjara saat ini menjabat salah satu Direktur Telkom dan juga menjabat Dewan Penasehat Kepala KSP yang dipimpin Muldoko.

Wartawan Law-Justice.co sudah menghubungi petinggi PT Telkom yang terlibat dalam proses pembelian saham Tiphone itu namun tidak pernah direspon. Begitu juga Kahumas Kejaksaan Agung, ketika ditanya soal Tiphone, hanya menjawab diplomatis belum mendapat info berkaitan dengan hal itu.

Anehnya walau kasusnya sudah terang benderang seperti ini namun Kejaksaan Agung belum transparan dalam mengungkap kasus ini dan sudah mangkrak 4 tahun di gedung bundar Pidsus Kejagung. Padahal Kejaksaan Agung sudah mendapatkan hasil audit dari BPK, yang menyatakan ada fraud dan indikasi merugikan keuangan negara pada kasus pembelian saham Tiphone ini. Sehingga para LSM Anti Korupsi, meminta KPK mengambil alih pengusutan kasus ini dari Kejaksaan.

Hasil audit BPK ini harus dibuka kepada publik karena Telkom adalah perusahaan publik dan milik rakyat. Pertanyaan publik adalah ada apa ini Pak Jaksa Agung? Mudah-mudahan berkas kasusnya tidak ikut terbakar dalam kasus kebakaran Gedung Kejaksaan Agung. Pastikan bahwa di negara berdasarkan hukum ini, tidak ada satupun orang yang kebal hukum termasuk bagi pejabat Telkom yang sudah beberapa kali diperiksa Jaksa.

 

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar