Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Jerat Pasal Karet Bagi Aktivis Penolak UU Omnibus Law Cipta Kerja

Rabu, 14/10/2020 14:49 WIB
Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI. (ist)

Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI. (ist)

Jakarta, law-justice.co - Sekurang-kurangnya ada 8 orang aktivis pentolan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) yang ditangkap polisi dengan tuduhan menyebarkan narasi bernada permusuhan dan SARA.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Mabes Polri Brigjen (Pol) Awi Setiyono, seperti dikutip pers menjelaskan narasi bernada permusuhan dan SARA tersebut menyulut demo UU Cipta Kerja pada pekan lalu yang berujung ricuh.

Menurut Awi penangkapan delapan orang tersebut tidak bersamaan dan berbeda tempat yang dilakukan sejak tanggal 9 Oktober 2020,hingga hari  Selasa (13/10/2020). “Tim melakukan penangkapan secara berturut-turut. Mereka memberikan informasi yang membuat rasa kebencian dan permusuhan terhadap individu atau kelompok berdasarkan SARA dan penghasutan," ujar Awi di Mabes Polri, Selasa 23/10/2020.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigjen Awi Setiyono, mengatakan mereka yang ditangkap  dijerat dengan Pasal 45A ayat 2 UU RI No 19 Tahun 2016 tentang ITE dan/atau Pasal 160 KUHP tentang Penghasutan.

Ditangkapnya para aktifis penolak UU Omnibus Law cipta kerja menyusul jerat hukum yang dikenakan kepadanya dinilai melanggar prinsip-prinsip demokrasi yang menjamin adanya perbedaan pendapat yang merupakan hak dasar warga negara. Selain itu pengenaan Pasal 45A ayat 2 UURI No 19 Tahun 2016 tentang ITE dan/atau Pasal 160 KUHP tentang Penghasutan dinilai sebagai pasal karet untuk membungkam aktifis yang lantang bersuara.

Apa sebenarnya yang disebut dengan pasal karet dalam pemidanaan di sistem hukum pidana kita ?. Benarkah pasal karet ini digunakan untuk membungkam para aktifis yang lantang suaranya dalam menolak UU omnibuslaw cipta kerja ?

Pasal Karet

Definisi pasal karet menurut KBBI  (Kamus Besar Bahasa Indonesia), adalah pasal dalam undang-undang yang tidak jelas tolok ukurnya. Dari Wikipedia bahasa Indonesia, Pasal karet adalah sebutan dari sebuah pasal atau undang-undang yang dianggap tak memiliki tolok ukur yang jelas.

Dengan demikian Pasal karet adalah pasal yang tafsirannya sangat subjektif dari penegak hukum ataupun pihak lainnya sehingga dapat menimbulkan tafsiran yang beragam (multitafsir).Di Indonesia, pasal-pasal berlaku yang dianggap sebagai pasal karet antara lain  UU ITE dan pasal Penghasutan di KUHP.

Mengapa sebagian dari pasal pasal di UU IT mengandung pasal karet ? Seperti kita ketahui bersama, UU No. 11 Tahun 2008 kemudian direvisi dengan UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) untuk lebih menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain sesuai dengan koridor hukum yang ada. 

Namun ada beberapa pasal dalam UU ITE yang menimbulkan multitafsir yang di masyarakat dikenal dengan “pasal karet”. Materi UU ITE sangat berpotensi memberikan ancaman kembali terhadap hak atas kebebasan berekspresi di Indonesia, salah satunya terkait  ujaran kebencian Pasal 45A ayat (2) UU 19/2016, yakni:

“Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar.”

Efektivitas pasal tentunya dapat dilihat dari setidaknya dua sisi, yaitu pengaturan dan penerapan/penegakan (law enforcement). Secara pengaturan, perumusan pasal ini sudah dinilai cukup. Sedangkan, dalam aspek penerapan/penegakan pasal yang dimaksud, tentu bergantung pada tiap-tiap kasus yang terjadi atau dengan kata lain penerapan pasal tersebut relatif sulit diukur parameter efektivitasnya. Karena ketidakjelasan ukuran parameternya inilah yang menjadikan pasal ini disebut sebut sebagai pasal karet sehingga sangat tergantung pada pihak yang menafsirkannya.

Selain pasal Pasal 45A ayat (2) UU 19/2016 tentang ITE, pasal lain yang dinilai sebagai pasal karet adalah pasal 160 KUHP tentang  Penghasutan. Pasal 160 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) ini berbunyi :

“Barang siapa di muka umum dengan lisan atau tulisan menghasut supaya melakukan perbuatan pidana, melakukan kekerasan terhadap penguasa umum atau tidak menuruti baik ketentuan undang-undang maupun perintah jabatan yang diberikan berdasar ketentuan undang-undang, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”

R Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal 136-137) menerangkan bahwa: “menghasut” artinya mendorong, mengajak, membangkitkan atau membakar semangat orang supaya berbuat sesuatu. Dalam kata “menghasut” tersimpul sifat “dengan sengaja”. Menghasut itu lebih keras daripada “memikat” atau “membujuk”, akan tetapi bukan “memaksa”.

Orang memaksa orang lain untuk berbuat sesuatu, menurut Soesilo, bukan berarti menghasut. Cara menghasut orang itu misalnya secara langsung: “Seranglah polisi yang tidak adil itu, bunuhlah, dan ambillah senjatanya!” ditujukan terhadap seorang polisi yang sedang menjalankan pekerjaannya yang sah. Sedangkan cara menghasut orang secara tidak langsung, seperti dalam bentuk pertanyaan: “Saudara-saudara, apakah polisi yang tidak adil itu kamu biarkan saja, apakah tidak kamu serang, bunuh, dan ambil senjatanya?”

Menghasut itu dapat dilakukan baik dengan lisan, maupun dengan tulisan. Apabila dilakukan dengan lisan, maka kejahatan itu menjadi selesai jika kata-kata yang bersifat menghasut itu telah diucapkan. Jika menghasut dengan tulisan, hasutan itu harus ditulis dahulu, kemudian disiarkan atau dipertontonkan pada publik.

Orang hanya dapat dihukum apabila hasutan itu dilakukan di tempat umum, tempat yang didatangi publik atau dimana publik dapat mendengar. Tidak perlu penghasut itu berdiri di tepi jalan raya misalnya, akan tetapi yang disyaratkan ialah di tempat itu ada orang banyak. Tidak mengurangkan syarat bahwa hasutan harus di tempat umum dan ada orang banyak, hasutan itu bisa terjadi meskipun hanya ditujukan pada satu orang. 

Orang yang menghasut dalam rapat umum dapat dihukum demikian pula di gedung bioskop, meskipun masuknya degan karcis, karena itu adalah tempat umum, sebaliknya menghasut dalam pembicaraan yang bersifat “kita sama kita” (onder onsjes, vertrouwelijk) itu tidak dapat dihukum.

Maksud hasutan itu harus ditujukan supaya: dilakukan suatu peristiwa pidana (pelanggaran atau kejahatan) = semua perbuatan yang diancam dengan hukuman, melawan pada kekuasaan umum dengan kekerasan,  jangan mau menurut pada peraturan perundang-undangan dan  jangan mau menurut perintah yang sah yang diberikan menurut undang-undang

Dalam konteks ini Rizal Ramli pernah mengajukan permohonan pengujian pasal 160 KUHP karena menganggap pasal penghasutan itu bertentangan dengan kebebasan menyampaikan pendapat dan kepastian hukum yang dijamin UUD 1945. Selain itu, Rizal menganggap materi pasal 160 merusak nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia. Ia meminta Mahkamah Konstitusi menyatakan pasal 160 KUHP bertentangan dengan konstitusi, dan konsekuensinya, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Meskipun sudah ada beberapa pasal yang dibatalkan Mahkamah Konstitusi, KUHP masih rawan dipakai penguasa untuk membungkam lawan politik. Salah satunya, pasal 160 yang berisi rumusan tentang penghasutan. Berbekal pasal ini, penguasa mengawasi pidato tokok-tokoh yang dianggap potensial menjadi lawan politik. Jika dianggap membahayakan, lawan politik itu dipidanakan dengan tuduhan melakukan penghasutan.

Pasal 160 KUHP sangat rentan ditafsirkan dan diimplementasikan sesuai selera penguasa. Sehingga pasal 160 ini juga masuk kategori sebagai pasal karet yang bisa ditafsirkan sesuai dengan selera para penafsirnya.

Alat Pembungkaman

Penangkapan terhadap pentolan  aktifis KAMI seperti Syahganda Nainggolan, Anton Permana, Jumhur Hidayat dan yang lain lainnya semakin menambah daftar panjang para aktifis yang ditangkap oleh aparat keamanan. 

Sebelumnya diketahui, polisi juga mengamankan Ketua KAMI di Kota Medan, Sumatera Utara karena diduga terlibat dalam demo menolak Omnibus Law Cipta Kerja yang berujung ricuh di Medan."(Ketua) KAMI Medan Khairi Amri sedang diperiksa di polrestabes. Sudah kami tangkap," kata Kapolda Sumut Irjen Pol Martuani Sormin saat dikonfirmasi, Senin (12/10).

Kadiv Humas Polri Inspektur Jenderal Polisi Argo Yuwono mengungkapkan, kepolisian menetapkan 167 tersangka terkait aksi unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja (Ciptaker) pada 5-8 Oktober 2020 lalu yang berujung rusuh. Dari jumlah itu, 96 tersangka ditahan.

Argo menerangkan, awalnya pada 5 Oktober 2020 terjadi empat aksi di kota yaitu, di Jakarta Pusat, Sleman dan Tangerang. Pada 6 Oktober 2020 menyusul empat aksi yakni di Bandung, Serang, dan Makassar."Tanggal 7 Oktober ada 8 aksi yakni Bandung, Jambi, Bandar Lampung, Majene dan Mamuju. Pada tanggal 8 Oktober 2020 ada 95 aksi demo di seluruh wilayah Indonesia ini di 34 provinsi ada semua. Terakhir 9 Oktober ada enam aksi ada di Jakarta, Gorontalo, NTB dan Banten," ujar Argo Yuwono saat konferensi pers bersama di Mapolda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Senin (12/10) seperti dikutip detiknews.com.

Mereka yang ditangkap rata rata dijerat dengan pasal 45A (2) UU IT dan UU KUHP khususnya pasal 160.Penangkapan ini telah memicu protes dari para pengamat dan aktifis antara lain disampaikan oleh Anggota Komisi I DPR, Fadli Zon. Lewat akun twiternya  ia mengaku malu pada dunia karena masih menyebut Indonesia sebagai negara demokrasi.Ia menyesalkan perbedaan pendapat dan sikap malah dimusuhi dan dijerat.

Bahkan, orang yang berbeda pendapat tersebut juga bisa ditangkap. Padahal, kata Fadli Zon, kekuasaan tidak pernah abadi."Cara cara  lama dipakai lagi di era demokrasi.Malu kita pada dunia masih berani menyebut “negara demokrasi”.Perbedaan pendapat  dan  sikap dimusuhi dijerat ditangkap.Padahal kekuasaan tak pernah abadi," tulis Fadli Zon, Selasa (13/10/2020).

Sementara itu Direktur Eksekutif Amnesty International Usman Hamid mengkritik langkah polisi yang melakukan penangkapan terhadap aktivis KAMI terkait aksi unjuk rasa menolak Undang-Undang Cipta Kerja. Usman menilai langkah polisi tersebut hanya untuk menyebar ketakutan. "Penangkapan ini dilakukan untuk menyebar ketakutan di antara mereka yang mengkritik pengesahan omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja," kata Usman dalam keterangan tertulis, Selasa (13/10/2020). 

Kalau di identifikasi lebih jauh sebenarnya penerapan pasal pasal karet terhadap aktifis KAMI yang menolak RUU Omnibuslaw Cipta Kerja secara langsung sebenarnya telah menyebabkan terkekangnya kebebasan menyatakan pendapat terutama dalam beropini dan memberikan kritik kepada pmerintah yang berkuasa. Pada hal kritik itu bagaimanapun diperlukan dalam negara demokrasi demi kebaikan bersama. Karena pemerintah tidak selalu benar dalam menjalankan amanah yang diberikan rakyat  kepadanya. 

Penangkapan para aktifis karena perbedaan pendapat ini akan menyebabkan orang untuk menahan diri untuk berbicara bahkan pada akhirnya bisa menumbuhkan sikap apatisme untuk tidak berpendapat karena takut diciduk oleh penguasa melalui aparat negara.

Fenomena tersebut  akan mengambat  perkembangan demokrasi. Padahal budaya cyberspace yang berkembang saat ini membutuhkan masyarakat yang lebih demokratis,kritis  dan terbuka. 

Menjerat para aktifis KAMI dengan pasal pasal karet di UU IT dan KUHP juga  akan menimbulkan kesewenang-wenangan karena para penegak hukum dengan leluasa menafsirkan bunyi pasal sesuai dengan keinginannya. Posisi ini sangat rawan untuk  penyalahgunaan wewenang mereka yang berkuasa yaitu bisa dijadikan alat untuk balas dendam atau menjatuhkan lawan politik pemerintah yang sekarang berkuasa.

Penerapan pasal pasal karet juga akan mengganggu upaya untuk menjamin kepastian hukum. Karena putusan terkait pasal-pasal multitafsir menjadiberagam bahkan bertolak belakang. Sudah barang tentu kalau kondisi ini berlangsung terus bisa  memicu keresahan dan perselisihan warga masyarakat yang dengan mudah melaporkan kepada penegak hukum dan menambah sumber konflik antara penguasa dan anggota masyarakat. 

Menjerat aktifis KAMI dengan pasal pasal karet pada akhirnya akan memunculkan ketidakefektifan karena beberapa pasal dalam UU IT merupakan duplikasi dengan aturan KUHP seperti Pasal 27 ayat (3) UU ITE terkait penghinaan dan pencemaran nama baik telah diatur juga dalam Pasal 310 dan 311 KUHP.

Dampak dampak penerapan pasal karet diatas telah membuat tujuan hukum pembentukan hukum  tidak sepenuhnya dapat terlaksana dengan baik. Adapun tujuan hukum yang baik adalah memberikan kepastian, kemanfaatan dan keadilan. Kepastian jelas tidak terwujud karena keberadaan pasal-pasal multitafsir telah mengakibatkan munculnya keberagaman putusan hakim. 

Kemanfaatan tentunya tidak akan didapat terutama masyarakat yang ketakutan dengan jerat hukum pasal karet  sehingga memilih untuk tidak berpendapat. Sedangkan keadilan, sulit diperoleh karena pasal multitafsir memicu terjadinya tindakan sewenang-wenang.

Sesuai namanya pasal karet memiliki satu kesamaan yaitu adanya ketidakjelasan tolok ukur untuk menjerat seseorangn yang didakwa melakukan pelanggaran yang diatur, misalnya terkait kesusilan, kebencian, penghinaan, penghasutan dan tindakan menakut-nakuti. Karena itu pasal pasal karet sebaiknya memang  dilengkapi rumusan tolok ukur yang jelas sehingga tercipta kepastian hukum sehingga tidak “ngaret” lagi.

Sementara indikator tolok ukur itu belum jelas apa tidak sebaiknya dugaan pelanggaran terhadap UU ITE maupun KUHP yang mengandung pasal karet diselesaikan secara kekeluargaan terlebih dahulu dimana si pembuat konten diundang untuk mengklarifikasi pernyataan atau unggahannya..Jadi tidak asal tangkap mentang mentang punya kuasa. 

Selain itu bagi mereka yang  mengadu atau melaporkan pelaku  kepada Polisi haruslah disertai dengan bukti-bukti yang mendukung seperti: screenshot postingan dalam media sosial. Proses penyelesaian sengketa seperti ini juga sejalan dengan prinsip hukum pidana ultimum remidium, yaitu sebagai upaya terakhir.

Akhirnya kita berharap rejim yang berkuasa sekarang ini menyadari posisinya sebagai sebuah rejim yang lahir dari rahim gerakan reformasi mahasiswa bersama tokoh tokoh nasional yang menggulingkan pemerintah Orde baru (Orba). Kalau rejim yang lahir dari gerakan reformasi itu kemudian melakukan cara cara  sama yang dipakai oleh Orba dalam menjinakkan para aktifis maka rejim model apakah ini namanya ?

 

(Editor\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar