PDIP: Bukan Tolak UU Ciptaker, Aksi 1310 Mau Jatuhkan Presiden Jokowi!

Kamis, 15/10/2020 05:58 WIB
Persaudaraan Alumni 212 menggelar aksi demonstrasi penolakan omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja di silang Monas, Selasa (13/10). Robinsar Nainggolan

Persaudaraan Alumni 212 menggelar aksi demonstrasi penolakan omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja di silang Monas, Selasa (13/10). Robinsar Nainggolan

Jakarta, law-justice.co - Politisi PDI Perjuangan, Kapitra Ampera menyatakan aksi unjuk rasa yang digelar pada Selasa 13 Oktober 2020 atau yang disebut aksi 1310 tidak murni menolak UU Cipta Kerja yang telah disetujui DPR bersama pemerintah.

Kata dia, aksi demonstrasi tersebut justru bertujuan ingin menggulingkan Presiden Joko Widodo.

Kapitra mengatakan hal itu karena melihat isu yang dibawa dalam aksi kali ini tidak satu. Kata dia, ada sejumlah tuntutan lain yang menurutnya disuarakan pengunjuk rasa.

Sebagai informasi, aksi 1310 dilakukan oleh Front Pembela Islam (FPI), Persaudaraan Alumni (PA) 212, GNPF Ulama dan beberapa elemen lain yang tergabung dalam ANAK NKRI

“Saya melihat demo ini demo yang tidak fokus, demo yang tidak kontekstual, melebar kemana-mana dan nampak sekali demo ini tidak berkaitan dengan UU. Demo ini sebagai pintu masuk aja bagaimana ingin menjatuhkan Pak Jokowi sebagai presiden,” kata Kapitra dalam keterangannya, Rabu 14 Oktober 2020.

Bagi Kapitra, massa yang merupakan gabungan dari beberapa ormas Islam itu sengaja membentuk framing kebencian kepada Presiden Joko Widodo.

Pasalnya, massa aksi masih menuntut UU Haluan Ideologi Pancasila dalam aksi mereka, padah UU tersebut telah ditunda pembahasannya.

“Nggak ada fokusnya mereka, gak bisa bedakan mana UU omnibus law, mana UU Cipta Kerja, terus merambah lagi ke UU HIP. Segala pandangan dan argumentasi disampaikan demi membuat framing pemerintah telah salah dalam mengambil kebijakan,” ujarnya.

Menurut dia, demonstrasi bukanlah pilihan yang bijak dalam mengemukakan aspirasi karena berpotensi dilakukan secara anarkis, menimbulkan korban dan merusak berbagai fasilitas umum, namun tidak akan tertuju terhadap tercapainya keinginan peserta aksi.

“Jika benar dugaan adanya agenda tersembunyi aksi untuk menjatuhkan pemerintah dengan cara-cara yang tidak konstitusional, maka hal tersebut merupakan tindakan makar sebagaimana yang diatur di dalam ketentuan 107 KUHP,” jelasnya.

Masih kata Kapitra, seruan-seruan ketidakpercayaan dan ajakan menjatuhkan pemerintah dilakukan meraka selama ini sudah masuk dalam makar politik, bukan lagi sekedar kritikan terhadap pemerintah.

“Intinya mereka ingin ganti presiden, bukan lagi koreksi konstruksi terhadap kinerja presiden atau pemrintah tapi sudah masuk kepada makar politik,” tutupnya.

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar