Aspek Indonesia Desak Jokowi Batalkan UU Ciptaker Tanpa Uji Materi

Jum'at, 16/10/2020 19:08 WIB
Demo Akbar Buruh Tolak Omnibus Law. (Agusto/law-justice)

Demo Akbar Buruh Tolak Omnibus Law. (Agusto/law-justice)

Jakarta, law-justice.co - Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK Indonesia) mendesak Presiden Joko Widodo atau Jokowi untuk membatalkan UU Cipta Kerja yang telah disahkan oleh DPR pada tanggal 5 Oktober yang lalu. Aspek Indonesia meminta agar Jokowi segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu) untuk membatalkan UU Cipta Kerja tersebut.

"Hal itu sesuai amanat Undang Undang Dasar (UUD) 1945 dan mewujudkan nilai-nilai Pancasila, dalam memberikan jaminan perlindungan kepada segenap rakyat Indonesia," kata Presiden ASPEK Indonesia Mirah Sumirat dalam keterangan persnya, Jumat (16/10/2020).

Mirah lantas membeberkan sejumlah hal yang harus menjadi bahan pertimbangan Jokowi untuk membatalkan UU yang terus ditolak oleh buruh dan sejumlah eleman masyarakat di Indonesia itu.

" Pertama, sejak awal proses legislasi, mulai perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan dan pengundangan, UU Cipta Kerja telah memicu kontroversi dan kritik dari banyak elemen masyarakat. Baik terkait prosesnya yang minim partisipasi publik dan tidak melibatkan unsur tripartit sejak awal penyusunan, maupun isinya yang hanya menguntungkan kelompok pengusaha dan merugikan rakyat," katanya.

Lalu, kedua, telah terjadi penolakan baik saat masih RUU maupun setelah pengesahan UU Cipta Kerja, yang semakin meluas dari berbagai elemen masyarakat, termasuk Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, tokoh agama lintas kepercayaan, mahasiswa, akademisi, aktivis lingkungan, kalangan jurnalis, pendidik, masyarakat adat, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, dan lain sebagainya. Seluruhnya secara umum menilai bahwa UU Cipta Kerja hanya mementingkan kelompok pengusaha dan merugikan rakyat.

"Ketiga, pengesahan UU Cipta Kerja dilakukan secara terburu-buru dan dipaksakan. Bahkan ketika pengesahan, anggota DPR tidak menerima naskah UU Cipta Kerja yang disahkan," lanjutnya.

Bahan pertimbangan keempat adalah bahwa proses penyusunan dan pengesahan UU Cipta Kerja, termasuk berbagai penolakan dari masyarakat, telah menjadi sorotan dunia internasional. Bahkan Council of Global Unions yang terdiri dari International Trade Union Confederation (ITUC), UNI Global Union, IndustriAll, BWI, ITF, EI, IFJ, IUF, PSI selaku konfederasi dan federasi serikat pekerja tingkat dunia, bersama federasi serikat pekerja internasioanl dan organisasi serikat pekerja dari berbagai negara, antara lain Japanese Trade Union Confederation (JTUC-Rengo), Central Autonoma de Trabajadores del Peru, FNV Netherlands, Memur-Sen Turky, juga sudah mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo.

Inti surat tersebut adalah menyerukan kepada pemerintah Indonesia untuk mencabut Omnibus Law UU Cipta Kerja, karena menimbulkan ancaman bagi proses demokrasi, serta menempatkan kepentingan dan tuntutan investor asing di atas kepentingan pekerja, komunitas dan lingkungan. Organisasi serikat pekerja internasional juga prihatin bahwa prosedur dan substansi Omnibus Law UU Cipta Kerja tidak sejalan dengan hak asasi manusia di Indonesia, dan hukum hak asasi manusia internasional.

Pemerintah harus memastikan bahwa undang-undang di masa depan tidak mengurangi hak dan manfaat yang telah ada dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003 serta standar ketenagakerjaan internasional.

Beberapa catatan di atas, tentunya harus menjadi perhatian Presiden Joko Widodo, agar upaya pemulihan ekonomi khususnya di masa pandemi dapat menjadi lebih prioritas.

"Pemerintah sebagai representasi Negara harus hadir untuk menjamin terpenuhinya jaminan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, sesuai amanat UUD 1945," tutupnya.

 

(Nikolaus Tolen\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar