Dr. Mustafa Fakhri, SH, MH, LLM, Ketua Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Esensi RUU Cipta Kerja: Proses Legislasi yang Ugal-ugalan

Jum'at, 16/10/2020 00:01 WIB
Mustafa Fakhri Ketua Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia (industry.co,id)

Mustafa Fakhri Ketua Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia (industry.co,id)

Jakarta, law-justice.co - Berdasarkan UU No. 12 tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 15 tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3), terdapat 5 tahapan proses legislasi. Yakni, tahap perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan dan pengundangan. Sejak mulai dari proses perencanaan, Presiden Jokowi telah menyampaikan akan menerbitkan omnibus law pada saat pidato presiden di hadapan MPR saat pelantikan untuk periode kedua. Sejak saat itu, presiden dengan bangganya mempromosikan metode ini di hadapan beberapa tamu negara sahabat.

Kemudian, memasuki tahap penyusunan yang juga diawali dengan terbitnya Surpres (Surat Presiden) per tanggal 7 Februari 2020. Pembahasan pun nyaris luput perhatian publik lantaran rapat-rapat lebih sering diselenggarakan di hotel. Sementara warga sedang fokus dengan pandemi, dan kebalikannya anggota Dewan juga seakan tak peduli dengan Covid-19. Lalu sekonyong-konyong Dewan merasa sudah cukup dengan proses pembahasan dan beranjak pada proses selanjutnya yakni tahap pengesahan di sidang paripurna.

Sidang yang awalnya dijadwalkan tanggal 8 Oktober itu pun dimajukan jadi tanggal 5 Oktober 2020 tanpa alasan yang crystal clear yang diungkapkan ke publik. Bahkan proses pengesahan pun diwarnai dengan adanya aksi walk out oleh sejumlah anggota Fraksi Partai Demokrat, lantaran pimpinan sidang yang tidak akomodatif terhadap interupsi koleganya sendiri. Apalagi ditambah dengan kenyataan bahwa tidak ada satu anggota DPR pun, termasuk anggota Badan Legislasi (Baleg), yang merasa memegang versi mutakhir dari RUU yang mengulas perubahan dari 79 UU ini. Kini, rakyat kembali disuguhi dengan fakta bahwa paling kurang ada 5 versi RUU yang bertebaran di media sosial, sebagai sarana yang saat ini paling dipercaya oleh masyarakat.

PSHTN FHUI menilai bahwa proses pembentukan undang-undang saat ini bukan lagi kotor, namun sudah sangat jorok. Adapun hal ini disebabkan karena:
1. Perumusan UU dengan metode omnibus, tidak dikenal dalam UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3). Padahal pada tahun 2019, pembentuk UU sempat melakukan amandemen UU P3 dimaksud. Namun sayangnya momentum tersebut tidak digunakan untuk merancang metode omnibus, agar terbentuk payung hukum bagi metode yang sama sekali baru dalam sejarah perundang-undangan di negeri ini.

2. Adanya Satgas Omnibus Law yang dituangkan dalam Keputusan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 378 Tahun 2019. Satgas ini bertugas untuk melakukan konsultasi publik Omnibus Law Penciptaan Lapangan Kerja dan Perpajakan serta melakukan inventarisasi masalah dan memberikan masukan dalam rangka penyempurnaan regulasi hasil konsultasi publik. Problemnya, satgas ini dipimpin oleh Ketua Umum KADIN (Kamar Dagang dan Industri) dan melibatkan sejumlah pengusaha. Maka tak heran jika kemudian publik mencurigai adanya konflik kepentingan dari para pengusaha tersebut untuk terlibat mempengaruhi substansi dalam materi pengaturan RUU dimaksud.

3. Dalam proses pembahasan anggota Dewan yang terhormat ini juga terkesan bermain petak umpet sepanjang proses pembahasan pada Pembicaraan tingkat 1. Rajinnya anggota dewan yang menggelar 64 kali rapat yang dilakukan nonstop Senin-Minggu, pagi hingga malam dan bahkan juga di masa reses, ini juga patut dicurigai. Karena terkesan tidak ingin diketahui publik, sehingga partisipasi masyarakat yang dikehendaki oleh UU P3 pun tercederai. Padahal, resesnya anggota Dewan adalah masa yang seharusnya digunakan untuk melaksanakan fungsi representasi dengan mengadakan pertemuan dengan konstituen masing-masing. Dan lagi-lagi akibatnya, aspirasi masyarakat yang seharusnya bisa terakomodasi dengan baik melalui kegiatan anggota Dewan di masa reses ini pun kembali menjadi korbannya.

4. Rapat paripurna untuk mengesahkan RUU yang sangat kontroversial ini, juga terkesan terburu-buru. Karena awalnya rapat paripurna terjadwal pada tanggal 8 Oktober 2020. Namun tanpa ada penjelasan, tiba-tiba last minute rapat dimajukan menjadi tanggal 5 Oktober 2020. Yang paling menyedihkan, tak satu pun anggota Dewan yang pegang naskah final RUU Cipta Kerja. Alasannya, kabarnya karena naskahnya masih dalam perbaikan. Lalu apa yang diketuk untuk disahkan saat sidang paripurna itu? Sepanjang Republik ini berdiri, rasanya baru kali ini terjadi praktik dimana anggota Dewan celingukan pada saat Sidang Paripurna pengesahan RUU menjadi UU, lantaran tidak pegang naskah final dari suatu RUU.

5. Puncak dari segala kontroversi ini adalah adanya beberapa versi naskah yang justru mencuat setelah RUU tersebut katanya dinyatakan telah disahkan dalam rapat paripurna 5 Oktober 2020. Setidaknya ada beberapa versi, yakni 1.028, 905, 1.052, 1.035 dan 812 halaman. Dalam hal ini, maka sangat tidak berdasar manakala Polri menjadikan beberapa aktivis sebagai tersangka penyebaran hoaks. Karena tak ada satu pun warga yang mengetahui secara pasti versi yang mana yang dianggap sebagai the final version dari RUU dimaksud. Karena itu, sangat beralasan apabila ada yang terpikir bahwa penangkapan sejumlah aktivis itu tak lain adalah semacam presidential prank.

6. Terakhir, menurut penuturan Aziz Syamsudin (Wakil Ketua DPR RI), draft final yang akan dikirim ke Presiden adalah yang versi 812 halaman, termasuk penjelasan batang tubuhnya. Berdasarkan hasil penelusuran PSHTN FHUI, jika dibandingkan antara naskah RUU versi 812 halaman (filenya berjudul "ruu-cipta-kerja-12-oktober-2020-final") dengan versi 1035 halaman (filenya berjudul "RUU Cipta Kerja - KIRIM KE PRESIDEN"), terdapat beberapa penambahan substansi baru yakni di antara Bab VIA, Bab VI, dan Bab VII. Bab ini mengatur tentang Kebijakan Fiskal Nasional yang berkaitan dengan Pajak dan Retribusi. Jika benar ini yang terjadi, maka ini sudah luar biasa pelanggarannya. Bahkan perubahan titik-koma saja sudah bisa merubah makna dari suatu norma pengaturan, apatah lagi penambahan beberapa norma baru setelah sidang paripurna pengesahan.

Menanggapi hal tersebut diatas, PSHTN FHUI menyatakan sikap sebagai berikut:
1. Mendesak Presiden Jokowi untuk menerbitkan Perppu yang mencabut UU Cipta Kerja, segera setelah RUU tersebut resmi menjadi UU. Seraya memastikan agar partai koalisi pendukung pemerintah yang ada di DPR RI untuk tidak lagi melakukan proses legislasi yang ugal-ugalan macam saat ini, di masa yang akan datang.

2. Mendukung penuh setiap penyampaian aspirasi dari berbagai elemen masyarakat dalam bentuk apapun sebagai perwujudan dari kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat secara lisan dan tulisan, dengan tetap memperhatikan koridor hukum.

3. Manakala Presiden enggan untuk menerbitkan Perppu pencabutan UU Cipta Kerja, maka PSHTN FHUI menyerukan kepada warga masyarakat untuk bersiap-siap untuk menempuh jalur konstitusional dengan menjadi pemohon dalam pengujian formiil maupun materiil terhadap UU Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi, serta tetap menjaga akal sehat untuk senantiasa bersikap kritis terhadap setiap kejanggalan yang dilakukan oleh pemerintah maupun DPR RI.

4. Mengecam segala bentuk aksi anarkis yang dilakukan oleh oknum anggota masyarakat maupun tindakan represif yang dilakukan oleh oknum anggota POLRI dengan menggunakan kekerasan yang di luar kewajaran, baik terhadap para demonstran, maupun terhadap para jurnalis yang sedang menjalankan amanah sesuai profesinya. Kepolisian seharusnya bisa memberi keteladanan dan menahan diri untuk tidak bertindak represif dan menghindari jatuhnya korban.

5. Mendesak KAPOLRI sebagai pimpinan tertinggi di bawah Presiden yang bertanggung jawab pada sektor keamanan negara, untuk melepas semua aktivis yang dituding menyebarkan hoaks karena pikiran tidak bisa dikriminalkan. Apalagi dasar tudingan penyebaran kebohongannya itu pun ada banyak versi. Seiring dengan itu, juga mendesak agar pimpinan POLRI untuk memproses hukum semua oknum POLRI yang menggunakan kekerasan terhadap aksi warga negara yang telah dijamin dalam konstitusi republik ini. Keadilan harus ditegakkan terutama kepada mereka yang telah melakukan pelanggaran HAM terhadap warga negara dan melakukan tindak kekerasan terhadap mahasiswa, pelajar, tim medis serta para jurnalis.

6. Meminta KAPOLRI untuk menggunakan golden momentum ini untuk mereformasi institusinya dengan tata kelola yang jauh lebih profesional. Dukungan Anggaran yang meningkat tajam selama satu periode ini, akan memberi kesempatan yang luar biasa kepada KAPOLRI untuk melakukan banyak hal demi terwujudnya kepolisian yang profesional dan imparsial.

Demikian rilis ini kami sampaikan sebagai bentuk sumbangsih intelektual yang didasari kecintaan kami kepada negeri ini, demi terwujudnya the rule of law yang lebih baik lagi di negeri ini. Semoga kita semua senantiasa berada dalam lindunganNya.

 

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar