Yulianto Widirahardjo, SE, MSi, Ketua Indonesia Future & Strategic Studies (IFSS)

Kontradiksi dari Ironi Pelaksanaan Food Estate oleh Yayasan Kemenhan

Selasa, 13/10/2020 06:56 WIB
Komisaris PT Agro Industri Nasional (Agrinas) (Sumber:Agrinas.id)

Komisaris PT Agro Industri Nasional (Agrinas) (Sumber:Agrinas.id)

Jakarta, law-justice.co - Didorong niat luhur  mewujudkan ketahanan Pangan, serta kemandirian Pangan Nasional, Presiden Jokowi menginisiasi Program Lumbung Pangan Nasional melalui Program Food Estate. Program Food Estate ini bertujuan membangun cadangan pangan berskala besar jika terjadi krisis pangan.

Dalam melaksanakan program strategis ini, Presiden Joko Widodo menugaskan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto untuk melaksanakan program strategis tersebut.

Perintah tersebut oleh Menhan direalisasikan dengan memerintahkan YKPP (Yayasan di Kemenhan) untuk mendirikan perusahaan bernama PT Agro Industri Nasional (Agrinas). Disini sebenarnya mulai terlihat adanya kejanggalan dan benturan kepentingan baik secara lembaga maupun personal pejabat yang terindikasi melanggar UU, etika dan norma dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Selain itu tercium aroma adanya indikasi munculnya perilaku Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Indikasi pelanggaran norma hukum dan etika selaku penyelenggara terlihat dari status, positioning, kepemilikan dan personalia yang mengisi struktur organisasi PT Agro Industri Nasional (Agrinas).

Sedangkan  Yayasan Kesejahteraan Pendidikan dan Perumahan (YKPP) di bawah pembinaan Kemenhan tercatat sebagai pemilik PT. Agrinas yang akan mengerjakan dan memiliki Food estate tersebut.

Dalam akta perusahaan disebutkan bahwa maksud didirikan PT. Agrinas adalah mewujudkan ketahanan pangan, ketahanan energi dan ketahanan air. Selintas terkesankan bahwa hal wajar sebuah Yayasan mendirikan badan usaha yg tentunya bertujuan untuk  mendukung operasional kegiatan Yayasan.

Tetapi menjadi hal yang aneh ketika PT. Agrinas,  yang akan melaksanakan proyek Food Estate yang dibiayai oleh APBN ternyata memiliki tujuan yang berbeda dari tujuan YKPP.

Keanehan itu  memperlihatkan adanya pelanggaran terhadap UU Yayasan. Mencermati dan meninjau landasan hukum sebuah Yayasan yang mendirikan Perusahaan, sesuai dengan pasal 7 Undang-Undang No. 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, yang menyebutkan yayasan dapat mendirikan badan usaha yang kegiatannya sesuai dengan maksud dan tujuan Yayasan.

Serta dapat melakukan penyertaan dalam berbagai bentuk usaha yang bersifat prospektif dengan ketentuan seluruh penyertaan tersebut paling banyak 25% (dua puluh lima persen) dari seluruh nilai kekayaan Yayasan. Bila mencermati company profile PT. Agrinas, maka akan didapat temuan yang menyebutkan bahwa YKPP ini Yayasan yang bergerak di bidang Pendidikan dan Perumahan, bukan bergerak di bidang Pertanian atau Pangan.

Selain itu ditemukan bahwa YKPP memiliki saham 100% di PT Agrinas, padahal di Undang-Undang Yayasan menyebutkan sebuah yayasan hanya boleh memiliki saham pada Badan Usaha tersebut maksimal 25 %.

Hal tersebut di atas baru satu temuan. Bila dicermati lebih dalam akan ada temuan lagi yg terkait dengan status  PT. Agrinas yang dimiliki oleh YKPP di bawah pembinaan Kemenhan, sehingga bisa diartikan PT. Agrinas adalah "milik" Kemenhan yang bisa diartikan juga sebagai "milik" pemerintah -yg dalam arti tertentu berstatus BUMN-. 

Inilah keanehan ke dua. Selaku "BUMN", harusnya PT. Agrinas berada di bawah pembinaan kementerian BUMN bukannya di bawah Kemenhan. Namun yang terjadi secara faktual PT. Agrinas berada di bawah binaan Kemenhan. Hal itu terlihat dari komposisi struktur dan personalia Dewan Komisaris dan Dewan Direksi PT. Agrinas.

Keanehan tersebut menimbulkan pertanyaan tentang transparansi dan  akuntabilitas Program Food Estate ini dikarenakan  ketidakjelasan status dan kompetensi PT Agrinas yang berada di bawah YKPP yang tidak memiliki kompetensi di bidang Ketahanan Pangan, ketahanan energi dan ketahanan air.

Sehingga patut dipertanyakan urgensitas PT. Agrinas menggarap proyek Trilyunan rupiah dari APBN. Serta patut dipertanyakan keterkaitan antara Yayasan tersebut dengan program ketahanan pangan, karena selain tidak memiliki kompetensi, Yayasan tersebut tidak memiliki pengalaman dalam penyelenggaraan program kegiatan soal pangan.

Keanehan ke tiga terlihat dari komposisi Dewan Komisaris dan Dewan Direksi PT. Agrinas. Dewan Komisaris yang diisi oleh orang-orang yang tidak memiliki  kompetensi di bidang urusan pangan, bahkan justru salah seorang dari Dewan Komisaris berpotensi melanggar Pasal 17 Huruf a Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2008 tentang Pelayanan Publik.

Pelaksanaan pelayanan publik dilarang merangkap sebagai komisaris atau organisasi usaha bagi pelaksana yang berasal dari lingkungan instansi pemerintah, badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah.

Ada dua orang Komisaris PT Agrinas, Prasetyo dan Sugiyono dari Partai Gerindra adalah juga anggota Komisi I bidang Pertahanan DPR RI yang justru menjadi mitra kerja Kemenhan. Hal ini aneh dan melanggar Etika  karena di satu sisi sebagai Wakil Rakyat punya hak budgeting terhadap APBN, namun di sisi lain yang bersangkutan menjadi pengelola ataupun pelaksana dari proyek tersebut, sedangkan sumber dana PT Agrinas adalah APBN, masa pengawas ikut pula mengelola dana APBN. Hal ini jelas melanggar UU MD3 tentang keanggotaan DPR RI.

Dengan ditemukannya  banyak keanehan tersebut, maka kita mengkuatirkan  pelaksanaan program Ketahanan Pangan tersebut, hanya dijadikan ladang bagi tumbuhnya perilaku Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (Koncoisme), yang merugikan Negara.

Program Ketahanan Pangan ini memiliki tujuan mulia, tapi jangan dikotori dengan menjadikannya ladang perilaku Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, karena itulah di harapkan Presiden maupun DPR RI melakukan pengawasan melekat terhadap pelaksanaan proyek tersebut.

Apabila program ketahanan pangan ini menjadi ladang terjadinya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, maka sudah sepantasnya, Presiden menghentikan proyek tersebut, dan meninjau ulang keberadaan keterlibatan TNI dalam proyek ini, yang melanggar konsensus nasional mengenai reformasi TNI, yakni mencabut keterlibatan TNI dalam kegiatan sosial, politik dan ekonomi.

(Asep Saputra\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar