undang-undang cipta kerja

Omnibus Law Cacat Hukum dari Perspektif Dasar Hukum Pembentukan UU

Minggu, 18/10/2020 07:20 WIB
Corona Saja Sampai Pakai Masker Takut Sama Jokowi yang Lebih Peduli Omnibus Law (Agt)

Corona Saja Sampai Pakai Masker Takut Sama Jokowi yang Lebih Peduli Omnibus Law (Agt)

Jakarta, law-justice.co - Saat ini ramai protes dan demonstrasi yang terus menolak undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja, banyak hal kenapa penolakan diberbagai kalangan dan daerah terus terjadi. Jika melihat perspektif tata cara pembuatan undang-undang tersebut, dimana hal itu diatur pada UU No.12 Tahun 2011 yang mana mengacu pada pasal 20 UUD 1945.

Belum ada aturan dasar hukum dan tata cara pembuatan undang-undang Omnibus Law yang mana menyatukan seluruh aturan dalam satu kerangka undang-undang seperti Omnibus Law Cipta Kerja tersebut. Jadi secara subtantif pembuatan Undang-undang Cipta Kerja ini dapat dinyatakan tidak sesuai dengan tata cara pembuatan undang-undang atau bisa dikatakan cacat hukum dalam hal pembuatannya.

Dalam hal ini seharusnya pemerintah sebagai pemrakarsa atau inisiator pembuatan undang-undang yang mana saat masih bersifat RUU, harusnya melalui tahapan-tahapan pembuatan undang-undang dimana disebutkan dalam pasal 5 UU No.12 tahun 2011 yaitu:

Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik meliputi:
kejelasan tujuan; kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; dapat dilaksanakan; kedayagunaan dan kehasilgunaan; kejelasan rumusan; dan keterbukaan.

Itulah asasnya, sedangkan materinya sesuai dengan Pasal 6 UU No.12/2011, yang meliputi materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan asas:
pengayoman; kemanusiaan; kebangsaan; kekeluargaan; kenusantaraan; bhinneka tunggal ika; keadilan; kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

Selain daripada assa dan materi suatu penyusunan perundang-undangan itu sendiri harus mengikuti jenis dan hirarki suatu perundang-undangan yang mengacu pada pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 yang berbunyi, jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
Peraturan Pemerintah;
Peraturan Presiden;
Peraturan Daerah Provinsi; dan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Lalu timbul pertanyaan apakah Undang-undang Omnibus Law sesuai dengan asas, materi dan hirarki yang telah diatur oleh UU No.12 Tahun 2011 itu? Jawabnya jelas tidak, karena secara yuridis formal undang-undang ini hanya membahas jika Legislatif dan Eksekutif ingin membuat undang-undang baru untuk satu ketentuan bukan menggabungkan atau men-unifikasi undang-undang, peraturan dan ketetapan dalam suatu kerangka Undang-undang baru yang namanya Omnibus Law Cipta Kerja.

Omnibus Law sendiri sebenarnya tidak dikenal oleh perundang-undangan Indonesia yang beracuan pada kontinental orientation dan tata cara pembuatannya pun belum ada sebagai dasar pembentukannya di Indonesia. Omnibus Law ini dikenal pada hukum yang berbasis anglo saxon di Amerika Serikat.

Sesuai dengan catatan diatas serta tahapan-tahapan pembuatan dan sinkronisasi undang-undang dan peraturan ini seharusnya dibuat dulu landasan formalnya atau wadahnya yaitu tata cara pembuatan penyatuan undang-undang dalam kerangka Omnibuslaw yang di usulkan pemerintah.

Jadi dalam analisis ini dapat disimpulkan proses undang-undang cipta kerja ini cacat secara hukum dalam tata cara pembentukannya. Pengajuan RUU Cipta Kerja yang dilakukan Pemerintah tidak terlihat dan dijelaskan bagaimana kajian-kajian akademik yang telah dilakukan, tanggapan-tanggapan stakeholder yang terkait dalam suatu rangkuman pendapat, serta penelitian-penelitian yang telah dilakukan dengan klasifikasi kelas dalam masyarakat.

Seakan-akan publik secara tiba-tiba 6 bulan yang lalu dikabarkan pemerintah memberikan rancangan undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja kepada DPR untuk dibahas, dan juga langsung secara maraton melakukan tahapan dibentuk panitia kerja dan badan legislasi melakukan diskusi dan penyusunannya yang serba cepat seperti kejar target.

DPR terlihat melakukan hal ini sangat tergesa-gesa dimana kita mengetahui sampai tengah malam Panja RUU ini mengesahkan untuk dibawa ke paripurna ditengah malam, sehingga menimbulkan kecurigaan masyarakat/publik ada apakah dengan RUU Cipta Kerja ini? Protes pun mulai dirasakan sampai terjadi drama 2 Partai politik yang menolak yaitu Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera melakukan walkout.

Pada dasarnya melihat tahapan yang harus dilakukan Pemerintah dalam menyusun pengusulan RUU Cipta Kerja ini sangat sulit dimasa pademi covid19 ini, dimana untuk menyusun kajian, tanggapan masyarakat dan penelitian secara konperhensif sangat mustahil dilakukan dimana semua orang banyak yang berkerja dari rumah dan adanya pembatasan pembatasan aktivitas. Bagaimana hal itu bisa dilakukan pemerintah? Itu juga menjadi pertanyaan yang besar.

Oleh karena itu perlu sebenarnya ini menjadi renungan para Hakim Mahkamah Konstitusi nanti jika undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja ini di uji di Mahkamah Konstitusi. Semoga keputusan Mahkamah Konstitusi tidak hanya melihat subtansi isi dari UU Omnibus Law Cipta Kerja ini, akan tetapi juga melihat kaedah-kaedah proses pembuatan undang undang serta dasar hukum pembuatan undang undang itu sendiri.

Walaupun UU pembentuk­an perundang-undangan tidak mengakomodasi pembentukan Omnibus Law, tetap dapat dilakukan dengan menciptakan konsep Omnibus-Hybrid atau Quasi Omnibus Law atau penggabungan common dan civil law system. Dari sini saja pemerintah jelas mengakui tidak ada dasarnya.

Menolak Substansi Omnibus Law

Mencermati pandangan para pakar di masing-masing bidang/cluster terhadap substansi dari Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja yang saat ini telah berada di tangan Presiden, tidak dapat dipungkiri bahwa Undang-Undang tersebut sangat "ramah" kepada investor asing.

Berbagai kemudahan bagi para investor asing memang terpampang di setiap kalimat, pasal demi pasal dalam Undang-Undang tersebut. Dari pandangan Forum Rektor, Guru Besar, Fakultas Hukum UGM, FH Universitas Indonesia, Ketua Umum PBNU, Ketua Umum PP Muhammadiyah, pandangan ICMI, dan sejumlah pandangan pakar yang disampaikan dalam kapasitas pribadi, seperti Azyumardi Azra, Faisal Basri, Rizal Ramli, Didin S Damanhuri, Refly Harun, pada intinya semuanya menolak UU tersebut bagi secara keseluruhan.

Alasannya karena cacat formil maupun materiil, maupun karena alasan yang lebih luas menyangkut tataaturan hukum, tata kelola pembangunan nasional, dalam rangka menjalankan amanat Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Secara psikoreligie, maupun psikososial publik menangkap pesan yang sangat kuat, munculnya pandangan diberbagai elemen masyarakat bahwa Negara Republik Indonesia, sedang berada dalam penguasaan oligarkhi yang membentuk tirani mayoritas. Juga terdapat pandangan bahwa pemerintahan Jokowi anti kepada umat Islam. 

Situasi sosial politik yang mengharu biru, ditengah tekanan aparat kepolisian yang bertindak anarkhis, represif terhadap para kelompok-kelompok masyarakat yang menyuarakan penolakan terhadap Undang-Undang tersebut, telah melihat adanya potensi perlawanan massa, terutama buruh dan mahasiswa yang hingga kapan akan berakhir.

Juga terbaca, dalam berbagai media sosial, bahwa umumnya masyarakat sedang anti-pati terhadap pemerintah, nampak dari mudahnya terjadi trending topic terhadap perilaku yang dipandang kurang baik atas apa yang dilakukan pejabat pemerintah dan aparat polisi.

Ketidakpercayaan kepada wakil-wakil rakyat di DPR, yang tentu beririsan dengan ketidakpercayaan kepada partai-partai politik, mulai bergerak naik. Demikian dengan ketidakpercayaan kepada KPK, kepada hakim, kepada Kejaksaan Agung dan Kepolisian dalam menjalankan tugas penegakan hukum, terutama dalam pemberantasan korupsi.

Menyaksikan hal demikian, jelaslah bahwa negara dalam keadaan tidak baik-baik saja. Keutuhan NKRI sedang dipertaruhkan oleh Jokowi dan pemerintahannya melalui sejumlah kebijakan yang tidak sensitif terhadap masyarakat pribumi. Tidak sensitif atas fakta-fakta terjadinya jurang pemisah yang semakin lebar antara yang kaya dengan yang miskin. Tidak sensitif terhadap ketidakadilan dalam penegakan rasa keadilan.

(Farid Fathur\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar