Brutal & Represif, Penanganan Demo Tolak UU Ciptaker Langgar HAM

Senin, 12/10/2020 16:29 WIB
Polisi menangkap puluhan massa demonstran menolak UU Omnibus Law di kawasan Patung Kuda, Jakarta Pusat pada Kamis (8/10). Hingga saat ini belum ada keterangan resmi dari Kepolisian berapa jumlah demonstran yang ditangkap. Robinsar Nainggolan

Polisi menangkap puluhan massa demonstran menolak UU Omnibus Law di kawasan Patung Kuda, Jakarta Pusat pada Kamis (8/10). Hingga saat ini belum ada keterangan resmi dari Kepolisian berapa jumlah demonstran yang ditangkap. Robinsar Nainggolan

Jakarta, law-justice.co - Penangkapan terhadap ribuan pendemo tolak Undang-Undang Cipta Kerja oleh polisi pada Kamis (8/10/2020) dinilai melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Pasalnya dalam penangkapan itu, polisi bersikap brutal dan represif.

Hal itu disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Nasional Julius Ibrani. Ini sesuai dengan laporan pengaduan yang diterima PBHI wilayah Jakarta, Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Barat, Bali, Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Lampung.

"Selama proses gerakan masyarakat, PBHI menemukan dan mengidetifikasi berbagai pelanggaran hak asasi manusia oleh aparat kepolisian yang melakukan pengamanan aksi penolakan RUU Cipta Kerja," katanya, Senin (12/10/2020).

Dia menyebutkan pelanggaran yang dilakukan aparat kepolisian, pertama, melakukan larangan dan sweeping sebelum aksi dimulai. Kedua, melakukan tindakan brutal dan represif selama aksi berlangsung seperti kekerasan verbal, pemukulan, pengeroyokan, menembakkan gas air mata ke arah kaki atau tubuh massa aksi.

Ketiga, melakukan penangkapan dan penahanan sewenang-wenang (arbitrary arrest and detention) sekurangnya kepada 2.643 orang yang tersebar di 10 Wilayah di Indonesia. Rinciannya Jawa Barat (221 orang), Sulawesi Selaran (250 orang), Lampung (242 orang), Kalimantan Barat (32 orang), Jawa Tengah (260 orang), Jakarta (1000 orang), Sumatera Barat (251 orang), Jogja (146 orang), Sumatera Utara (241 orang).

"Korban dari massa aksi juga terdapat anak yang belum dewasa, misalnya di Sumatera Barat, sekitar 83 pelajar. Jumlah ini terus meningkat seiring dengan pengaduan yang diterima hingga hari ini," ungkapnya.

Keempat, dilakukannya penyiksaan (torture) kepada massa aksi yang ditangkap dan ditahan, dengan cara menelanjangi dan memukul. Dan kelima, menghalangi akses layanan bantuan hukum dari PBHI kepada massa aksi yang ditangkap dan ditahan.
PBHI juga menyesalkan tindakan represif saat tes COVID-19 secara paksa tanpa konsensus dan tanpa dasar hukum. Misalnya terhadap 21 orang di Sumatera Utara, dan sekitar 201 orang di Jawa Barat. Padahal, mereka justru mengumpulkan massa aksi yang ditangkap dan ditahan tanpa mematuhi protokol COVID-19 karena tidak diberi masker dan tidak ada jaga jarak fisik.

Atas berbagai tindakan yang dilakukan dalam proses pengamanan pada aksi menolak RUU Cipta Kerja, PBHI menyatakan: 1. Tindakan aparat kepolisian telah melanggar hukum dan HAM, berupa hak atas kebebasan berpendapat sebagaimana dijamin Konstitusi UUD 1945, UU No. 39/1999 tentang HAM, dan UU 9/1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, Peraturan Kapolri (Perkap) No. 9/2008 tentang Tata Cara Penyelengaraan Pelayanan, Pengamanan, Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum, UU No. 23/200 tentang Perlindungan Anak, UU No. 11/2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Perkap No. 1/2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, Perkap No. 8/2009 tentang Implementasi Prinsip-Prinsip HAM, serta Hukum Acara Pidana dalam KUHAP;

2. Presiden RI, KomnasHAM, KPAI, dan Ombudsman, agar segera mengusut tuntas seluruh pelanggaran hukum dan hak asasi manusia serta administrasi serta prosedur atas penanganan aksi oleh kepolisian; 3. Presiden RI dan Kapolri agar membuka akses layanan bantuan hukum kepada seluruh massa aksi yang ditangkap dan ditahan, sebagaimana mandat Konstitusi UUD 1945 dan UU No. 16/2011 tentang Bantuan Hukum.

 

(Gisella Putri\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar