Agustinus Edy Kristianto

Dua Wajah Omnibus Law, Waspada Tim Koboi Penguasa Mulai Bekerja

Selasa, 13/10/2020 12:05 WIB
Tak Peduli Corona dan Penolakan Rakyat, Penguasa Geber UU Omnibus Law Titipan Asing dan Aseng (Agt)

Tak Peduli Corona dan Penolakan Rakyat, Penguasa Geber UU Omnibus Law Titipan Asing dan Aseng (Agt)

Jakarta, law-justice.co - Majalah Tempo edisi terbaru Senin ini membuat cover story “Dua Wajah Omnibus” dan teaser-nya “Pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat dan kalangan pengusaha bersiasat menggolkan Undang-Undang Cipta Kerja. Lalu "Polisi dan intel dikerahkan untuk menggembosi pengunjuk rasa.”

Ada artikel utama berjudul “Operasi Caesar Omnibus” dan teaser-nya “Berbagai pasal yang menguntungkan pengusaha masuk pada detik-detik akhir pembahasan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. Partai Golkar menjadi motor berbagai perubahan tersebut. Dinilai cacat formil karena draf final belum ada saat pengesahan.”

Saya tidak akan tangkap layarkan konten elektroniknya, karena salah kalau saya begitu. Itu konten berlangganan. Silakan Anda baca sendiri versi elektronik atau cetaknya.

Sudut pandang yang diangkat “Tempo” sudah saya raba sejak awal dalam tulisan-tulisan saya. Masalah draf RUU Cipta Kerja yang disetujui DPR 5 Oktober lalu adalah kunci. Nyatanya hingga hari ini tidak ada lembaga resmi (pemerintah maupun DPR) yang melansir.

Jadi, seperti saya bilang sejak awal, hindari mengupas pasal per pasal draf RUU Cipta Kerja versi apapun, sebab apapun dan siapapun yang melakukan itu berpotensi hoaks, tak peduli dia presiden atau profesor sekalipun.

Dengan demikian narasi pemerintah yang diamplifikasi dalam pidato Presiden Jokowi beberapa hari lalu yang intinya 3 poin, yaitu;

1) UU Cipta Kerja akan membuka lapangan kerja;
2) UU Cipta Kerja akan membuka kemudahan berusaha;
3) UU Cipta Kerja antikorupsi, tidak bisa kita telan begitu saja karena tidak jelas sumber resmi mana acuannya. Drafnya belum ada saat disetujui DPR. Tidak ada di situs DPR maupun pemerintah. Mana?

Wakil Ketua Baleg DPR Achmad Baidowi sendiri mengakui sampai saat ini belum ada naskah final UU Cipta Kerja. Baleg masih memperbaiki draf UU Cipta Kerja. “..takut-takut ada yang salah titik, salah huruf, salah kata, atau salah koma. Kalau substansi tidak bisa kami ubah karena sudah keputusan,” kata Baidowi.

Silakan tertawa membaca pernyataan itu. Urusan titik koma belaka, katanya. Bagaimana jika nanti UU itu berlaku dan merugikan masyarakat? Adakah cara untuk mengantisipasinya? Apakah UU itu bisa dibatalkan seluruhnya?

Saya tahu ‘jebakan’ itu. Makanya saya pikir satu-satunya dokumen sah antihoaks untuk melihat gambaran pasal-pasal Omnibus Law Cipta Kerja adalah di Naskah Akademis yang dibuat pemerintah. Itu ‘bahan baku’ utama penyusunan undang-undang dan DPR mengunggahnya di website resmi. Dokumen pendukung lainnya adalah notulensi rapat, Daftar Inventarisasi Masalah (DIM), presentasi narasumber dalam RDPU.

Saya bidik 2 pasal dalam Naskah Akademik itu dalam tulisan sebelumnya, yakni 1) soal Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT); 2) soal perubahan UU Mineral dan Batu bara. Alasannya sederhana saja karena dua hal itulah yang tidak saya temukan notulensi dan DIM-nya di dalam publikasi DPR. Saya curiga ada apa-apanya soal Ketenagakerjaan dan batu bara ini.

Faktanya adalah dalam Naskah Akademik itu pemerintah mengusulkan aturan baru bahwa PKWT boleh untuk seluruh jenis pekerjaan. Dalam soal Minerba lebih berderet lagi usulan pemerintah (sampai membuat norma baru) mulai dari royalti 0%, satu perizinan terpusat di tangan presiden, penambahan jangka waktu penguasaan wilayah pertambangan, hingga jaminan kepastian perpanjangan izin kontrak karya dan PKP2B.

Boleh Anda googling siapa saja pejabat eksekutif dan legislatif aktif yang berbisnis batu bara. Apakah usulan itu gol? Ya, nanti kita lihat saja setelah UU itu berlaku. Tapi minimal sekarang kita bisa menilai intensi dan watak pemerintah dalam hal Cipta Kerja.

Kini saatnya berhitung waktu. Bola ada di Presiden Jokowi. Meskipun ditandatangani (disahkan) atau tidak ditandatangani olehnya, UU itu tetap akan berlaku. Hanya masalah waktu kapan ia melakukan itu. Jika dalam 30 hari sejak disetujui (4 November 2020) pun presiden tidak teken, RUU itu tetap sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.

Saya pikir perlu untuk kita fokus pada dugaan kuat cacat formil (proses pembentukan) UU Cipta Kerja. Sebab jika nanti diuji formil, MK yang akan memutus dengan amar sbb:
“... bahwa pembentukan UU dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan UU berdasarkan UUD 1945.”
“... UU tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.”
(Peraturan MK Nomor: 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang).

Ini bukan untuk gaya-gayaan melainkan supaya pemerintah dan DPR tidak asal-asalan, main petak-umpet, main bicara di lingkaran dekatnya saja, main tebak-tebakan draf ketika menjalankan fungsi legislasi yang menyangkut hajat hidup orang banyak seperti Omnibus Law Cipta Kerja ini.

Itu bukan cuma pendapat saya. Tapi juga pendapat Prof. Dr. Satya Arinanto saat menjadi narasumber dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Panja Baleg pada Pembicaraan Tingkat I tanggal 29 April 2020 mengenai sorotan terhadap proses penyusunan RUU Cipta Kerja:

“Bersifat tertutup; hal ini bertentangan dengan ketentuan UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, antara lain terbukti dari naskah resmi yang baru bisa didapatkan setelah naskah RUU tersebut diserahkan oleh pemerintah kepada DPR.”

“Dianggap lebih mendukung kepentingan pengusaha. Hal ini antara lain terlihat dari pembentukan Kepmenko Perekonomian Nomor 378 Tahun 2019 tentang Satuan Tugas Bersama Pemerintah dan KADIN untuk Konsultasi Publik Omnibus Law tertanggal 9 Desember 2019.”

Terkini adalah pendapat Prof. Dr. Asep Warlan Yusuf, SH., MH. Ia berkata kedudukan UU yang belum final tetapi telah disahkan adalah cacat hukum. “Karena bagaimanapun juga naskah yang akan diplenokan itu naskah yang paling akhir dari berbagai tahapan, mulai dari panja dan yang paling tinggi itu pleno atau paripurna. Paripurna itu sudah bukan wacana lagi, tapi pengesahan," kata Asep kepada Kompas.com, Jumat (9/10/2020).

Prof. Asep juga menjadi narasumber dalam Pembicaraan Tingkat I RDPU Panja Baleg pada 10 Juni 2020 dengan membawakan makalah berjudul: “Catatan Hukum Terhadap RUU Cipta Kerja (Omnibus Law) yang berkaitan dengan UU 32/2009 tentang PPLH.”

Angin kuat berhembus ke arah pembatalan UU ini dan patut terus dikencangkan. Mahkamah Konstitusi tak bisa main-main menghadapi situasi ini. Jangan ikut bermain ombak politik. Secara politik, Presiden Jokowi telah mengalami kerugian besar. Defisit kredibilitas tengah terjadi, yang salah satunya ditunjukkan lewat istilah yang tengah ramai beredar yaitu “Dejokowisasi”, ketika sejumlah pendukung fanatiknya berbalik mengecam karena masalah Omnibus Law Cipta Kerja ini.

Pernyataan persnya bahwa masyarakat terprovokasi hoaks tanpa ia menunjukkan UU yang sah dalam keadaan belum ada draf final saat DPR menyetujui  — mohon maaf —- adalah semacam angin kosong yang membuatnya terjebak dalam permainan yang dibuat oleh pemerintah (maupun orang-orang sekelilingnya sendiri).

Akhirnya blessing in disguise. Masyarakat terbangun, menjadi kritis, mencari ada apa di balik semuanya ini. Ada apa saja di balik usulan perubahan pasal oleh pemerintah yang tercantum dalam Naskah Akademik. Siapa saja aktor-aktor kunci yang terlibat dominan dalam proses pembentukan. Apa dugaan motif yang melatarbelakanginya dan kepentingan apa saja yang mau disisipkan.

Tapi tetap waspada. Ada dua hal yang saya lihat sedang terjadi.

Sumber saya memberikan informasi bahwa saat ini ada arahan dari para menteri agar para staf segera menyiapkan rancangan perubahan peraturan pemerintah turunan UU Cipta Kerja—yang boleh dibilang masih siluman ini. Bahkan ada istilah Tim Koboi untuk mengerjakan itu.

Dari sisi narasi opini publik, caranya masih lagu lama, yakni melakukan degradasi terhadap person maupun pesannya. Pada intinya mereka tidak ingin soal Omnibus Law Cipta Kerja ini dikupas serius, kritis, dan detail. Maunya diarahkan menjadi soal hahai-hihi, cengengesan, dan narasi enteng-entengan saja semacam, “Mau nganggur terus kalau tolak Omnibus Law?”

Jujur saja. Saya paling takut ancaman kedua itu. Masyarakat dibuat tetap cuek, tetap tidak mengerti, tidak kritis, minder, hidup dalam ancaman dan dominasi sehingga tumpul dan tidak berdaya di hadapan para penyelenggara negara/para penguasa. Begitulah penjajahan terjadi dan karena itulah saya tidak akan berhenti menulis.

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar